Pengertian penistaan agama secara umum adalah tindakan penghinaan, merendahkan, atau mengklaim suatu agama, pelaku ajaran agama, maupun atribut atau simbol-simbol agama yang dianggap suci. Penistaan agama dapat berupa tindakan, ucapan, atau tulisan yang bersifat provokatif, memicu permusuhan, atau menimbulkan kebencian terhadap suatu agama.
Mungkin kita cukup sering menemukan atau mendengar adanya kasus terkait penistaan agama, seperti penistaan agama oleh Guberbur Jakarta (Basuki Tjahaja Purnama/Ahok) pada tahun 2016, penistaan agama oleh Sukmawati Soekarnoputri pada tahun 2019, penistaan agama oleh Roy Suryo pada tahun 2022, dll.
Namun belakangan ini, akhir November lalu, masyarakat dihebohkan dengan seorang konten kreator yang bernama Elia Myron yang membagikan video dakwahnya yang kemudian menjadi sorotan publik di berbagai platform media sosial. Elia Myron, secara luas dikenal sebagai pribadi yang kontroversial karena seringkali mengangkat isu-isu sensitif seputar tiga agama utama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Tidak hanya menyentuh isu-isu agama, namun juga memancing reaksi dengan pernyataan yang dianggap meremehkan Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun unggahan yang saat ini sedang viral yakni dimana ia meminta pihak Kementrian Agama (Kemenag) RI untuk melakukan reformasi tafsir ayat pada salah satu Surah dalam Al-Qur'an. Dalam unggahan tersebut, menurut Elia Myron, tafsir Surah Al-A'raf ayat 157 dalam Al-Qur'an dianggapnya sebagai tafsir yang merusak pandangan teologi Kekristenan. Unggahan ini pun menuai berbagai reaksi dari netizen, khususnya umat Muslim. Sebab menurut keyakinan umat Islam, Al-Qur'an adalah kitab suci yang isinya benar sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya dan tidak boleh diubah-ubah. Di akun tiktoknya yang bernama @Elia Myron juga ditemukan postingan-postingan yang bermaksud membandingkan kitab agama satu dengan kitab agama lain.
Hal ini tentu bertentangan dengan nilai-nlai Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk kebebasan beragama. Terutama sila pertama, yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sila pertama mengatakan bahwa bangsa Indonesia mengakui dan menghormati agama yang dianut oleh orang lain. Dengan adanya kasus penistaan agama, seseorang telah merendahkan agama lain dan mengganggu kerukunan antarumat beragama.
Selain itu, penistaan agama juga melanggar nilai-nilai Pancasila lainnya, yaitu "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", "Persatuan Indonesia", dan "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Penistaan agama juga dapat menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan sosial bagi umat beragama tertentu.
Padahal negara memberikan jaminan konstitusional terhadap warganya atas hak kebebasan beragama. Seperti halnya tertuang dalam Pasal 29 Ayat 2, yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu." Berarti dengan adanya kasus penistaan agama ini, masyarakat Indonesia kurang bisa menerapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Oleh karena itu, penistaan agama harus dihindari dan dihukum secara tegas. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan menangani kasus ini. Dalam konteks hukum Indonesia, penistaan agama diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi "Barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang di anut di Indonesia dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha, maka dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun."
Di Al-Qur'an juga telah dijelaskan tentang larangan menistakan agama lain, firman Allah Subhanahu wa ta'alaa:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا ۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
"Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'am: 108)
Dan Allah juga memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat sedemikian rupa.
ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَرُسُلِيْ هُزُوًا
"Itulah balasan mereka (berupa neraka) Jahanam karena mereka telah kufur serta menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan." (QS. Al-Kahfi:106)
Lalu cara kita menghadapi atau bertemu dengan orang yang melakukan hal demikian, dalam artian mengolok-olok agama (terutama agama islam), maka kita harus menjauh terlebih dahulu jangan berada dalam lingkungan orang yang sedang bersenda gurau dengan menggunakan ayat Allah atau hadist Rasulullah sampai kita tau mereka telah membicarakan hal lain. Seperti hal nya dalam firman Allah SWT.
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ اَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ اٰيٰتِ اللّٰهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَاُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖٓ ۖ اِنَّكُمْ اِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ جَامِعُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْكٰفِرِيْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًاۙ
"Dan sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu di dalam Kitab (Al-Qur'an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena (kalau tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam." (QS. An-Nisa: 140)
Dengan adanya salah satu kasus yang saya kutip ini, kita dapat menyimpulkan bahwa harmoni antara kebebasan beragama dan nilai Pancasila memerlukan keseimbangan yang cermat. Tantangan penistaan agama menjadi ujian bagi integrasi dan penyelesaiannya memerlukan pendekatan yang adil, seperti penyelidikan, pengadilan, dan penegakan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan memahami kompleksitas isu ini, kita dapat menguatkan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta membangun lingkungan yang lebih inklusif dan toleran.
Penulis pertama: Zidna 'Ilma 'Amalia
Fakultas/Prodi: FKIP/PBSI
Penulis kedua: Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H