Mohon tunggu...
Lalu Zidan
Lalu Zidan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa hubungan internasional semester 5 di universitas muhammadiyah malang

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dinamika Hukum Internasional Dalam Era Senjata Otonom dan Kecerdasan Buatan

9 Januari 2025   14:15 Diperbarui: 9 Januari 2025   16:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Senjata otonom adalah sistem persenjataan yang dapat memilih dan menyerang target tanpa campur tangan manusia secara langsung. Teknologi ini didukung oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), yang memungkinkan sistem untuk menganalisis data, membuat keputusan, dan melaksanakan tindakan secara independen. Dalam konteks militer, senjata otonom mencakup drone bersenjata, kendaraan tempur otomatis, dan sistem pertahanan berbasis AI yang mampu mendeteksi dan melumpuhkan ancaman dalam waktu singkat.

Perkembangan Terkini Senjata Berbasis AI

Kemajuan teknologi telah menghasilkan berbagai sistem persenjataan canggih berbasis AI. Contohnya adalah MQ-9 Reaper, drone bersenjata yang digunakan oleh militer AS untuk misi serangan presisi, mampu terbang selama 27 jam dan mengenali target secara otomatis. Teknologi ini sering digunakan di Timur Tengah dan Afrika Utara dalam operasi melawan kelompok teroris, meskipun memicu kontroversi karena korban sipil. Selain itu, sistem pertahanan otomatis seperti Iron Dome di Israel berhasil mencegat roket dengan akurasi tinggi dan telah menjadi simbol efektivitas AI dalam konflik bersenjata. Perkembangan lebih lanjut terlihat pada kendaraan tempur otonom seperti THeMIS yang dirancang untuk menjaga pasukan dari bahaya langsung, meskipun menimbulkan kekhawatiran soal keputusan independen mesin.

Pengembangan senjata berbasis AI didorong oleh negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan Cina, dengan investasi global yang terus meningkat. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), miliaran dolar dialokasikan setiap tahun untuk teknologi ini, menjadikannya isu utama dalam kompetisi geopolitik dan stabilitas global. Namun, keberadaan senjata otonom memunculkan kekhawatiran tentang penerapan hukum humaniter internasional. Kemampuan AI untuk membuat keputusan di medan perang yang kompleks masih dipertanyakan, dengan potensi pelanggaran prinsip hukum seperti distingsi dan proporsionalitas, serta risiko korban jiwa yang tidak perlu.

Tantangan terhadap Hukum Humaniter Internasional

Prinsip Distingsi, Proporsionalitas, dan Keharusan (Necessity)

Hukum Humaniter Internasional (HHI) menetapkan tiga prinsip utama dalam konflik bersenjata: distingsi, proporsionalitas, dan keharusan (necessity). Prinsip distingsi menuntut adanya pemisahan yang jelas antara kombatan dan warga sipil. Dalam praktiknya, senjata otonom sering menghadapi kesulitan dalam mengenali target secara akurat, terutama di medan perang yang kompleks atau ketika kombatan menggunakan taktik penyamaran dengan berpakaian sipil. Sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) yang digunakan dalam senjata otonom bergantung pada algoritma dan data yang terkadang bias atau tidak lengkap. Akibatnya, risiko serangan terhadap warga sipil meningkat, sehingga berpotensi melanggar prinsip ini. Misalnya, laporan Amnesty International menyebutkan bahwa penggunaan drone bersenjata di beberapa konflik telah menyebabkan korban jiwa di kalangan sipil akibat kesalahan identifikasi target.

Prinsip proporsionalitas bertujuan untuk membatasi kerusakan akibat serangan militer. Menurut prinsip ini, serangan tidak boleh menyebabkan kerugian atau penderitaan yang berlebihan terhadap warga sipil dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan. Namun, senjata berbasis AI memiliki keterbatasan dalam menilai dampak serangan secara komprehensif. AI sering kali hanya menghitung potensi keberhasilan dari sudut pandang teknis tanpa mempertimbangkan konsekuensi kemanusiaan yang lebih luas. Sebagai contoh, serangan drone yang ditargetkan terhadap lokasi tertentu dapat menyebabkan kehancuran infrastruktur penting yang digunakan oleh warga sipil, seperti rumah sakit atau fasilitas air bersih, meskipun tujuan militernya tercapai.

Prinsip keharusan (necessity) mensyaratkan bahwa setiap tindakan militer harus memiliki keuntungan militer yang signifikan dan tidak dilakukan secara sembarangan. Senjata otonom, karena sifatnya yang minim campur tangan manusia, berisiko melanggar prinsip ini jika keputusan serangan diambil berdasarkan parameter algoritmik yang tidak memperhitungkan konteks operasional secara utuh. Misalnya, sebuah senjata otonom dapat menyerang target berdasarkan pola tertentu yang dianggap sebagai ancaman, tetapi pola tersebut mungkin saja salah diinterpretasikan oleh algoritma AI. Dalam kasus seperti ini, keputusan yang diambil mesin bisa tidak sejalan dengan keharusan strategis dan etika militer yang diatur oleh HHI.

Selain itu, kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan oleh AI—sering disebut sebagai "black box problem"—membuat sulit untuk mengevaluasi apakah senjata otonom benar-benar mematuhi ketiga prinsip ini. Tanpa transparansi, tidak hanya pelanggaran HHI yang sulit dihindari, tetapi juga akuntabilitas terhadap pelanggaran tersebut menjadi masalah yang sulit diatasi. Oleh karena itu, pembaruan dalam regulasi HHI yang memperhatikan aspek teknologi AI sangat penting untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip ini tetap relevan dan diterapkan dengan benar dalam konflik bersenjata modern.

Masalah Akuntabilitas

Salah satu tantangan terbesar adalah menentukan siapa yang bertanggung jawab jika senjata otonom melanggar hukum humaniter. Apakah tanggung jawab berada pada programmer, operator, atau negara yang mengoperasikan senjata tersebut? Kurangnya kejelasan ini menjadi hambatan dalam memastikan keadilan bagi korban. Dalam situasi di mana senjata otonom membuat keputusan tanpa campur tangan manusia, sulit untuk menetapkan akuntabilitas pada individu tertentu. Hal ini diperparah oleh kompleksitas teknologi AI, di mana algoritma dapat bertindak di luar kendali programmer setelah diterapkan.

Selain itu, ada perdebatan apakah tanggung jawab hukum seharusnya jatuh pada negara yang menggunakan senjata tersebut atau perusahaan yang mengembangkannya. Di satu sisi, negara sebagai aktor utama dalam konflik bersenjata memiliki kewajiban untuk memastikan senjatanya mematuhi hukum internasional. Namun, perusahaan pengembang AI juga memiliki peran penting dalam mendesain sistem yang aman dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiadaan regulasi internasional yang jelas semakin memperumit situasi ini, sehingga banyak pihak menyerukan pengembangan perjanjian internasional baru untuk mengatur akuntabilitas senjata otonom.

Di sisi lain, ada pula tantangan teknis dalam melacak keputusan yang dibuat oleh senjata berbasis AI. Teknologi "black box" pada AI sering kali membuat proses pengambilan keputusan menjadi tidak transparan, sehingga sulit untuk menentukan apakah tindakan yang diambil sesuai dengan prinsip hukum humaniter. Ini menimbulkan dilema besar, karena korban konflik bersenjata mungkin tidak mendapatkan keadilan akibat celah dalam sistem akuntabilitas ini. Oleh karena itu, pembaruan hukum internasional yang mencakup standar akuntabilitas untuk senjata otonom menjadi semakin mendesak.

Studi Kasus

Insiden Penggunaan Drone di Konflik Timur Tengah
Penggunaan drone bersenjata, seperti Predator dan Reaper, dalam operasi militer di Timur Tengah sering kali memicu kontroversi. Serangan drone AS di Yaman dan Pakistan, misalnya, telah menyebabkan korban sipil yang signifikan, memicu kritik dari komunitas internasional. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana teknologi otonom dapat melanggar prinsip HHI jika tidak digunakan secara hati-hati.

Peran Senjata Otonom dalam Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina menjadi salah satu medan ujian bagi senjata berbasis AI. Kedua belah pihak dilaporkan menggunakan drone canggih untuk pengintaian dan serangan. Misalnya, drone kamikaze seperti Shahed-136 buatan Iran digunakan dalam serangan Rusia. Penggunaan ini menyoroti tantangan pengawasan internasional terhadap teknologi militer baru.

Argumen Pro dan Kontra terhadap Larangan Senjata Otonom

Pendukung larangan senjata otonom berpendapat bahwa teknologi ini tidak dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip HHI dan meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia. Data dari laporan Human Rights Watch (2021) menunjukkan bahwa senjata otonom memiliki tingkat kesalahan yang signifikan dalam mengenali target, yang dapat menyebabkan kerugian besar pada warga sipil. Selain itu, laporan Amnesty International (2020) menyebutkan bahwa negara-negara yang menggunakan senjata berbasis AI berpotensi mengabaikan akuntabilitas atas pelanggaran hukum.

Namun, pihak yang mendukung pengembangan senjata otonom mengklaim bahwa teknologi ini dapat mengurangi risiko bagi prajurit manusia dan meningkatkan efisiensi dalam operasi militer. Sebuah studi dari RAND Corporation (2022) menunjukkan bahwa penggunaan senjata berbasis AI dapat mempersingkat durasi konflik dan mengurangi korban di pihak militer. Mereka juga menekankan bahwa regulasi yang ketat lebih realistis daripada larangan total, mengingat investasi besar dalam penelitian dan pengembangan teknologi ini.

Upaya Hukum atau Inisiatif Internasional

Seiring dengan meningkatnya kekhawatiran global terhadap dampak senjata otonom, berbagai upaya hukum dan inisiatif internasional telah dilakukan untuk mengatur teknologi ini. Salah satu forum utama adalah Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (CCW) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam kerangka ini, diskusi tentang senjata otonom telah berlangsung selama bertahun-tahun, tetapi hingga saat ini belum menghasilkan kesepakatan internasional yang mengikat. Perdebatan dalam CCW sering kali terhambat oleh perbedaan pandangan antarnegara; beberapa negara seperti Rusia dan Amerika Serikat menolak larangan total senjata otonom, sementara negara-negara lain seperti Austria dan Kosta Rika mendesak penerapan regulasi yang ketat.

Menurut laporan terbaru dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2023, ada kebutuhan mendesak untuk menambahkan protokol baru dalam Konvensi Jenewa. Protokol ini bertujuan untuk memastikan bahwa senjata otonom mematuhi prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, termasuk distingsi, proporsionalitas, dan keharusan. SIPRI juga menyoroti bahwa negara-negara anggota PBB perlu membangun konsensus global untuk menetapkan batasan yang jelas mengenai pengembangan dan penggunaan senjata berbasis AI.

Selain itu, beberapa negara dan organisasi non-pemerintah telah mengusulkan moratorium sementara terhadap pengembangan dan penyebaran senjata otonom. Usulan ini bertujuan untuk memberikan waktu bagi komunitas internasional untuk menyusun kerangka hukum yang lebih komprehensif. Kampanye internasional seperti Campaign to Stop Killer Robots telah mendorong larangan penuh terhadap senjata otonom, dengan menekankan bahwa keputusan hidup dan mati seharusnya tetap berada di tangan manusia, bukan mesin.

Di sisi lain, ada upaya di tingkat regional untuk mengatur penggunaan teknologi militer berbasis AI. Misalnya, Uni Eropa telah menerapkan kebijakan yang menekankan pentingnya "pengawasan manusia" (human oversight) dalam setiap operasi militer yang melibatkan AI. Kebijakan ini menjadi contoh bagaimana pendekatan regional dapat melengkapi inisiatif global yang lebih luas. Dengan meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas internasional, pembentukan regulasi global terkait senjata otonom semakin dianggap sebagai kebutuhan mendesak. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada kemauan politik negara-negara besar yang menjadi pemimpin dalam pengembangan teknologi militer berbasis AI.

Kesimpulan

Kemajuan senjata otonom dan AI telah menciptakan tantangan baru bagi Hukum Humaniter Internasional. Ketidakmampuan teknologi ini untuk sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip HHI, serta masalah akuntabilitas, menimbulkan risiko besar bagi perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata. Jadi menurut saya, diperlukan kerangka hukum internasional yang lebih jelas dan mengikat untuk mengatur penggunaan senjata otonom. Langkah ini mencakup pengembangan regulasi spesifik, peningkatan transparansi dalam pengujian dan penggunaan teknologi militer, serta kerja sama internasional untuk mencegah penyalahgunaan teknologi ini. Dengan demikian, kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun