Zidan Al Fadlu - 2010702007
Sosiologi modern, Bernardo J Sujibto M.A
Sosiologi A, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Zygmunt Bauman merupakan sosiolog yang lahir pada 1925, ia hidup di tengah gejolak maneuver Nazi dalam memberengus kelompok Yahudi. Bauman sendiri yang terlahir dari ras Yahudi tidak luput merasakan apa yang terjadi waktu itu. Saat Hitler membangun kamp konsentrasi di Auschwitz, Polandia, Bauman dan keluarganya melarikan diri dari Polandia, dan meminta perlindungan kepada kaum komunis di Rusia. Meski setelah itu, Bauman untuk kedua kalinya melarikan diri dari Komunis Rusia karena ia memiliki pandangan kritis tentang sosialisme Uni Soviet yang otoriter. Â
Pengalaman hidup yang diselimuti dengan berbagai gejolak perang, membawa pemikiran Bauman untuk mengingatkan para sosiolog untuk senantiasa bersikap kritis terhadap perkembangan zaman atau modernisme saat ini. karena baginya, kemajuan bukan hanya melahirkan kehidupan yang maju, tapi justru bisa saja melahirkan sesuatu kekacauan yang merenggut banyak sekali korban jiwa.Â
Pertama kali membaca pemikiran sosiolog yang satu ini bermula lagi-lagi dari membaca buku "Kisah Sosiologi" karya Kevin Nobel Kurniawan. Dalam buku tersebut modernisme diartikan sebagai suatu semangat yang menuntut kehidupan masyarakat untuk terus maju, yang berpusat pada suatu negara; menjadi semakin efektif dan efesien, nasionalis, konformis, dan mudah terprediksi. Bauman melihat bahwa nilai-nilai modernisme yang telah melahirkan perkembangan sains, teknologi, kemajuan ekonomi dan militer juga dapat berpotensi sama dalam melahirkan holocaust. Holocaust sendiri menurut Bauman adalah sebuah institusi yang dirancang untuk memproduksi kematian, hanya mungkin dibangun di dalam struktur legal rasional dan sistem ekonomi industry.Â
Dalam kacamata penulis di sini, Bauman jelas melihat bahwa modernitas bukan hanya saja melahirkan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Lebih dari itu, modernitas yang kompleks dan menghadirkan berbagai kemudahan bagi umat manusia justru berpotensi menghancurkan peradaban itu sendiri. Modernitas memang berkontribusi dalam perkembangan kehidupan manusia, akan tetapi manusia sendiri tidak bisa lepas dari yang namanya kepentingan dan nafsu duniawi untuk menyerap habis sumber daya yang ada, atau haus akan sebuah kekuasaan. Oleh karena itu, modernitas memberikan alternatif untuk setiap individu atau kelompok melampiaskan libido kekuasaannya secara sistematis dan terorganisir.
Sebagai sebuah contoh, saat ini dimana teknologi informasi sudah semakin nyata geliat kemajuannya, tentu memberikan sebuah jalan yang mudah bagi siapapun untuk mengakses berbagai platfrome media online. Selain itu, media online juga bisa menjadi ladang untuk menyebarkan berbagai isu, agitasi dan propaganda yang bisa saja memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Di tambah hadirnya sistem algoritma yang memberikan kemudahan untuk setiap isu yang sedang hangat bisa muncul di beranda-beranda media online setiap orang.Â
Tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi informasi semacam itu, bisa membuat setiap orang yang memiliki kepentingan dengan mudah menggiring berbagai opini dan isu untuk disantap oleh setiap individu. Yang amat disayangkannya terkadang isu-isu yang diangkat bukanlah isu-isu baik dan bermanfaat, akan tetapi justru isu-isu yang mengadu domba bahkan menimbulkan berbagai perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Contoh paling nyata bisa kita lihat pada pemilu 2019 lalu, dimana istilah cebong dan kampret menjadi booming di kalangan masyarakat yang mendukung paslon 1 dan 2. Semua itu terjadi, karena peran penting media dalam menyebar luaskan berbagai macam isu yang ada saat itu. Meski, tidak mengakibatkan kerusuhan apapun, akan tetapi sempat membuat kondisi sosial masyarakat memanas.Â
Referensi ;Â
Nobel Kurniawan, Kevin. 2020. Kisah Sosiologi. Pustaka Obor: Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H