Tantangan Ekstraktivisme dan Rintangan Menuju Keberlanjutan Lingkungan
Dalam panggung dunia yang diwarnai oleh ketidakseimbangan kekuasaan antara modal dan lingkungan, modus produksi kapitalisme dalam industri ekstraktif menjadi akar dari kerugian kronis dan akut. Pemilik modal cenderung mengoperasikan kebijakan perusahaan yang bersifat predatoris, mengesampingkan pertimbangan keberlanjutan lingkungan demi keuntungan ekonomi yang cepat. Namun, langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi ini dapat diwujudkan melalui kebijakan negara yang progresif, mengawasi dan memantau operasional industri agar berfokus pada kepentingan rakyat dan mengurangi dampak hilirisasi yang merugikan.
Rantai Kerugian: Dari Revolusi Industri Hingga Era Modern
Sejarah revolusi industri menunjukkan bahwa konsep energi awalnya diidentifikasi dengan minyak dan batu bara, menjadi pendorong utama kemajuan industri. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah energi mulai diromantisasi sebagai bagian alamiah, menyembunyikan krisis sebenarnya di balik transisi energi yang sejatinya adalah dorongan untuk mengakumulasi kekayaan. Sustainable energy yang seharusnya menjadi prioritas, justru terjebak dalam siklus produksi massal yang merusak ekosistem demi keuntungan kapital besar.
Pada era kolonialisme Belanda, fokus eksploitasi batu bara terpusat pada industri dan perkeretaapian. Meskipun saat Soekarno bergabung dengan OPEC pada tahun 1962, yang bertujuan memperkuat ekonomi nasional, rencana tersebut terhenti pada 1965. Pada masa Suharto, fokus energi berubah menjadi penopang ekonomi negara.
Dampak Perubahan Iklim dan Kontradiksi Pasca-Suharto
Munculnya isu perubahan iklim terkait dengan keuntungan industri energi menandai era pasca-Suharto, di mana kebijakan neoliberal menciptakan kontradiksi dan liberalisasi sektor energi. Sebagai contoh, produksi 80 mobil Tesla membutuhkan jutaan volume kubik air, memberikan gambaran jelas tentang dampak industri terhadap sumber daya alam.
Di tengah isu ini, prospek geothermal di Indonesia pada tahun 1990 menunjukkan potensi dengan 64 proyek, termasuk Dieng yang kaya lithium. Indonesia Timur diidentifikasi sebagai pemasok bahan baku baterai terbaik. Sayangnya, kolonialisme modern mengincar lahan vital untuk ekonomi rendah karbon, dengan dampak merugikan seperti kehilangan tanah, pembatasan akses beternak, pencemaran ekosistem laut, kerugian bagi petani rumput laut, penurunan pendapatan nelayan, dan kekeringan sumber air masyarakat.
Mendorong Perubahan melalui Keberlanjutan Lingkungan dan Perjuangan Parlementariat
Dalam menghadapi sesat nalar transisi energi yang dipenuhi oleh kepentingan ekonomi, perjuangan untuk lingkungan yang sustainable melalui jalur parlementariat menjadi penting. Partai Buruh, sebagai perwakilan kelas pekerja, terlibat aktif dalam debat untuk mendorong lingkungan yang sustainable dan promosi energi terbarukan. Partai ini menegaskan dirinya sebagai entitas demokratis dengan pendanaan mandiri, menjauh dari pengaruh pengusaha tambang dan perusak lingkungan.
Ruang Kekuasaan Negara sebagai Penentu Keberlanjutan