Mohon tunggu...
Zia Mukhlis
Zia Mukhlis Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Jurnalis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajar yang Canggung Gaul

4 Mei 2018   04:17 Diperbarui: 4 Mei 2018   13:23 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4 Mei 1947, di sebuah masjid di Yogyakarta telah bersimpuh seorang pemuda memikirkan nasib bangsanya, dilihat negaranya yang masih prematur ini rentan akan goncangan, ditatapnya para muda-mudi yang selalu bersebrangan, kaum pelajar saling hujan-menghujat yang santri mengkafirkan anak sekolah umum dan yang sekolah umum mengolotkan yang santri.

Sebagai pemuda, Yoesdi Gazali sangat resah dengan kondisi Indonesia saat itu, khususnya dunia pelajar. Ia sadar akan tanggung jawabnya sebagai pemuda bangsa, maka dalam tahajutnya hidayah itu turun, Pelajar Islam Indonesia jawabannya.

Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah organisasi pelajar yang telah lama hadir dikancah sejarah Indonesia. Perannya dalam menyatukan pelajar pondok (santri) dan umum adalah prestasi gemilang yang sangat dihargai. Hampir mustahil rasanya untuk menyatukan dua kubu ini, dan berkat PII keduanya berada dalam satu rumpun yang sama dan satu cita-cita yang sama yaitu Indonesia lebih baik.

Tak hanya itu, perjuangannya untuk Indonesia mendapat sambutan yang hangat dari Jendral Sudirman saat ulang tahun pertama PII pada tanggal 4 Mei 1948 : "saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII sebab saya tahu, bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh Pelajar Islam Indonesia kepada negara."

Pada tahun 1966 PII menjadi motor penggerak dari runtuhnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemerintah. PII menjadi pasukan garis depan dari perlawanan terhadap PKI di seluruh daerah Indonesia, dalam nyanyi PII disebutkan, "hancur leburkan ateisme...", adalah semboyan dan sorakan anti PKI. Betapa hebatnya organisasi yang isinya hanya pelajar berani menyerang partai politik.

Di era rezim Soeharto, PII menjadi organisasi yang menolak azaz tunggal disaat berbagai organisasi di Indonesia menerima azaz tunggal tersebut.

Hingga kini proses kaderisasi PII terus berjalan, melahirkan kader-kader militan nan ideal muslim, cendikiawan dan pemimpin. Kadernya tersebar di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua.

Pada 4 Mei 2018 ini PII telah mencapai usianya yang ke-71, usia yang cukup tua jika dibandingkan dengan manusia. 4 mei dijadikan sebagai hari 'bangkit' PII, Harba PII. Kenapa dinamakan sebagi hari bangkit bukan hari lahir, karena disina terdapat perjuangan dan usaha dalam proses munculnya PII.

Perannya yang besar dalam sejarah seolah menjadikannya sumber pergerakan pelajar, dari dulu hingga kini perjuangannya tak henti-henti dalam membina masyarakat pelajar, siap bergrilya bersama militer untuk mempertahankan Indonesia dan aktif secara intelektual menghadapi paham yang bertentangan dengan Islam, maka tak cukup semua itu jika kehadirannya hanya diperingati sebagai hari lahir, nilai dan pengaruh yang ia berikan menyebabkan ia di harus diberi nama sebagi 'hari bangkit PII'.

Dalam refleksi PII tahun ini, mari kita merenung dan menghayati perjuangan kita dahulu kembali disamping kita mencoba untuk mengupgreat diri menjadi mata rantai perjuangan umat islam. Bisa dikatakan eksistensi kita sebagai organisasi pelajar mulai memudar, jika kita dahulu menjadi orator dalam setiap unjuk rasa kini hanya mampu berdiri bersorak ditengah kerumunan masa. Sentuhan kita tak lagi memberikan warna bagi masyarakat pelajar, memang kita selalu melakukan kaderisasi dan pembinaan tapi itu masih belum memberikan percikan pengaruh banyak.

Muslim, cendikiawan dan pemimpin adalah profil ideal kader PII. Muslim dan pemimpin mungkin ini adalah bisa bagi kader PII, namun yang cendikiawan bisa dikatakan tabu bagi kita kader PII. Membaca, menulis dan diskusi menjadi jarang seperti kebanyakan pelajar lainnya, bahkan mungkin ada organisasi lain yang lebih cakap dalam hal ini. 

Untuk zaman yang serba gadget memang mempengarui minat baca kita, namun yang perlu disesuaikan adalah cara kita membaca, jika lebih senang main gadget maka sesekali bacalah buku (pdf) di gadget hingga itu terbiasa.

Membaca memang dari dulu adalah masalah kita bersama, jika dirasa kita butuh pada komunitas membaca dan yang mampu mereview bacaan kita kenapa tidak kita buat, hanya modalkan grup whats app rasanya itu sudah cukup tanpa harus bertemu atau ngumpul disuatu tempat, cukup kumpulkan 10-20 orang dalam satu grup dan review bacaan masing-masing setiap harinya.

Setelah grup membaca itu produktif, lanjutkan kepada menulis, minimal dalam satu bab buku yang dibaca bisa membuat satu artikel, untuk tahap awal mungkin satu halaman masing-masing dan meningkat terus menerus hingga jika memungkinkan grup membaca tadi bisa membuat buku dari hasil kumpulan tulisan masing-masing anggora grup membaca tadi.

Untuk lebih bermanfaat lagi posting tulisan dan gambar buku di Instagram, dirasa perlu membuat akun khusus review buku maka lakukanlah. Dengan bermodal grup whats app banyak hal yang telah kita lakukan, membaca,menulis dan memosting tulisan di instagram.

Untuk diskusi, jika ingin cakupan lebih luas dan efesiensi waktu kita juga bisa melakukannya di grup whats app, adakan kajian atau ta'lim online setiap minggunya yang diisi oleh pemateri yang unggul dalam bidangnya, maka dengan begitu profil ideal kader PII akan terbangun dan selalu terjaga.

Sebagai kader PII yang peduli dengan PII sudah saatnya kita PII memanfaatkan teknologi yang ada untuk eksistensi kita. Untuk konsep dan wacana kita adalah yang unggul, namun dalam penyebaran dan pemasaran kita sangat tumpul, itu dikarenakan kita kurang memaksimalkan peran media. Jika PII ingin berdakwah sudah saatnya tambahkan marteri desain grafis pada training, agar setiap anak PII bisa corel draw dan photoshop, minimalnya picsart. Bagaimana kita akan berdakwah jika istrumen terpenting dari dakwah itu tak kita miliki.

Masyarakat pelajar khususnya kadang acap bosan mendengar ceramah, maka dengan mengubah tampilan ceramah itu dengan gambar dan video menarik itu akan membuat mereka melek dengan ceramah. Komik islami, kartun muslimah, video korea yang berisi pesan dakwah dan lain sebaginya mesti dikuasai oleh anak PII.

 Jika dahulu kita bisa menggerakkan pelajar Indonesia dengan ide dan pena, maka kini kita masih bisa menggerakkan pelajar Indonesia dengan gambar, animasi dan video. Yakinlah perlu ada perombakan dan peningkatan media dalam tubuh PII. Setiap kita memiliki tanggung jawab yang besar akan Islam dan PII, maka mari kita berdayakan media yang memiliki dampak yang paling besar dalam kehidupan kita saat ini.

Sudah saatnya PII menguasai media sosial, Instagram, Fanspage, Kompasiana, website dan semua instrumen dakwah tersebut. Postingan kita harus menarik dan konten kita harus memberikan harapan tidak selalu mengkritik. Postingan alay dan baper menjadi daya tarik yang kuat dalam menggaet anak muda saat ini, jika dirasa perlu kita manfaat konten tersebut untuk PII tanpa menghilangkan nilai islam dan positifnya.

Selamat Hari Bangkit Pelajar Islam Indonesia ke-71

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun