Mohon tunggu...
Zidna F. Adh.
Zidna F. Adh. Mohon Tunggu... -

student

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak, Aset Peradaban Gemilang

12 Oktober 2015   23:17 Diperbarui: 12 Oktober 2015   23:26 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-Anak, Aset Peradaban Gemilang

 Oleh: Zidna F. Adh.

(Pengajar, Remote Sensing Alnalist, Pecinta Astronomi di Malang)

Masyarakat kita kembali diramaikan dengan berita penemuan mayat dalam kardus yang tergolong sadis. Kasus ini begitu menyita perhatian khalayak karena korbannya adalah anak kecil dan korban ditemukan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Pihak kepolisisan berhasil mengungkap misteri pembunuhan gadis kecil berinisial PNF setelah satu minggu penemuan jenazah korban. Bukanlah hal mudah bagi pihak kepolisian untuk membongkar kasus ini. Sampai SATGAS KHUSUS pun dibentuk guna mengurai kasus tersebut.

Berdasarkan hasil otopsi, diduga kuat korban mengalami pelecehan dan kekerasan seksual sebelum dibunuh. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku adalah seorang pedofilia. Sebagaimana kita tahu, pedofilia termasuk penyakit kelainan seksual yang menyukai anak-anak sebagai objek pelampiasan penyakitnya. Dan ternyata di negeri ini, kasus kekerasan anak oleh para pengidap pedofilia, seperti fenomena gunung es, hanya permukaannya saja yang tampak. Dalam kasus ini, hanya segelintir saja yang terungkap dari sekian banyak kasus kekerasan seksual oleh para pelaku pedofil.

Kian Bertambah

Jika kita telisik, kian hari kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak bukan kian menurun. Malah sebaliknya, kian bertambah yang terungkap.

Republika (9/10) menyebutkan, berdasarkan data lembaga perlindungan anak di 179 kota/kabupaten dan 34 provinsi di Indonesia pada kurun 2010-2014, tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak. Dari jumlah itu, 58% dikategorikan sebagai kejahatan seksual. Sisanya berupa kekerasan fisik, penelantaran, dan lainnya. Data Polri pada tahun 2014 mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di separuh tahun 2014. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang.

"Kalau dari data tahun 2014 ada 40 kasus, tahun 2015 belum habis per September sudah 41 kasus, berarti ada peningkatan," ujar Kepala Subdit Renakta (Remaja Anak dan Wanita) Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Suparmo, dalam keterangannya seperti dikutip oleh viva.co.id. 

Mengurai Akar Permasalahan

Khawatir, cewas, was-was dengan lingkungan sekitar adalah hal yang sangat wajar ketika banyak kasus kekerasan dan pelecahan anak menjamur di negeri ini. Orang tua mana yang tidak khawatir dengan anaknya, di tengah kehidupan hedon seperti sekarang ini.

Jika dipetakan, akar permasalahan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak bisa terjadi karena dua aspek. Internal dan eksternal.

Internal, sudah pasti keluarga sangat bertanggung jawab. Karena di keluarga lah sang anak hidup dan berkembang. Potret keluarga yang tidak ideal ternyata juga turut memicu konflik terhadap anak. Misalnya KDRT, disfungsi keluarga, tekanan ekonomi dan kemiskinan, salah dalam mengasuh, dan sebagainya.

Eksternal, dapat dilihat dari corak kehidupan masyarakat kita yang sangat hedon, materialistik, budaya pop yang membius, tayangan media yang justru memprovokasi untuk bertingkahlaku menyimpang dan sebagainya. Faktor eksternal ini terkadang juga berdampak pada individu yang akhirnya mempengaruhi tingkah laku di dalam rumah. Misalnya, media menyuguhkan hiburan pacaran, hedonisme, gaya hidup konsumtif, sehingga banyak dari anak-anak yang mempratekkan apa yang mereka lihat di media. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa apa yang disuguhkan media itu hampir semua bagus.

Sayangnya hal seperti ini, kurang difilter oleh pemerintah sebagai regulator tertinggi di negeri ini. Bayangkan saja, tiap hari pasti ada tayangan di televisi yang menyuguhkan tentang pacaran, budaya konsumtif, anak melawan orang tuanya dan masih banyak lagi. Jika ini berdampak amat buruk bagi perkembangan anak, mengapa masih saja dibiarkan tayangan-tanyangan seperti itu? Bukankah harusnya kita membentengi anak-anak kita dari bahaya seperti yang disebutkan di atas?

Melihat fakta di atas, mau tidak mau kita harus membuka mata dengan kondisi yang ada. Ideologi liberal kapitalistik yang diterapkan di negeri ini sejak jaman kolonial Belanda, ternyata tidak membuat negeri ini aman dan sentausa. Sekalipun sudah beberpa berganti rezim, ternyata hal itu tidak membuat negeri ini jauh lebih baik. Hampir di semua bidang kita lemah, termasuk dalam bidang perlindungan anak. Kebebasan, ya sebuah kebebasan untuk bertingkahlaku dan berekspresi adalah hal yang sangat biasa dalam ideologi ini. Jika di negara-negara besar sekaliber AS, film porno bebas beredar, kini di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, film porno diperjuangkan untuk bisa dilegalkan. Memang untuk definisi porno sendiri di Indonesia masih banyak perdebatan. Namun, bagi seorang muslim, saya rasa definisi porno sudah sangat jelas. Film-film seperti ini acapkali memicu penyimpangan seksual dan tindak kriminalitas, sampai yang paling tragis adalah pada anak-anak.

Tidakkah kita membuka mata, bahwa anak-anak kita sedang dalam bahaya besar?

Aset Peradaban Gemilang

Indonesia dengan segala kekayaan alamnya yang melimpah ruah, dan dengan segala kemajemukan yang ada di dalamnya, akan sangat sayang apabila tidak dikelola dengan baik. Siapa pengelola itu? Jika jawabannya pemuda, maka akan kita dapati bahwa pemuda yang akan membangun negeri ini ke arah yang lebih baik adalah pemuda yang kuat. Kuat akal, fisik, dan psikologisnya. Dan pasti setiap pemuda berawal dari anak-anak.

Kebaikan anak-anak bergantung besar pada keshalihan orang tuanya. Orang tua berperan sangat besar dalam menjadikan anak-anak mempunyai masa depan yang cerah. Kenapa? Karena anak adalah aset peradaban.

Ya, sebuah aset peradaban yang sangat mahal harganya. Peradaban yang tidak hanya bisa menghasilkan produk-produk teknologi mutakhir, tapi lebih dari itu. Sebuah peradaban gemilang yang akan melahirkan insan-insan sholih berkepribadian unggul. Dan semua itu hanya bisa diwujudkan dengan sebuah sistem yang mampu mencetak sekaligus melindungi anak-anak dari berbagai kejahatan jaman.

Sejarah manusia mencatat, generasi terbaik pernah lahir ke dunia ini. Generasi yang mampu memimpin dunia dengan kecapakan ilmu pengetahuan maupun dengan keshalihan agamanya. Lebih dari 13 abad, generasi ini menguasai dunia. Bapak optik dunia, bapak kedokteran dunia, bapak kimia dunia, ahli botani, ahli perbintangan (astronomi), ahli geografi, teknokrat dan sebagainnya berkembang pesat saat itu.

Tidak hanya itu, kualitas agama mereka juga tidak diragukan. Hampir semua dari mereka hafal Al-Qur’an sebelum usia bali
gh, hafal banyak hadits Rasulullah, dan masih banyak lagi. Tidak sedikit juga dari mereka yang karyanya masih bisa kita rasakan hingga saat ini, taruhlah kacamata, alat bedah kedokteran, kompas, pesawat terbang, pemrograman komputer. Itulah kenapa banyak para ahli sejarah menyebut masa mereka sebagai ‘golden age’ atau jaman keemasan.

Bandingkan dengan saat ini, jangankan untuk melihat anak-anak kita tumbuh besar dan berhasil, membiarkan mereka bermain saja kita sudah khawatir. Karena lingkungan sekitar yang kurang atau bahkan tidak mendukung. Adalah tugas kita bersama dalam menciptakan suasana yang kondusif, agar anak-anak kita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Ya karena mereka adalah aset peradaban. Pelaksanaan sistem Islam yang menyeluruh akan mampu memberikan perlindungan terbaik untuk anak-anak kita. Dan sistem inilah yang kita sebut sebagai Khilafah.

Wallahu’alam bish showab

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun