Mohon tunggu...
Zida Sinata Milati
Zida Sinata Milati Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Content Creator, Writer

Seorang freelancer yang menyenangi dunia content creator dan kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Merecall Kembali Kelezatan Sate Ponorogo

2 Januari 2024   07:18 Diperbarui: 2 Januari 2024   07:31 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Sate Ngepos Pak Gareng (Dokpri) 

Masih seputar libur natal dan tahun baru, hampir dalam setahun keluarga kami selalu berkunjung ke rumah nenek sebanyak dua kali, yakni saat libur lebaran dan libur natal-tahun baru. Kota nenek memiliki julukan Kota Reog. Reog adalah sebuah kesenian yang sudah menjadi identitas Kabupaten Ponorogo-Jawa Timur.

Reog merupakan seni tari dengan penari utama bertopeng kepala singa berhiaskan bulu merak yang biasa disebut barongan, sekiranya berat topeng mencapai 50-60 kg. Selain itu juga terdapat penari lain seperti jathil, warok, klono sewandono, dan bujang ganong. Reog juga dipercaya mengandung unsur magis karena salah satu pemain tarinya, yakni warok kerap unjuk kebolehan mencoba hal-hal berbahaya, seperti makan beling, berjalan diatas beling, makan api, dan sebagainya namun tetap kebal dan tidak terluka.   

Pesan yang ingin disampaikan dalam tari reog ini adalah mengenai peperangan yang terjadi antara Kerajaan Kediri dengan Ponorogo, yang mana Raja Kediri (Singobarong) tidak merestui putrinya (Dewi Ragil Kuning) yang dilamar Klono Sewandono (Raja Ponorogo).

Selain kesenian reog ponorogo yang begitu masyhur hingga mancanegara, Ponorogo juga memiliki kuliner yang cukup terkenal, salah satunya adalah sate ponorogo. Rasanya kurang afdol jika Anda mampir ke Ponorogo, namun belum mengicip kelezatan satenya.  

Perjalanan dari kota rantauan menuju kota nenek memakan waktu 5 jam dengan menggunakan mobil pribadi dengan dua kali pemberhentian untuk solat-makan dan isi bahan bakar. Selama di perjalanan saya dan kakak juga bergantian menyetir jika salah satu dari kami mulai merasa ngantuk dan lelah.

Pelan tapi pasti, akhirnya kami sekeluarga memasuki batas masuk Ponorogo, saat itu Ibu nyeletuk "Coba deh beli sate ponorogo, katanya orang-orang sate yang di pojok kota enak", saya dan kakak  mengangguk mengiyakan.

Setelah mobil parkir di bahu jalan, akhirnya kami pun segera turun dan menuju warung sate ponorogo "Pak Gareng" yang terletak di Jalan Gajah Mada No. 2A, Desa Krajan, Kelurahan Bangunsari.

Ibu memesan sate ayam 25 tusuk full daging tanpa kulit dengan pisahan sambel kacang. Saat menunggu kami pun disuguhi dengan pemandangan kota Ponorogo yang sibuk dengan lalu lalang kendaraan dan aktivitas jual beli pertokoan.

Keunikan sate yang dijual disini adalah pemiliknya masih mempertahankan vibes sate keliling gendongan, yakni abang sate yang biasa kita jumpai berdiri saat membakar sate, namun kali ini abangnya duduk di kursi jongkok saat membakar sate-satenya, sate mentahnya pun disimpan di wadah gendongan, tungku yang digunakan juga masih tradisional yang terbuat dari tanah liat, dan kipas yang digunakan berasal dari anyaman bambu besar berguna untuk mengipasi sate-sate.

Untuk teknik bakar sate seperti pada umumnya, sate yang sudah dimarinasi dengan bumbu, selanjutnya dibakar diatas bara api, sambil terus dikipas, dan dibolak-balik. Tak lama berselang satenya pun jadi dan siap dibawa pulang untuk dimakan bersama.

"habis berapa bu tadi?" tanyaku

"62.500, berarti satu tusuk berapa ribu itu?" sahut ibu

"2500, wah cukup mahal ya, kalau di desa itu udah dapet 60 tusuk karena harganya cuma seribuan" jawabku

Sebenarnya sudah beberapa kali kami menyantap sate ponorogo, namun seingat saya belum pernah merasakan sate yang dijual di pojok kota tadi.

Setelah tiba di rumah nenek dan melepas rindu sejenak, kami pun bergegas mempersiapkan makan malam bersama. Rintik hujan dan lampu padam membersamai makan malam kami, menambah syahdu malam bersama itu. 

Nasi dalam wakul, piring, gelas, air minum dalam teko, kerupuk, rambutan, dan manggis sudah berjejer di atas meja makan, hingga tiba saatnya membuka bungkus sang bintang utama "sate ponorogo".

Sate ayam 25 tusuk (Dokpri)
Sate ayam 25 tusuk (Dokpri)

Setelah dibuka ternyata satenya besar-besar, tidak sesuai dugaanku, benar jika mahal karena memang satu tusuknya cukup besar dan panjang, daging satenya dibuat pipih lebar tidak seperti yang biasa kita temui dalam bentuk dadu, yang lebih unik lagi adalah sambel kacangnya ternyata masih berupa padatan yang masih perlu diracik dengan air hangat dengan konsistensi sesuai selera.

Gigitan pertama dari sate ayam yang saya rasakan adalah aroma sangit/ aroma bakaran yang sangat terasa jika dibandingkan dengan sate ayam pada umumnya, namun bumbu kecap yang menjadi bumbu marinasi dan olesan sate saat dibakar cukup merasuk sampai daging terdalam, dan rasanya sungguh otentik, nikmat.

Setelah itu saya mencoba racikan sambal buatan ibu, sambel kacangnya memiliki rasa dominan manis, terasa sedikit pedas, dan sambelnya memiliki tekstur lembut kental karena gilingan kacang dan campuran bumbu juga sangat halus.  

Menurut saya untuk harga 2500 per tusuk cukup worth it, sate yang didapat besar dan terasa puas, apalagi memiliki cita rasa yang unik, berbeda dengan yang biasa saya makan. 

Bagaimana, Apakah Anda juga tertarik ingin mencobanya?

Rating pribadi : 9/10 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun