Aliran Stoisisme diciptakan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke 3 sebelum masehi. Aliran ini mengajarkan bagaimana hidup dalam pengendalian diri dan penerimaan terhadap apa yang ada di diri kita.
Satu prinsip utama Stoisisme adalah bahwa kita harus hidup selaras dengan alam. "Manusia yang hidup selaras dengan alam adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu makhluk bernalar." – Henry Manampiring. Rasionalitas sangat dipentingkan didalam Filsafat Stoa.
Stoisisme berprinsip bahwa yang dalam kendali kita hanya pikiran dan perbuatan kita. Dapat diartikan, bahwa segala sesuatu tergantung mindset dan apa-apa yang diperbuat oleh kita.
Seperti kecemasan pada ulangan di sekolah atau perkuliahan, akan nantinya apakah nilai memuaskan atau tidak. Tetapi Stoic tidaklah demikian, ia justru akan lebih memikirkan (terfokus, red-) terhadap pembelajarannya, menyiapkan segalanya untuk zona pertarungan akal, sebab penilaian merupakan diluar kendalinya.
Untuk hidup layaknya seorang Stoic, berikut beberapa ajaran Stoisisme untuk pengamalan sehari-hari:
1) Positif Thinking
Seperti yang sudah dikatakan diatas, bahwa pikiran adalah bagian dari kendali kita. Berpikir positif adalah cara mengambil hikmah disetiap masalah yang menimpa. Seorang Stoic ketika dihadapkan masalah lebih tenang, bijak, sebab dalam prinsip Stoisisme percaya datangnya hal-hal buruk yang pasti menimpa disuatu waktu. Stoisisme melihat peristiwa, apapun itu, sebagai fakta objektif, dan makna dari peristiwa itu datang dari diri kita sendiri.Â
2) Literasi: Menulis
Tokoh-tokoh dalam aliran Stoisisme, seperti Marcus Aurelius yang merupakan seorang Kaisar, James Stockdale salah satu Pilot pada perang Vietnam, dan Epictetus dari golongan budak, ketiganya disamping kesibukannya, seringkali menyempatkan waktu untuk menyusun jurnal. Menulis pun dapat melatih otak kita, dan dengan menulis kita pun akan memperbanyak membaca buku sehingga dapat menambah pengetahuan. Dengan tulisan (baca: jurnal) pula, kita pun akan berkaca ke masa lampau dari beberapa kejadian, untuk dimasa kelak mendapatkan kebahagiaan.
3) Tidak Mengkhawatirkan Opini Oranglain
Opini dalam Dikotomi Kendali tergolong diluar kendali kita. Oleh sebab itu, kita tak ada kuasa untuk merubah opini tentang kita dari oranglain, apakah kita baik atau buruk dalam pandangannya. Dalam filsafat ini, opini dijadikan sebagai masukan dalam pengembangan diri. Ketika misalnya seseorang menjustifikasi kita buruk dari segi prestasi, maka kita harus berupaya untuk meningkatkan kualitas, tetapi tidak perlu sampai ambisius, sebab yang menjadi tolak ukur bukan prestasinya, melainkan kebahagiaan tatkala pencapaian.