Mohon tunggu...
Zidan Sukardi
Zidan Sukardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Free Lancer

Menjadi manusia biasa adalah luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sedekah Laut di Rembang: Bergesernya Moralitas Adat ke Materialisme Modern

8 Juni 2022   14:15 Diperbarui: 8 Juni 2022   19:10 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.Pribadi/Zidan Sukardi

Merupakan sebuah keniscayaan tradisi kebudayaan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Tak terkecuali Tradisi Sedekah Laut di Rembang yang memiliki antusias tinggi bagi masyarakat Rembang dan sekitarnya yang biasa dilakukan pada bulan Syawal.

Berbeda dengan pandangan mayarakat nelayan Rembang dulu yang masih memegang pandangan kosmologi Jawa, yang memiliki keyakinan terhadap hubungan tak terpisahkan antara manusia sebagai jagad cilik (mikrokosmos) dan alam semesta sebagai jagad gede (makrokomos), yang menyangkut alam fisik maupun metafisik. Dalam pandangan ini seluruh perbuatan manusia terhadap alam semesta akan mendapatkan balasan dari alam semesta itu sendiri. Maka dari itu menjadi kewajiban manusia untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan alam semesta.

Atas dasar hal tersebut, yang mana dalam kesehariannya masyarakat nelayan Rembang menggantungkan hidupnya dilaut dengan mencari ikan, maka tradisi Sedekah Laut ini merupakan bentuk ekspresi rasa syukur atas rezeki yang diadapat. Juga merupakan bentuk sedekah dan penghormatan kepada makhluk hidup yang ada dilaut.

Selain itu, Sedekah Laut juga merupakan simbolisme adat yang mencerminkan hubungan antara jagad cilik dan jagad gede. Yang menurut Muhammaddian (2011) dalam tesisnya dengan judul Makna Simbol dalam Upacara Sedekah Laut di Desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang merupakan simbol pengharapan agar mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih melimpah dan untuk penolak bala.

Dalam konteks lainnya Sedekah Laut juga merupakan tindakan moralitas adat yang dilaksanakan sebagai bentuk upaya membangun keberlanjutan lingkungan hidup. Maka dari itu jika tindakan manusianya merusak alam, maka alam akan mengalami penurunan kualitas yang juga akan berimbas pada manusianya itu sendiri. Sehingga dengan kesadaran penuh manusianya tidak akan bertindak serakah maupun mengeksploitasi alam dengan sembarangan.

Kini di era modern dengan etos materialismenya nampaknya sudah menjadi weltanschauung bagi masyarakat nelayan Rembang akhir-akhir ini. Mereka berpikir bahwa materi merupakan tolok ukur dari keberhasilan. Sehingga berimplikasi pada bergesernya nilai-nilai moralitas adat tradisi Sedekah Laut lebih kearah yang materialistis. Pada akhirnya pandangan masyarakat terhadap Sedekah Laut hanyalah sebagai sarana meraup kekayaan, hiburan, hingga popularitas belaka.

Momen yang sangat kentara dari etos materialisme Sedekah Laut di Rembang tercermin oleh beberapa ekspresi yang ditampilkan dalam rangkaian acaranya. Dari upacara tradisi larung sesaji yang awalanya dimaksudkan sebagai wujud syukur kini menjadi sarana adu kemewahan maupun gengsi antara desa-desa diwilayah pesisir Rembang yang ditunjukkan dengan perayaan arak-arakannya. Demikian juga pagelaran wayang dan ketoprak yang tidak lagi dilihat sebagai nilai estetika maupun unsur falsafah hidup masyarakat Jawa di dalamnya, kini hanya sebatas dianggap laku dipasaran saja.

Selain itu yang paling melekat pada rangkaian acara Sedekah Laut di Rembang adalah pertunjukan dangdutnya. Hampir setiap desa di Rembang dalam tradisi Sedekah Laut menghadirkan pertunjukan dangdut yang dianggap sebagai prestise di masyarakat yang dinilai dari kemewahan acara dan seberapa mahal acara tersebut. Sehingga budaya nyawer dangdut menjadi suatu yang bergengsi di masyarakat nelayan Rembang, semakin banyak nyawer maka semakin bergengsi di mata masyarakat. Bahkan sebagian masyarakat kurang mampu terkadang memaksakan diri untuk nyawer tanpa mempedulikan kondisi ekonominya.

Pada artikel jagodangdut yang berjudul Fantastis, Pria Ini Sawer Biduan dengan Banyak Uang Bikin Melongo menurut Sodiq New Monata sebagai seorang pedangdut menyebutkaan di daerah seperti Pati, Rembang, Madura dan lainnya sawerannya bisa dibilang cukup tinggi, bahkan dalam semalam saweran dapat mencapai 100 juta. Doktrin Descartes cogito ergo sum, nampaknya oleh masyarakat nelayan Rembang lebih pantas diplesetkan menjadi,”Saya nyawer, maka saya ada.”

Tidak hanya itu, kuatnya arus modernisme membentuk imajinasi konsumtif yang berorientasi pada kepuasan. Bahkan mengkonsumsi telah menjadi gaya hidup maupun status sosial. Sehingga oleh sebagian masyarakat Rembang menganggap sedakah laut sebagai ajang untuk berbelanja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun