Mohon tunggu...
Zidan Takalamingan
Zidan Takalamingan Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi itu indah

Solus populi suprema lex

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Parahnya Jaminan HAM di Negara Demokrasi, Perihal Aksi di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara

21 September 2021   03:30 Diperbarui: 21 September 2021   03:47 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.  Pendahuluan

Suasana kehidupan yang demokratis merupakan dambaan bagi umat manusia, karena itu demokrasi perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hak asasi dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Hak asasi dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi hak asasi manusia dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.

Secara kodrati manusia tidak mungkin hidup sendiri, karena setiap manusia membutuhkan manusia yang lain. Demikian juga halnya antara manusia sebagai mahluk individu sangat memerlukan negara sebagai tempatnya untuk bernaung. Seperti yang kita ketahui bahwa relasi (hubungan) negara dan masyarakat memberikan gambaran adanya penyerahan sebagian hak masyarakat untuk menjalankan serangkaian kewajiban yang dibebankan negara kepadanya. Sementara negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak warga negaranya, sebagai kompensasi dari kepatuhan masyarakat. Jadi wajar masyarakat menuntut negara jika hak-hak asasi masyarakat tidak dipenuhi oleh negara.

Negara dalam merealisasikan hak atas warga negaranya sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, karena jika negara ataupun masyarakat ada yang melanggar hak asasi maka ada sesuatu kekuatan yang nantinya dapat digunakan sebagai alat untuk menuntut terhadap pelanggaran hak asasi tersebut, yaitu sanksi yang tegas yang ada dalam peraturan perundang-undangan.

Sehingga Charles E. Merriam mengemukakan bahwa tujuan dari negara adalah:

  1. Keaman ke luar: External Secutrity
  2. Ketertiban di dalam: Internal Order
  3. Keadilan: Justice
  4. Kesejahteraan Umum: General Walfare
  5. Kebebasan: Freedom.

Pembukaan maupun batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyebutkan adanya  prinsip demokrasi dan pengakuan serta perlindungan hak asasi merupakan bukti bahwa negara Indonesia menganut prinsip negara hukum. Begitu juga adanya pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia atau hak asasi warga negara oleh pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 merupakan bahan negara Indonesia menganut negara hukum dan demokratis, sebab secara sosio-legal dan sosio kultural adanya konstitusi itu merupakan konsekuensi dari penerimaan prinsip negara hukum dan demokrasi yang artinya disini negara berkewajiban untuk mengeluarkan segala peraturan perundangan dan isntrumen hukum lainnya yang menjamin terpenuhinya hak asasi manusia bagi seluruh warga negara, tidak hanya menguntungkan pihak-pihak bagi seluruh warga negara, tidak hanya menguntungkan pihak-pihak ataupun kelompok tertentu dan negara juga tidak diperkenankan mencampuri atau menghalang-halangi segala upaya yang dilakukan masyarakat dalam rangka pemenuhan hak asasinya.[1]

Menurut bunyi Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, dapat diketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, yang akhirnya bertujuan untuk mencapai ketertiban hukum dan ketertiban sosial.[2]

Untuk menjalankan tugas dan fungsi, Polri harus mengedepankan asas humanism dalam mengamankan dan menertibkan aturan yang ada. Termasuk pengamanan amanah reformasi dalam hal kebebasan mengemukakan pendapat dimuka umum yang sangat dihormati dan diberikan tempat yang layak dalam UUD NRI 1945. Kebebasan mengemukakan pendapat dimuka umum secara konstitusional merupakan bagian dari perwujudan demokrasi dan bagian dari HAM yang harus dihormati, dilindungi, dipenuhi dan dimajukan oleh negara.

Akan tetapi dalam penyelenggaraan penyampaian pendapat oleh masyarakat sering terjadi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian dimana tindakan ini sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan kepada masyarakat seperti luka-luka bahkan sampai menimbulkan kematian. Seperti permasalahan saat ini mengenai kasus yang terjadi di Kabupaten Bolaang Mongondow terkait dengan tindakan represifitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat Bolaang Mongondow yang padahal maksud dan tujuan dari mereka melakukan unjuk rasa atau aksi demontrasi ke DPRD Boltim yaitu ingin melakukan protes mengenai tindakan penerbitan di tambang simbalang oleh kepolisian Boltim yang sudah sangat berlebihan.

B. Kebebasan Berpendapat Dalam Konsep Negara Hukum rechtstaat dan    
      Perkembangan Pemikiran Demokrasi

Indonesia sebagai sebuah negara yang lahir pada abad ke-20, mengadopsi konsep bernegara hukum sesuai prinsip konstitusionalisme. Hal ini dapat dilihat dari kesepakatan (consensus) bangsa Indonesia menetapkan UUD 1945 (UUD NRI Tahun 1945) sebagai konstitusi negara Indonesia. Negara hukum adalah lawan pengertian dari "negara kekuasaan" machtstaat, dasar pemikiran yang mendukung ialah kebebasan rakyat liberte du citoyen, bukan kebesaran negara glorie de I'etat.[3] Ada beberapa istilah asing yang dipergunakan sebagai pengertian negara hukum, yakni rechtstaat, rule of law, dan etat de droit.[4]

Sepintas istilah ini mengandung makna yang sama dimana Indonesia menggunakan istilah rechtstaat untuk menyebut dirinya sebagai negara hukum, hal ini dapat dilihat dalam penjelasan pasal 1 ayat 3 berbunyi, "Indonesia Adalah Negara Hukum".[5] Termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV mengenai tujuan negara Indonesia di antaranya yaitu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.[6]

Dalam pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum perumusan sila-sila pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945, karena pancasila merupakan sumber hukum dalam arti materil yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercemin oleh dan dalam peraturan hukum Indonesia yang harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa, bersifat kerakyatan dan menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.[7]

Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah the rule of law, not of man. Yang disebut negara hukum pada pokokmya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai wayang dari skenario sistem yang mengaturnya.[8]

Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah "rechtsstaat" itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

4. Peradilan tata usaha Negara.

Menilik yang telah disebutkan di atas ialah bagaimana ketika sebuah negara yang memakai konsep negara hukum maka menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa terlepaskan dalam hal perlindungan hak asasi manusia, jika kita melihat penjelasan apa itu hak asasi manusia menurut UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebuktan dalam pasal 1 ialah :

"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."[9]

Hak-hak yang awalnya mengemuka dan menonjol adalah hak atas hidup life, kebebasan liberty, kepemilikan property, kesamaan equality, dan kebebasan berbicara freedom of speech. Meskipun pada umumnya masih terbatas pada bidang politik, namun hak-hak itu dicantumkan dalam berbagai piagam di Inggris. Gagasan tentang Hak Asasi Manusia semakin berkembang sejalan dengan perkembangan demokrasi terutama dengan menangnya negara-negara demokrasi melawan negara-negara fasis dalam perang dunia II.

Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hierarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945 secara tegas menyebutkan adanya prinsip demokrasi dan pengakuan serta perlindungan hak asasi manusia merupakan bukti bahwa negara Indonesia menganut prinsip negara hukum. Ibarat sekeping uang, maka prinsip demokrasi merupakan merupakan salah satu sisi dari mata uang tersebut dan prinsip negara hukum merupakan sisi sebelahnya. Keduanya memiliki hubungan yang saling bergantung karena demokrasi tidak akan terlaksana tanpa negara hukum dan negara hukum tidak akan tegak tanpa adanya demokrasi. Begiitu juga adanya pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia atau hak asasi warga negara oleh Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan bahwa negara Indonesia menganut negara hukum dan demokratis, sebab secara sosio-legal dan sosio-kultural adanya konstitusi itu merupakan konsekuensi dari penerimaan prinsip negara hukum dan demokrasi.[10]

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 "Kedaulatan Tertinggi Berada di Tangan Rakyat dan Dilaksanakan Menurut Undang-Undang".[11] Merupakan manifestasi dari penjaminan HAM dalam sistem politik demokrasi, karena penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan dan pemajuannya ke dalam UUD 1945 dan ketentuan peraturan perundang-undangan bukan semata-mata karena kehendak isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat negara hukum. [12]Hal itu berdasarkan pula bahwa HAM menjadi salah satu indicator untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi dan kemajuan suatu bangsa. [13]

Berbicara Hak Asasi Manusia memang tidak akan pernah habis terlebih yang kita ketahui adanya kebebasan berbicara (freedom of speech) secara lisan maupun tulisan di depan umum maupun dalam media sosial menjadi satu catatan penting kepada kita sebagai negara hukum dan negara demokrasi yang dewasa ini, Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran. Berpendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Jaminan konstitusional dalam UUD 1945 juga menyatakan, bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat juga merupakan bagian hak asasi manusia Pasal 28 E ayat 3[14]

Oleh karena itu, warga negara yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum (Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998). Mengeluarkan pikiran secara bebas adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangan dengan tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan demikian, orang bebas mengeluarkan pendapat tetapi juga perlu pengaturan dalam mengeluarkan pendapat tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan antar-anggota masyarakat.

Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 9 Pasal 4 Tahun 1998, adalah sebagai berikut

  1. Menwujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
  2. Menwujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat
  3. Menwujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi
  4. Menempatkan tanggung jawab sosial kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok[15]

Dalam Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 dinyatakan, bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

(1) menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain,

(2) menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum,

(3) menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

(4) menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban hukum, dan

(5) menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.            [16]

Kewajiban dan tanggung jawab aparatur pemerintah diatur dalam Pasal 7 UU No. 9 Tahun 1998 untuk :

(1) melindungi hak asasi manusia,

(2) menghargai asas legalitas,

(3) menghargai prinsip praduga tindakan bersalah, dan

(4) menyelenggarakan pengamanan. [17]

Sedang masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai (Pasal  8 UU No. 9 Tahun 1998). Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas.

Dalam tulisan ini kita akan melihat apakah ketika secara teoritik sesuai dengan praktik bahwa Negara berkewajiban menjaga dan melindungi dari kebebasan berpendapat di depan umum yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan negara demorkasi dalam hal konsep negara hukum rechtstaat.

C. Tantangan Yuridis Terhadap Kepolisian Sebagai Lembaga Penjaminan
       HAM Di Indonesia

Dalam menjalankan fungsi menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) diperlukan institusi atau aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah lembaga kepolisian, sebagai suatu kelompok pekerja yang unik, yang menjalankan peran fungsional dan simbolik dalam masyarakat. Di dalam menjalankan peran yang demikian itu, lembaga kepolisian adalah pelindung kebebasan yang paling penting bagi perorangan atau kelompok. Namun secara paradoksal, diakui atau tidak, polisi juga dapat merupakan ancaman terhadap kebebasan.[18]

Secara fungsional, polisi dituntut untuk melaksanakan tugas dengan sikap etis, adil, ramah, dan jujur di dalam memberikan pelayanan dan menjaga ketertiban, bukan sebagai tuan yang harus dilayani oleh masyarakat. Dalam menjaga ketertiban, polisi diberi wewenang untuk membatasi kebebasan gerak seseorang secara hukum. Secara simbolis, polisi tidak hanya merupakan lambang sistem peradilan pidana yang paling jelas, namun lebih jauh dari itu polisi juga mewakili suatu sumber pembatasan yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu masyarakat demokratis merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Karena polisi dituntut untuk dapat menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dalam kerangka kebebasan yang justru dijamin oleh demokrasi.[19]

Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu alat negara yang memiliki kedudukan, tujuan dan fungsi penting serta strategis dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur.

Untuk itu perlu dipahami pengertian Polri itu sendiri. Secara konstitusional, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan status Polri melalui perubahan kedua UUD NRI 1945, sebagaimana dimuat dalam Bab XII Pasal 30  ayat (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.[20]

Menurut bunyi Pasal 30 ayat (4) UUD1945, dapat diketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, yang akhirnya bertujuan untuk mencapai ketertiban hukum dan ketertiban sosial.

Untuk menjalankan tugas dan fungsi, Polri harus mengedepankan asas humanism dalam mengamankan dan menertibkan aturan yang ada. Termasuk pengamanan amanah reformasi dalam hal kebebasan mengemukakan pendapat dimuka umum yang sangat dihormati dan diberikan tempat yang layak dalam UUD NRI 1945. Kebebasan mengemukakan pendapat dimuka umum secara konstitusional merupakan bagian dari perwujudan demokrasi dan bagian dari HAM yang harus dihormati, dilindungi, dipenuhi dan dimajukan oleh negara.

Dalam UU No. 9 Tahun 1998 Mengatur tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di depan Umum bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia,  bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai, bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan oleh setiap warga Negara di Indonesia adalah salah satu wujud dari kemerdekaan menyatakan pendapat. Dengan adanya kemerdekaan berpendapat yang dilakukan untuk mengeluarkan pikiran/pendapat secaran lisan, tulisan dan sebagainya secara demontratif dimuka umum, akan mendorong rakyat suatu negara untuk menghargai perbedaan pendapat. Kemerdekaan berpendapat juga akan menciptakan masyarakat yang demokratis. Budaya demokrasi akan tumbuh bila suasana hati rakyat bebas mengemukakan pendapatnya.[21]

Dalam penyelenggaraan penyampaian pendapat oleh masyarakat sering terjadi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian dimana tindakan ini menimbulkan kerugian kepada masyarakat bahkan sampai menimbulkan kematian. Pengaturan mengenai tindakan aparat kepolisian yang melanggar hak asasi telah diatur didalam Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tujuan dari peraturan ini adalah untuk menjamin pemahaman prinsip dasar  HAM oleh seluruh jajaran Polri agar dalam melaksanakan tugasnya senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip HAM, untuk memastikan penerapan prinsip dan standar HAM dalam segala pelaksanaan tugas Polri, sehingga setiap anggota Polri tidak ragu-ragu dalam melakukan tindakan dan untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan Polri agar selalu mendasari prinsip dan standar HAM.[22]

Tetapi yang terjadi dilapangan, anggota Polri seringkali lalai/tidak menaati yang telah diatur didalam Perkap No. 8 Tahun 2009. bahwa tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu, tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan, tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah, tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum, penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum, penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi, harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras, dan kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.[23]

Pada saat ini negara atau pemerintah menjunjung tinggi HAM yang ada di Indonesia tetapi mengapa masih banyak tindakan pelanggaran HAM yang terjadi. Kalau dilihat dalam KOMPAS.com ketua bidang advokasi yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia (YLBHI) M.Isnur menuturkan sepanjang tahun 2019 terdapat kenaikan jumlah pelanggaran HAM. Terkait hak fair trial atau berkaitan dengan proses pengadilan yang adil, terdapat 169 kasus pelanggaran HAM.

Sementara pada tahun 2018 jumlah pelanggaran HAM hanya 144 kasus sehingga hal ini menandakan ketika pada tahun 2019, pelanggaran HAM meningkat tajam dari tahun sebelumnya dan hal ini sangat mengerikan dan sesungguhnya menciderai konsep negara hukum dan demokrasi.[24] Dilansir dari CNN Indonesia Presiden Jokowi Widodo telah mengatakan bahwa dirinya berkomitmen untuk menegakan demokrasi di Indonesia. Presiden menyebut kebebasan pers hingga menyampaikan pendapat adalah pilar demokrasi yang harus terus bersama-sama dijaga dan dipertahankan tetapi apakah sudah terbukti penjaminan HAM-nya dari pemerintah terhadap warga negara[25].

   Berangkat dari tindakan HAM yang terjadi dari tahun 2018 sampai pada tahun 2019 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) mendesak Presiden Joko Widodo mengevaluasi kebijakan kabinet Indonesia maju jilid II. Desakan ini muncul setelah  the Economist Intelligence Unit (EIU) merilis indeks tahun 2019. Dalam laporannya, Indeks demokrasi Indonesia tercatat berada di angka 6.48 dan termasuk dalam demokrasi yang cacat (flawed democracy) sehingga pemerintah juga tidak boleh lepas tangan mengabaikan laporan tersebut karena kualitas demokrasi menjadi salah satu tolak ukur sebuah negara dalam menghargai warga negaranya.[26]

Melihat kasus yang terjadi saat ini khusus-nya di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (BOLTIM) Provinsi Sulawesi Utara sangat tidak mencerminkan fungsi dan tujuan dari institusi POLRI sebenarnya kepada masyarakat. Aksi yang diikuti kurang lebih 150 orang yang diawali oleh long march (pawai panjang) dari desa Tombolikat menuju DPRD BOLTIM di Tutuyan dengan bermaksud untuk menyampaikan pendapat aspirasi atas dugaan tindakan represif aparat kepolisian saat melakukan penerbitan yang tidak berperikamanusiaan dengan membakar alat penambang milik warga dan melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap 9 orang di lokasi tambang simbalang desa Tomobolikat Boltim pada tanggal 18 agustus yang pada saat itu juga masih dalam masa-masa momentum perayaan kemerdekaan negara republik Indonesia.

Kericuhan tersebut dimulai saat aksi sedang berlangsung, secara tiba-tiba Kapolres hadir ke lokasi dan langsung memaksa aksi untuk bubar sehingga terjadi bentrokan antara massa aksi dengan aparat kepolisian yang bertugas.[27] Secara yuridis datangya masyarakat ke kantor DPRD Boltim telah sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dengan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi menurut bentuk-bentuk dan tata cara menyampaikan pendapat di muka umum yang semestinya dan tidak anarkis.

Akan tetapi melainkan disini mala justru kepolisian yang senantiasa tidak menjalankan tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang yaitu dengan tidak menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya padahal sudah jelas tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah: untuk menwujudkan kebebasan yang bertanggungjawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan PANCASILA dan UUD 1945, menwujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat, menwujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativiyas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi, menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.[28]

Hal ini tentunya sangat menyayangkan apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian di negara demokrasi ini yang telah melakukan pembakaran fasilitas tambang masyarakat, ditangkapnya 9 penambang dan 18 orang yang diamankan pada saat unjuk rasa di depan kantor DPRD Boltim yang tentunya tidak sesuai dengan marwa kepolisian yang padahal tugas daripada institut ini berdasarkan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah:  memelihara keamanan dan ketertiban rakyat, menegakan hukum, memberikan perlindungan hukum dan pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat tapi justru malah tidak mencerminkan institusi POLRI yang dengan hukum yang berlaku.[29]

D.  Penutup

Dengan melihat permasalahan yang terjadi dan oleh karena penulis lebih fokus pada tindakan represifitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian maka dari itu Perlu adanya kesadaran bagi aparat penegak hukum dalam hal ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk wajib menjalankan sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak di inginkan seperti tindakan sewenang-wenang agar supaya terciptanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakukan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan manusia yang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnya bisa bebas menyuarakan apa yang menjadi aspirasinya sesuai dengan amanat UUD 1945 dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Karena kalau mau melihat dengan permasalahan yang terjadi mengenai tindakan kepolisian Boltim seperti melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap 9 orang penambang serta melakukan tindakan represifitas di depan kantor DPRD Boltim telah bertentangan dengan prinsip  -- prinsip negara Hukum dan Demokrasi yang menjunjung tinggi HAM.

Menyikapi hal tersebut penulis juga perlu menyarankan bahwa yang (pertama) pemerintah boltim sebenarnya harus membuat peraturan khusus atau peraturan daerah terkait dengan pertambangan lokal masyarakat boltim, (kedua) Lembaga Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia harus menindaklanjuti mengenai tindakan represif kepolisian Boltim kepada masyarakat Boltim padahal masyarakat Boltim dalam melakukan aksi atau demonstrasi demi menyampaikan aspirasi telah sesuai dengan bentuk dan tata cara menyampaikan kemerdekaan pendapat di muka umum sebagaimana yang di atur dalam UU No. 9 Tahun 1998,  (ketiga) pimpinan kepolisian kiranya juga perlu membuat program sosialisasi tentang kode etik dan wewenang POLRI dalam melaksanakan tugasnya di lapangan serta harus ada sanksi yang jelas mengenai tindakan sewenang -- wenang dari aparat kepolisian agar tidak lalai dalam mengatur keamanan dan ketertiban ditengah masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun