Mohon tunggu...
Ziaw Noha
Ziaw Noha Mohon Tunggu... Akuntan - Menulis adalah nafasku

Aku menulis karena aku mencintainya. Di setiap ide-ide yang terlintas dalam benakku, di setiap aksara yang tergores dari penaku dan di setiap kebenaran yang terpancar untuk masyarakatku. Sungguh, aku mencintainya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buah Kelapa

9 Januari 2020   18:22 Diperbarui: 9 Januari 2020   18:33 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku benar-benar bodoh. Seharusnya aku mendengarkannya dengan bijaksana. Dia begitu menghargai "ciuman" tak seperti wanita-wanita lainnya yang selama ini bersamaku. 

Kepribadiannya benar-benar menyentuhku. Tapi apa yang kuperbuat justru merusak semuanya. Sampai kapan pun aku tak akan pernah melupakan kesalahan terbesarku di malam itu.

Sebenarnya malam itu aku tak menyadari hari ulang tahunku. Seperti biasa selepas kerja aku bersenang-senang bersama teman-temanku. Kali ini mereka sengaja mengajakkua ke klab malam. Mereka sudah merencanakan pesta ulang tahunku diam-diam. Akibatnya aku pulang dalam keadaan mabuk berat, diantarkan seorang wanita ke apartemenku (aku tak tahu bahwa wanita itu ternyata bagian dari kejutan ulang tahunku).

Dia, wanita yang kucintai jauh-jauh datang dari desa nelayan hanya untuk memberikan kado ulang tahun untukku. Sialnya, dia datang di saat wanita "kejutan" itu menciumku. 

Aku tersentak saat menyadari dia melihat apa yang telah kami lakukan. Buru-buru aku mengejarnya, tapi terlambat. Hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya, bukannya melihat dia tertawa, tapi justru untuk pertama kalinya melihatnya menangis. Dan mungkin untuk terakhir kalinya.

Setahun kemudian aku mendapatkan kiriman surat undangan pernikahan darinya. Ada yang retak di dalam dadaku saat membacanya. Tak menunggu waktu lama, retaknya menjalar ke seluruh tubuhku. Badanku bergetar hebat. Air mataku tumpah.

---

Malam ini udara terasa begitu dingin. Alunan musik di villa sudah mulai terdengar. Setelah tadi siang aku mendatangi pernikahannya yang berlangsung dengan hikmat, malam ini sengaja diadakan pesta perayaan sebelum dia pergi ke kota London mengikuti suaminya.

Aku membiarkan saja angin pantai menyergap tubuhku yang menggigil. Bukan karena tubuhku yang tak mampu melawan hawa dingin pantai, tapi karena jiwaku yang tak kuasa membayangkan dia tadi tersenyum bersama pria lain, pria yang mengucapkan ikrar suci yang dulu pernah kujanjikan padanya. 

Bendungan air mataku tak sanggup ku tahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Dengan bersandar di bawah pohon kelapa, ku lepas semua penyesalan yang sekian lama menyiksa.

Bulan purnama tersenyum menyapa hatiku yang gelap. Membuat pantai terlihat begitu tenang. Ah, pada akhirnya semuanya harus kurelakan. Bukankah mencintai bukanlah menggenggamnya dalam tangan? Laksana merpati putih, sejatinya mencintai adalah melepaskannya bebas demi melihatnya bahagia. Mungkin ini sudah menjadi takdir kami berdua. Bisa jadi dia lebih bahagia bersama pilihan Sang Maha Cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun