Mohon tunggu...
Zidan NurFadhillah
Zidan NurFadhillah Mohon Tunggu... Lainnya - Nothing special

Hanya seorang mahasiswa pegiat transportasi umum, sosial media dan digital marketing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelajaran Kelas Siang

23 Juli 2023   17:45 Diperbarui: 23 Juli 2023   17:47 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik matahari yang membakar tubuh sudah menjadi makanan sehari hari bagiku saat menjalankan aktivitas berangkat ke sekolah. 

Berjalan kaki dari rumah hingga ujung gang dengan sedikit keringat di wajah dan tubuh. Polusi udara dan debu jalan raya seakan sudah kulahap saat menunggu angkot datang ke perhentian tempat ku berdiri ini. 

Di angkot pun, aku banyak menemui macam macam wajah yang mungkin setiap hari kutemui. Wajah muram yang berbicara seakan dia merasa kecewa dan tak bersemangat hingga wajah ceria yang terpancar seakan selalu semangat menjalani hari harinya tanpa beban. 

Ada pula wajah sinis dengan ekspresi yang tidak menyenangkan seakan wajah tersebut berbicara karena tidak suka denganku yang berbeda sekolah dengannya. 

Terkadang aku tak sampai terlalu memikirkan hal itu, yang penting hari ini segera berakhir hingga kutemui akhir pekan yang akan kutunggu tunggu.

Tiba di perhentian gang samping sebuah pasar, tempat perhentian tujuanku. Kuberi isyarat "kiri bang" kepada supir angkot untuk berhenti dan spontan si supir menepikan kendaraannya. 

Kuberikan uang ongkos kepada supir itu sebesar seribu perak dan si supir tersebut langsung menerima ongkos tersebut dan kembali melajukan angkotnya menuju perhentiang terakhir. 

Dengan langit cerah dan udara panas beserta debu debu jalanan sepanjang perjalananku menuju sekolah menjadi sebuah perjalanan yang tidak terasa Lelah dikala kubertemu dengan Rio, seorang teman sekelas seperjuangan. Padahal jarak tempuh dari gang samping pasar menuju sekolah lumayan jauh jika berjalan kaki, estimasi waktu yang dibutuhkan sekitar 30 menit. Lelah menjadi tak berarti karena perbincangan dengan teman soal gosip sekolah musuh maupun kejadian konyol minggu lalu di sekolah. Dengan keringat di sekujur tubuh yang mulai membasahi baju dan topiku tak membuat asa dan tekad menjadi hilang. Seolah keringat keringat yang membuatku tak nyaman ini kubiarkan hingga kering sendiri setibanya di sekolah.

Waktu menunjukkan pukul satu siang, itu tandanya pelajaran pertama akan dimulai. Namun aku yang duduk bermalas malasan di kelas beserta riuhnya suasana kelas tidak menjumpai seorang guru yang masuk ke kelas dengan tepat waktu. Yah, hal itu menjadi biasa, terlebih lagi Ketika ada guru yang tidak masuk pada jam pelajaran menjadi suatu momen sukacita dan menyenangkan satu kelas, seakan merayakan kemenangan atas perang yang mereka lakukan. Tetapi menjumpai momen itu tergolong jarang menurutku di sekolah ini, kecuali jika ada agenda rapat dadakan yang dikabarkan oleh sang guru atau perantara ketua kelas. Tiga puluh menit berlalu, aku masih duduk bermalas malasan di dalam kelas, sesekali aku juga berbincang dengan teman teman dekat kelasku. Suasana riuh dan heboh masih menjadi penanda bahwa pelajaran hari ini belum dimulai. Ingin rasanya tubuhku yang malas ini kurebahkan di Kasur yang empuk agar bisa menikmati tidur siang yang nikmat. Memang ini merupakan sebuah resiko kelas siang yang kujalani tahun ini, yaitu tidak bisa tidur siang. Kecuali libur semester, sesekali aku mencoba untuk menikmati siang hari dengan tidur. Sesekali juga kucorat coret buku tulisku dengan coretan dan tulisan abstrak di halaman paling belakang. Ataupun aku melihat kearah jendela dengan langit yang diselimuti awan tipis. Seakan fikiranku mengawang awang dan terbayang bisa terbang bebas di jam sekolah yang penuh tekanan dan aturan. Kuekspresikan semuanya di langit biru yang lebar tanpa tekanan.

Khayalan itu membuat waktu menjadi tak terasa bahwa pelajaran pertama sudah terlewati tanpa seorang guru. Dengan kata lain, pelajaran pertama tidak terlaksana. Tidak lama, sang ketua kelas memberitahu bahwa ada tugas pada jam pelajaran kedua ini, yaitu mencatat. Tapi sayangnya sang guru tersebut tidak masuk kelas dan hanya memberikan perintah melalui perantara sang ketua kelas. Awalnya aku ingin tuntaskan tugas tersebut, namun setelah kulihat sekeliling teman teman dekatku yang tidak mengerjakan tugas mencatat tersebut, alhasil aku tidak melanjutkan tugas mencatat tersebut. Si sekretaris kelas pun mulai sibuk menulis tugas catatan di papan tulis dengan tujuan agar murid lain mencatat apa yang dia tulis, tapi sebagian murid malah kembali meriuhkan suasana kelas dan asyik bermain seolah acuh terhadap tugas tersebut. Aku yang terhasut oleh temanku yang tidak mengerjakan catatan tersebut memilih untuk bermalas malasan kembali di kursiku. Ya sesekali juga aku ikut bercanda ria dengan teman lainnya untuk memecah kejenuhan selama di kelas. Jam pelajaran kedua ini merupakan pelajaran Bahasa daerah. Pelajaran ini bisa dibilang hanya pelajaran pelengkap yang tidak begitu penting menurutku. Toh, juga mau jawabannya ngasal atau bener nanti nilai di raport juga ga kurang dari KKM kok, begitulah pemikiranku. Jadi aku putuskan untuk tidak serius atas tugas tugas yang diberikan dalam pelajaran tersebut. Saat itu aku berekspetasi bahwa tugas mencatat ini hanya merupakan agenda pengisi Kegiatan Belajar Mengajar saat jam pelajaran kedua tanpa didampingi seorang guru, Adapun tugas catatan itu pula pasti tidak dikumpulkan untuk dinilai. Karena aku sudah paham betul akan kebiasaan guru ini, jika ada tugas seperti mencatat seperti ini jangankan dinilai, diperiksa saja juga tidak.

Hal diluar dugaan pun terjadi, sang guru tiba tiba masuk ke kelas lantaran kegaduhan di kelas yang sampai ke telinganya. Suasana yang tadinya riuh penuh canda tawa berubah 180 derajat menjadi sunyi, tegang dan muram. Dengan penuh amarah si guru berjalan ke belakang dan memeriksa buku tulis milik Aris, teman dekatku yang tidak menulis sama sekali. Seketika reaksi sang guru menjadi sangat mengerikan Ketika melihat buku tulisnya yang minim catatan. Dirobeknya buku tulis itu hingga kertas kertasnya terurai berhamburan di mejanya. Hal itu menambah suasana tegang di kelas seperti sedang dipertontonkan eksekusi hukuman mati. Dalam diriku, aku sudah merasa deg degan berharap tidak memeriksa buku catatanku. Namun hal itu diluar ekspetasiku, guru tersebut juga menghampiriku dan melihat catatanku yang ditulis tadi hanya dua baris, kini reaksinya berbeda dari sebelumnya. Sang guru tersebut melempar buku catatanku ke lantai sembari membentakku hanya lima detik. Tak lama guru itu pergi meninggalkan kelas dengan memberikan instruksi tambahan untuk secepatnya menyelesaikan tugas catatan yang diberikan untuk dikumpulkan. Momen yang menimpaku tadi seakan masih berbekas dan terbayang bayang dalam beberapa waktu kedepan. Seketika itu juga aku ingin lari, pergi, dan menghilang dari sekolah agar tidak berlarut dalam hal memalukan itu. Namun lebih memalukan lagi Ketika aku benar benar kabur dari sekolah saat itu juga, sudah memalukan menambah masalah pula yang ada.

Tanpa berfikir Panjang, aku bergegas mengerjakan tugas dengan mencatat apa yang si sekretaris tulis di papan tulis dengan perasaan agak malu bercampur marah. Bel istirahat berbunyi tandanya jam pelajaran kedua telah usai. Mau tidak mau aku harus kumpulkan tugas catatan itu yang seadanya. Seperti biasanya kulakukan saat jam istirahat, aku pergi ke kantin dan musholla. Tapi entah kenapa momen memalukan di kelas tadi selalu terbayang bayang. Bahkan saat di kantin, kejadian itu seolah menjadi buah bibir dan tersebar di seantero Angkatan. Saat itu aku menjadi merasa malu Ketika bertemu murid lain. Sebisa mungkin aku berpaling dan mencoba tidak mempedulikan kejadian memalukan itu. Sementara Aris yang bukunya dirobek robek pun masih bisa santai, cengegesan haha hihi tanpa memikirkan hal itu. Memang temanku ini sifatnya agak beda denganku, jadi aku maklumkan saja. Toh biar saja dia yang hadapi konsekuensinya sendiri. Yang terpenting aku bisa menjaga diri reputasiku di sekolah ini agar tidak jatuh martabat dan harga diri.

Berlanjut pada jam pelajaran ketiga berjalan normal seperti biasanya dengan bayang bayang kejadian memalukan yang masih menghantui fikiranku. hal itu membuatku menjadi tidak fokus dan tegang sesaat. Padahal di jam pelajaran ketiga ini suasananya sangat cair dan santai tanpa ada tekanan. Tapi entah kenapa aku masih tetap kaku dan tidak bisa lagi duduk seperti jam pelajaran pertama. Tidak terasa jam pelajaran ketiga berakhir di pukul lima sore, ini menandakan kegiatan sekolah hari ini telah berakhir. Dalam rasa kesendirian dan hina pada hari itu kuputuskan untuk pulang dan mengasingkan diri sejenak dari teman temanku yang biasanya pulang Bersama. Kurebahkan tubuh yang Lelah seharian di kelas ini pada rumput hijau lapangan yang sepi dan sunyi. Disertai angin kecil yang menambah harmoni sore menjadi sangat terasa nikmat. Sembari berfikir, bahwa hal memalukan ini merupakan pertama kalinya menimpa dalam hidup bagi orang sepertiku, orang yang selalu menghindar dari segala permasalahan dan tidak ingin ikut campur dalam permasalahan. Saat itu yang penting bagiku di sekolah atau dimanapun aku ingin semuanya berjalan secara tenang dan normal tanpa ada permasalahan yang dapat merugikan diri sendiri. Momen memalukan tadi kuanggap sebagai yang pertama dan terakhir dalam hidupku selama aku bersekolah di tempat itu. Kira kira itulah refleksi diri yang terfikirkan sembari menatap langit yang berwarna jingga berhias awan gelap. Aku juga berfikir mengecam dan menyesalkan perbuatan sang guru tadi yang tak adil bagiku, dari sekian banyak murid yang tak mengerjakan catatan hanya aku dan Aris saja yang kena imbasnya. Dari situ fikiran kecewa, sedih dan marah campur aduk jadi satu. Tak peduli ada orang yang melihatku, aku ingin menyendiri menuangkan kegelisahan atas kejadian memalukan itu. Fikiran fikiran liarku mulai menggentayangi dalam diriku seakan aku merasa amat terhina, reputasiku menjadi siswa buruk dan dicap sebagai murid tidak terpuji.

Energi dan fikiran fikiran yang mulai Lelah kulepaskan semuanya sore itu disertai angin angin kecil yang bertiup dari barat ke arah timur. Dengan harapan angin angin itu bisa meniup dan membawa semua kelelahan, keresahan, kesedihan hingga kekecewaan yang kualami hari ini. Kubiarkan tubuhku yang merebah dihempas angin angin yang mulai kencang saat mendekati waktu maghrib. Aku ingin nikmati momen sore yang mungkin bagiku sendiri tak terulang lagi. Kucoba pejamkan mata dan menikmati semilir udara sejuk sore tersebut. Tak terasa fajar mulai menghilang dan langit berganti gelap, hampir saja aku ketiduran seperti orang tunawisma di lapangan terbuka. Tanpa berfikir Panjang, aku langsung bergegas pulang menuju rumahku. Sepanjang perjalanan pulang aku sudah mulai mengantuk dengan perasaan ingin cepat tiba di rumah untuk membersihkan diri dan tidur untuk memulihkan energi serta melupakan semua hal yang terjadi hari ini. Semoga esok hari dan seterusnya kuharap tidak terulang kembali momen memalukan di kelas siang hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun