Konstitusi Indonesia disusun dan ditetapkan pada masa revolusi yang dimulai dengan kekalahan tentara Jepang di Asia pada tahun 1945. Menyadari kekalahannya tersebut, Jepang mulai mencari simpati dan dukungan rakyat Indonesia terhadap Sekutu. Salah satu strategi Jepang adalah menerapkan kebijakan dan mendirikan Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah menyusun Pembukaan dan Rancangan Undang-Undang Dasar, Jepang membubarkan BPUPKI pada tanggal 7 Agustus 1945.
 Jepang kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melalui penguasa tertinggi Tentara Kekaisaran Jepang di Asia Selatan. PPKI terdiri dari 21 anggota termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mo Hatta. Setelah mendengar kekalahan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia dua hari kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, atas nama rakyat Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Kemudian, PPKI menggelar rapat kembali dengan tujuan mengesahkan pembukaan undang-undang dasar, membahas undang-undang dasar dan mengesahkan undang-undang dasar setelah melalui penambahan dan revisi pada tanggal 18 Agustus 1945. Menurut Miriam Budiardjo, Â perubahan konstitusi Undang-Undang dasar NRI Tahun 1945 dibagi menjadi 4 tahap, yang pertama pada masa 1945-1959 sebagai Republik Indonesia ke-I (Demokrasi Parlementer) yang didasari 3 UUD berturut-turut, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, 1949 dan 1950, yang kedua, masa 1959-1965 sebagai Republik ke-II (Demokrasi Terpimpin) yang didasari UUD 1945, yang ketiga, masa 1965 sampai sekarang sebagai Republik Indonesia ke-III (Demokrasi Pancasila yang didasari oleh Undang-Undang Dasar 1945).Â
Pemikiran ini juga disampaikan pada sekitar tahun 1970, sehingga jika kita tinjau saat ini dapat ditambahkan masa Republik ke-III periode antara tahun 1965-1998, dan yang terakhir, tahun 1998 sampai saat ini dapat ditambahkan masa Republik ke-IV dengan menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen. Setelah empat kali mengalami amandemen, UUD 1945 terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan tambahan.Â
Dalam risalah Rapat Umum Tahunan MPR 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diterbitkan dalam bentuk naskah sebagai naskah pelengkap dan kolektif tanpa anotasi. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan sebagai dasar hukum negara Indonesia.
Namun, situasi hukum Indonesia saat ini sering mendapat pujian dan kritik. Berbagai kritik telah diterima mengenai penuntutan, kesadaran hukum, kualitas hukum, ambiguitas berbagai undang-undang terkait dengan prosedur peradilan, dan lemahnya penerapan berbagai peraturan. Apakah anda masih ingat dengan kasus Bapak Aspuri yang dipenjara lima tahun hanya lantaran memungut kain lusuh yang sebenarnya telah dibuang? Lalu juga dengan saat Nenek Minah yang menerima tuntutan 1 bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan yang disebabkan lantaran mencuri tiga butir buah kakao seharga dua ribu yang pada akhirnya dikembalikan lagi? Lalu juga dengan saat laki-laki lanjut usia bernama Busrin yang dipidana dua tahun dan hukuman denda sebesar dua milyar, yang disebabkan lantaran menebang pohon mangrove yang dibuat sebagai bahan bakar memasak. Dan yang paling kontroversi merupakan saat Nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang kayu jati dengan panjang 15cm milik Perum Perhutani, yang dipenjara lima tahun. Hal ini justru berbanding terbalik saat aturan menghadapi perkara atau kasus yang besar yang dilakukan oleh mereka-mereka yang notabenenya merupakan kaum borjuis atau berduit. Salah satunya merupakan perkara korupsi mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang dijatuhi sanksi 4 tahun penjara & hukuman 200 juta rupiah. Dalam pelanggarannnya, Ratu sudah melakukan suap pada mantan kepala Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar sebanyak 1 Miliar Rupiah buat memenangkan somasi yang diajukan pada Amir Hamzah & Kasmin. Apabila 2 kasus diatas dilihat melalui besar kerugiannya, saya rasa pelanggaran yang dilakukan mantan gubernur Ratu Atut lebih parah, namun mengapakah hukum yang dituntutkan kepada Nenek Asyani, Bapak Aspuri, dan Bapak Busrin justru terlihat lebih berat? Yaitu karena hukum itu memiliki sifat eksklusif atau pengucilan, hal tersebut berdasarkan kondisi hukum dan budaya empiris, yang mendapat hukum paling baik  adalah orang-orang yang berduit. Dari hal tersebut dapat disimpilkan mengapa hukum di Indonesia terlihat tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Dalam situasi masyarakat Indonesia saat ini, banyak yang masih belum memahami hukum, sehingga mereka memiliki perwakilan hukum di sisinya, mereka harus menerima tuduhan dan serangan secara langsung tanpa pembelaan teoretis berdasarkan hukum. Karena yang menang dalam siding adalah orang yang berhasil memanfaatkan hukum secara penuh. Kita semua tau, bahwa menyewa pengacara yang benar benar membela terdakwa itu butuh perjanjian, dan perjanjian pasti berhubungan dengan uang yang tentunya tidak sedikit. Inilah faktor yang membuat orang yang memiliki ekonomi rendah cenderung memasrahkan semuanya kepada hakim. Kita berharap saja semoga saja pak hakim masih memliki rasa kemanusiaan yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H