Menyebut nama pekalongan pasti akan membawa ingatan pada pemandangan khas jemuran kain bercorak yang berjajar di halaman-halaman rumah dan bau malam atau lilin batik yang mengudara di hampir setiap sudut kota. Kehidupan masyarakat pekalongan sangat identik dengan aktivitas membatik.
Pekalongan di kenal sebagai kota batik, karena merupakan salah satu pusat produksi batik terbesar di Indonesia yang telah berkembang sejak abad ke 20. Hampir sebagaian besar masyarakat pekalongan menjadikan batik sebagai nafas kehidupan. Berkembangnya pekalongan sebagai “kota batik” juga di dorong oleh semangat masyarakat dalam membatik, mereka menjadikan proses membatik sebagai sarana dalam mengekspresikan karya seni dan melestarikan warisan budaya (Hayati 2012) .
Perkembangan Batik Pekalongan
Batik Cloth Of java merupakan sebuah buku yang menjelaskan bahwa batik pekalongan telah di perdagangkan sejak tahun 1840-an, hal ini di perkuat oleh banyaknya pedagang etnis cina atau arab yang menjadikan batik sebagai komoditi utama yang mengguntungkan. Awal mula nya batik berkembang di daerah buaran, pekajangan serta wonopringgo. Batik pekalongan memiliki kesamaan dengan motif batik Yogyakarta maupun Surakarta. Motif dan warna batik pekalongan juga di pengaruhi oleh budaya asing seperti cina, jepang, india, arab dan Belanda.
Menelisik masa keemasan sampai kemerosotan industri batik pekalongan 1920-1930
Dekade 1920-an merupakan masa keemasan bagi industry batik di pekalongan. Pekan raya tahunan pertama yang menjadi bukti tingginya minat terhadap kerajinan batik di selenggarakan pada tahun 1923 yang pada saat itu residen pekalongan di pimpin oleh Johann Ernst Jasper (1874-1945). Tercatat terdapat 113 pengusaha batik terkemuka yang ikut serta termasuk Eliza van zuylen. Tahun 1925 batik pekalongan sudah mulai diekspor ke berbagai wilayah salah satunya Singapura. Hingga pada tahun 1927, tercatat ada 1.037 usaha batik di pekalongan yang tersebar di tiga distrik diantaranya distrik kota, distrik kedoengwuni, dan distrik wiradesa.
Pola perkembangan batik di pekalongan terdapat dua tipe , satu pola di adaptasi oleh sistem desa batik yang umum diterapkan di masyarakat bumiputera. Batik yang di produksi di desa ini dijual melalui bakoel (perantara penjual batik). Sistem ini memiliki keunggulan pada jumlah produksinya yang lebih besar dibandingkan batik halus hal ini di latarbelakangi oleh permintaan yang tinggi.
Tipe pola industry selanjutnya adalah Perusahaan batik yang di oprasikan oleh etnis di pekalongan. Termasuk diantaranya bumiputera, indo-belanda, tionghoa dan arab. Orang indo-belanda menjalankan usha batik dengan menggunkan sistem seleksi dan persekot (pembayaran uang di muka), sementara orang tionghoa memiliki sistem jaringan produksi batik. Veldhuiden (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa pengusaha tionghoa yang terlibat dalam industry pewarnaan dan penyediaan bahan-bahan batik, seperti Hoo le Poen dan Oey Hong Hie. Mereka memiliki peran dalam menopang industry yang dijalan kan oleh komunitas tionghoa.
Masa keemasan industry batik di pekalongan mulai merosot Ketika krisis ekonomi melanda pada akhir 1929, saat itu produksi batik mengalami penurunan drastic atau dikenal dengan istilah sek pedjah hal ini mengakibatkan pengusaha batik beralih profesi ke bisnis warung makan, sementara para pembatik, tukang cap dan buruh bertahan hidup dengan menangkap ikan atau bahkan menjual harta untuk pindah keluar jawa. Krisis lain yang dialami industri batik selama masa malaise adalah terbatasnya pasokan kain. Pada tahun 1930-an, gelombang impor kain dari Jepang turut mengalami penurunan (Paramanandana, Lutfi, and Ayundasari 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H