Mohon tunggu...
Zidan Takalamingan
Zidan Takalamingan Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi itu indah

Solus populi suprema lex

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dissenting Opinion dalam Putusan MK NO. 90/PUU-XVIII/2020 yang Menjadikan MK sebagai Lembaga Mahkamah Kepentingan

8 Juli 2022   15:30 Diperbarui: 8 Juli 2022   15:36 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walau sudah menjalani periode kedua jabatannya serta dapat langsung menjabat tanpa melalui proses seleksi kembali, padahal hakim MK yang menjabat sekarang di angkat berdasarkan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang masih mengatur masa jabatan hakim konstitusi 5 tahun dan dapat kembali dipilih hanya untuk satu kali.

Selanjutnya pasal 87 huruf b  dapat memberikan ruang intervensi/pengaruh kepada indepedensi personal hakim konstitusi karena membuka ruang yang lebar untuk tersandera dengan kepentingan politik pembentuk UU MK yang memberika keuntungan jabatan kepada hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK ini di undangkan dengan membuka potensi konflik kepentingan conflict of interest antara hakim konstitusi yang sedang menjabat dan terakhir ialah berdampak pada terganggunya indepedensi dan imparsialitas hakim konstitusi agar kita sebagai warga Negara mendapatkan hakim konstitusi yang independen dan imparisal.

Namun sayangnya mayoritas hakim memutuskan dalam pengujian materiil dinyatakan permohonan tidak dapat diterima dan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.

Dissenting Opinion pun hadir dalam pengujian materiil kedua pasal tersebut, yakni dari salah satu hakim MK bernama Saldi Isra bahwa, "Pengujian secara materiil adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian".

Hal tersebut ditambahkan oleh hakim MK yang lain yaitu Wahiduddin Adams, menyebutkan. "Bahwa pemohon melakukan judicial review secara materiil bukan berdasarkan untuk dapat mencalonkan diri sebagai hakim MK dibatasi.

Namun itu, merupakan semangat terhadap kecintaan dan cita-cita pemohon  sebagai warga Negara untuk tetap menjaga independensi dan imparsialitas hakim MK sebagai the guardian of the constitution dan menjamin terwujudnya keberlangsungan supremasi konstitusi secara ajeg.

Bahkan beliau menambahkan dia merasa khawatir jika tiap-tiap hakim konstitusi memeriksa, mengadili dan memputus perkara a quo dalam pemahaman bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) hanya karena pemohon sama sekali tidak mengalami kerugian konstitusional dari berlakunya Undang-Undang a quo maka jangan-jangan yang kita periksa, adili dan putus terhadap perkara a quo adalah kepentingan personal diri sendiri dan bukan kepentingan hukum atau kerugian konstitusional pemohon.

Ada tambahan dalam dissenting opinion Wahiduddin Adams yang paling menarik untuk dibahas ketika beliau mengatakan bahwa Pasal 87 huruf b Undang-Undang a quo  bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dikarenakan pihak yang terkena dampak (in casu) sebagian besar hakim konstitusi yang ada saat ini sama sekali "tidak sepenuhnya dirugikan".

Melainkan hanya sekedar "tidak mendapatkan keuntungan semestinya" oleh karena itu dengan menghindari "keuntungan yang tidak semestinya".

Maka justru disinilah di uji sebab seorang negarawan seorang hakim konstitusi perlu memikirkan nasib generasi yang akan dating bukan sekedar larut dalam kepentingan dan keinginan sesaat dan menegaskan bahwa beliau berpendapat seharusnya Mahkamah Mengabulkan Permohonan pemohon.

Dengan beberapa uraian di atas kita bisa melihat bahwa terjadinya sebuah pergesaran kedudukan daripada Mahkamah Konstitusi yang jauh lebih mementingkan lembaga sendiri daripada melihat perspektif yang lebih luas dalam berbangsa dan bernegara, bahkan menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara tertinggi mempunyai kewenangan yang sangat absolut dan sebagai Mahkamah yang hanya mementingan kepentingannya daripada kepentingan bersama, maka sangat layak dikatakan sebagai Mahkamah Kepentingan bukan lagi Mahkamah Konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun