Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, memberikan sebuah program kerja yang sampai kini membekas pada ingatan masyarakat, yakni program makan siang gratis yang ditujukan untuk seluruh anak Indonesia, baik yang masih dalam kandungan ibu sampai berada di usia sekolah.
Setelah keduanya terpilih, rakyat tentu mulai menyodorkan pertanyaan, kapan mulai realisasinya? siapa sajakah yang mendapat program? bagaimana distribusinya? Dan rentetan pertanyaan lainnya. Lantas baru-baru ini, Prabowo Subianto mengoreksi istilah makan siang gratis dengan makan bergizi gratis, yang mana jam makan tidak terpaku pada waktu siang hari, namun lebih fleksibel mengikuti jam belajar anak sekolah.
Tentu saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintahan mendatang untuk menelaah dan bersiap terkait program Makan Bergizi Gratis. Pasalnya, program ini merupakan kabar gembira bagi masyarakat penerima bantuan, disaat banyak kebutuhan pokok terus-menerus merangkak naik.Â
Mungkin sudah banyak artikel lain dengan penjelasan lebih runtut dan detail terkait tantangan, manfaat program, perlunya kerjasama lintas sektor, skema penyaluran yang efektif, inovasi menu yang cocok untuk anak sekolah, dan sebagainya.
Oleh karena itu, saya ingin berfokus terhadap aspek-aspek yang ada pada menu program makan bergizi gratis, seperti penentuan kebutuhan gizi, menu makanan yang disajikan, dan juga kemungkinan food waste yang timbul juga cara pencegahannya. Semoga ada manfaatnya.
Penentuan Kebutuhan Gizi Siswa PenerimaÂ
Sasaran program makan siang gratis memang belum ketok palu, namun berdasarkan apa yang disampaikan Prabowo saat debat capres lalu, kiranya program beliau akan menyasar pada ibu hamil sampai anak usia sekolah termasuk santri pondok pesantren.
Lalu penentuan kebutuhan gizinya juga tidak bisa disamakan, karena perhitungan kebutuhan gizi membutuhkan pertimbangan jenis kelamin, usia, berat dan tinggi badan, juga tingkat aktivitas fisik harian. Bahkan dalam satu kelompok yang sama, misal pada kelompok anak usia sekolah dasar kelas 3, pun kemungkinan besar terdapat perbedaan.
Jika pemerintah diminta untuk melakukan perhitungan kebutuhan kalori dan zat gizi setiap individu, tentu akan memakan waktu panjang dan rumit. Ada alternatif penggunaan AKG (Angka Kecukupan Gizi) Permenkes RI tahun 2019, yakni kecukupan rata-rata gizi sehari bagi semua orang sehat di Indonesia.
Namun perlu diketahui, AKG ini diperuntukkan pada kelompok masyarakat yang memiliki berat dan tinggi ideal, yang bisa dipastikan kelompok tersebut memiliki indeks massa tubuh (IMT) normal sehat. Lalu bagaimana dengan kasus malnutrisi dan obesitas misalnya, tentu penggunaan tabel AKG kurang tepat jika digunakan, melihat keduanya memiliki fokus dan tujuan berbeda dalam pemberian dietnya.
Malnutrisi atau kekurangan gizi pada anak, menyebabkan adanya gangguan dalam pertumbuhan, bisa berukuran lebih pendek dari teman seusianya, disebut stunting, ataupun memiliki tubuh kurus meski memiliki tinggi badan normal seusianya atau disebut dengan istilah wasting.
Sedangkan obesitas tentu diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki kelebihan berat badan, sehingga dalam dietnya dibantu dengan mengurangi asupan kalori dan lemak, serta menambah jumlah konsumsi serat dan tetap ada anjuran aktivitas fisik.
Sah-sah saja memang jika kebutuhan gizi sasaran mengacu pada tabel AKG, namun mungkin ada perhatian lebih untuk kelompok malnutrisi dan juga kelompok overweight hingga obesitas. Sehingga, lagi-lagi kerjasama lintas sektor diperlukan.
Misalnya, pihak sekolah bertugas untuk melakukan pengukuran tinggi dan berat badan dengan adanya pendampingan atau ada pelatihan sebelumnya. Setelah data terkumpul, selanjutnya menyetorkan data kepada lembaga atau pihak yang menangani program makan bergizi gratis untuk ditindak lanjuti terkait siswa-siswa yang perlu mendapat perhatian dalam pemorsian makan.
Lebih Baik Menu Disajikan berupa Pangan Utuh atau Modifikasi?
Dua-duanya baik asalkan tetap berasal dari real food yang tentu tidak memiliki banyak bahan tambahan pangan, misalnya lebih baik menggunakan olahan daging ayam daripada olahan sosis ayam sebagai sumber protein dalam sebuah menu yang diberikan.
Pertimbangan ini tentu berdasarkan kandungan zat gizi protein yang lebih unggul pada daging ayam daripada sosis. Adanya bahan tambahan pangan pada sosis ayam, seperti pengawet, pewarna, penyedap yang kurang baik bagi tubuh anak, jika terus-menerus diberikan. Â
Pangan utuh tentu baik dalam proses pengenalan kepada anak-anak tentang nama dan manfaat yang diperoleh, sehingga dalam benak anak akan tersimpan memori bahwa bahan makanan misal wortel, berwarna orange-kuning dengan sedikit rasa manis yang baik untuk kesehatan mata.
Biasanya first impression anak akan berlanjut sampai seterusnya, usahakan dalam proses pengenalan ini tidak melakukan kesalahan dalam proses pemilihan bahan pangan atau saat pengolahan yang menyebabkan anak trauma, misalnya adanya hazard biologi berupa ulat sayur pada menu tumis kacang.
Jika dinilai dari sudut pandang masalah anak-anak yang terkadang picky eater, pilih-pilih makanan, tentu pangan modifikasi atau pangan yang dibuat dengan campuran bahan lain dan seolah-olah menghilangkan bahan asli, bahkan rasa khasnya tersamarkan, maka strategi pangan modifikasi tentu akan lebih unggul.
Kita ambil contoh pada menu ayam goreng dan tumis wortel brokoli dengan menu nugget ayam sayur (wortel-brokoli) ditumis dengan menggunakan saos pedas manis. Mana yang akan lebih dipilih? Tentu bagi si penyuka ayam akan memilih menu pertama daripada menu kedua, namun bagi anak yang suka mencoba hal baru, maka akan memilih menu kedua.
Tampilan Menu Cukup Penting
Anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun akan akan cenderung tertarik pada tampilan makanan yang menarik, bisa dari warna maupun bentuknya, tentu rasa juga tidak kalah penting.
Saya pernah belajar sebuah ilmu dasar kuliner bahwa penentuan menu dalam satu sajian harus mencapai keseimbangan, baik dari segi warna, tidak harus berwarna-warni memang, namun mungkin dari segi bumbu yang digunakan untuk jenis lauk nabati maupun hewani bisa dikreasikan, tidak hanya menggunakan satu jenis bumbu saja, misalnya penggunaan bumbu kuning dalam satu hidangan yang terdiri dari lauk nabati maupun hewani.
Selain itu dari segi tekstur juga perlu diperhatikan, misalnya lauk hewani ayam fillet goreng dengan tekstur krispi garing di luar dan lembut daging di dalam, maka untuk lauk nabati sebisa mungkin mencari tekstur yang berbeda, misalnya tahu sebagai lauk nabati bisa dibuat sup tahu dengan tekstur lembut yang dicampur dengan sayur mayur lainnya.
Menyiasati Food Waste yang Kemungkinan Timbul
Food waste atau sisa makan tentu ada kaitannya dengan olahan menu yang diberikan, mungkin sulit untuk setiap harinya menyesuaikan menu apa yang per siswa inginkan, apalagi jumlah penerima tidak hanya satu dua sekolahan namun seluruh sekolah di Indonesia.
Memang kuncinya satu, terus berinovasi terhadap menu juga selalu menerapkan siklus menu tiap harinya, bisa dibuat siklus menu 7 hari atau siklus menu 10 hari. Juga mungkin bisa diadakan evaluasi menu-menu yang disuka atau kurang disukai oleh siswa yang berasal dari laporan para guru untuk dibuat perbaikan saat pergantian menu nantinya.
Berdasarkan pengalaman saya saat bersekolah asrama yang mana disediakan makan 3x sehari, saya menyadari bahwa ada saatnya teman-teman memilih untuk tidak mengambil makanan yang menurut mereka kurang enak. Atau biasanya mereka hanya akan ambil jatah nasi saja, namun lauknya mereka beli sendiri di luar asrama sesuai dengan yang mereka ingini.
Memang makanan asrama terkenal sederhana dan apa adanya, jauh dari kata gizi seimbang, sering kali lauk hanya dengan tempe goreng dan sambal tomat, namun tetap nikmat karena tidak ada duanya. Namun saat ada menu baru yang sebelumnya belum pernah diberikan atau menu dengan lauk hewani yang jarang diberikan, seperti kare ayam atau lele goreng, teman-teman juga saya akan berburu mendapatkan posisi pertama untuk mengantri agar tidak kehabisan dan bisa memilih potongan yang lebih besar.
Food waste kemungkinan timbul apabila porsi yang diberikan lebih besar dari kebiasaan makan sehari-hari, ataupun karena lauk yang diberikan kurang sesuai dengan selera siswa. Tentu cukup sayang jika banyak makanan yang terbuang percuma dan berakhir di tempat pembuangan, sama saja dengan menyianyiakan anggaran negara.
Entah bagaimana skema pemberian makan bergizi gratis ini, apakah pemerintah nantinya akan memberikan makan bergizi lengkap dengan wadah sekali pakai seperti kotak nasi dari kertas atau masing- masing siswa membawa wadah makan sendiri yang bisa dipakai berulang kali, tentu pilihan kedua lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
Setiap sekolah setidaknya perlu menyediakan tempat cuci tangan atau wastafel yang dilengkapi dengan air mengalir dan sabun, agar keamanan pangan terjaga. Apalagi jika setiap sekolah ada tempat khusus yang di desain dengan istilah "ruang makan sekolah", yang di dalamnya terdapat bangku makan, wastafel, juga meja pengambilan nasi, lauk-pauk, juga sayur-buahnya yang mana siswa mengantri satu per satu menunggu giliran.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H