Mohon tunggu...
Zidan Takalamingan
Zidan Takalamingan Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi itu indah

Solus populi suprema lex

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dissenting Opinion dalam Putusan MK NO. 90/PUU-XVIII/2020 yang Menjadikan MK sebagai Lembaga Mahkamah Kepentingan

8 Juli 2022   15:30 Diperbarui: 8 Juli 2022   15:36 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namun sayangnya dalam putusan MK tersebut secara mayoritas Hakim MK menegaskan "Bahwa Undang-Undang a quo telah memenuhi kriteria daftar kumulatif terbuka dan perubahan Undang-Undang a quo merupakan tindak lanjut terhadap putusan-putusan MK, maka tidak relevan lagi apabila proses pembahasan RUU tersebut masih dipersyaratkan adanya pembahasan (partisipasi publik).

Namun sayangnya dengan berdasarkan uraian yang termaktub dalam pokok permohonan tersebut MK menyatakan secara tegas dalil pemohonan Pemohon dalam pengujian formil UU 7/2020 a  quo di terima legal standing nya namun tidak diterima secara keseluruhan atau tidak beralasan menurut hukum".

Berangkat dari itu salah satu Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada, "Bahwa ini bukan kebutuhan MK, masa MK membahas usia padahal kan MK berbicara mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi" ucap, Zainal Arifin Mochtar dalam pernyataan beliau di akun youtube nya berkomentar mengenai putusan mk dalam pengujian formil.

Dissenting Opinion dalam pokok permohonan pengujian formil, pun terjadi ketika salah satu hakim MK yakni Wahiduddin Adams menyebutkan, " Setelah mencermati pokok dan esensi permohonan, keterangan pembentuk UU, serta seluruh dinamika persidangan bahwa pengujian formil pembentukan UU a quo memang terindikasi kuat dilakukan secara tergesa-gesa dan memiliki kekurangan serta sulit terhindar dari tendensi yang cukup beralasan dengan tidak adanya urgemsi yang nyata".

Bahkan ditambahkan oleh salah satu Hakim MK Arif Hidayat bahwa, "Proses pembahasan bersama hanya memakan waktu 3 hari jelas diluar nalar wajar dan bertentangan dengan UUD NRI 1945". Ucap Arif Hidayat dalam Dissenting Opinion di Putusan MK yang serupa yakni Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020.

Dalam permohonan judicial review terhadap UU MK tersebut secara materiil pemohon Selanjutnya dalam permohonan Pengujian secara Materil ada beberapa pasal yang menjadi objek pengujian, namun secara hemat penulis akan lebih spesifik terhadap Pasal 22 dan 87 huruf B, yang dimana pemohon menjelaskan dalam permohonan pengujian materii

l menyatakan Pasal 22 UU Nomor 7 Tahun 2020 bertentangan dengan ketentua Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3)  UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai masa jabatan hakim konstitusi selama 5 Tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya, maka dikarenakan konteks materi muatan Pasal 22 UU MK memiliki keterkaitan erat dengan Pasal 87 huruf b UU MK menjadi tidak relevan lagi.

Dengan dihapusnya ketentuan pasal 22 UU MK tersebut, secara substansi mengubah sistem periodisasi menjadi sistem pensiun yang dimulai menjabat pada usia 55 tahun dan berakhir 70 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) dan pasal 23 ayat (1) huruf c. Berikut merupakan analisa penulis dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 87 huruf b yang menjadi objek pengujian UU MK tersebut.

Pemohon mendalilkan kerugian konstitusionalnya, pertama, ketika pasal 22 dihapuskan. Dalam permohonannya menjelaskan bahwa, Dihapusnya masa jabatan hakim konstitusi telah menghilangkan jedah bagi hakim konstitusi untuk diuji kelayakan dan kepatutan fit and proper test lewat proses pemilihan untuk melanjutkan masa jabatan pada periode kedua yang juga berfungsi sebagai ruang pengawasan dan evaluasi eksternal terhadap pelaksanaan tugas  dan wewenang selama menjabat pada periode pertama.

Selanjutnya pemohon menjelaskan bahwa penghapusan pasal 22  tidak menjalankan prinsip-prinsip konstitusionalisme dengan adanya pembatasan kekuasaan dan tidak mencerminkan prinsip konstitusionalisme yang aktif.

Kedua, bahwa ketentuan pasal 87 huruf b memberikan keuntungan kepada hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan karena langsung meneruskan jabatannya sampai pada usia 70 tahun salama keseluruhan masa tugasnya 15 tahun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun