Salah Kaprah Makna Jihad
Beberapa pekan terakhir kita dihebohkan dengan sebuah video kontroversial yang beredar secara masal. Di dalam video tersebut terdapat sekumpulan orang dengan posisi bersiap shalat, dan salah seorang dari mereka mengumandangkan azan. Sekilas di awal tidak terlihat kejanggalan apapun, kecuali setelah sang muadzin melantunkan kalimat Hayya 'alal-Jihaad. Lebih parah lagi, terdapat video lain dengan azan serupa yang menampilkan beberapa orang menghunuskan pedang dan parang. Sontak hal ini menjadi polemik di kalangan umat Islam secara umum.
Mayoritas tokoh Islam serentak memberi tanggapan kecaman atas video tersebut. Keberatan umat Islam atas kejadian ini setidaknya disebabkan dua hal;
1) Larangan banyak ahli fiqih dalam mengubah atau menambahkan lafaz azan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
2) Kondisi kumandang azan tersebut bernuansa ajakan perang. Dengan hunusan pedang yang menyertai azan ini, seakan-akan kondisi Indonesia saat ini adalah Dar al-Harb. Tentu hal ini tidak dapat dibenarkan dalam konteks syariat/fiqih, maupun dalam kondisi sosial bernegara di Indonesia saat ini.
Kelompok semacam ini bukanlah "barang baru" di negeri kita. Pemahaman melenceng mengenai Jihad telah marak menjadi doktrin di kalangan mereka. Jihad dalam kaca mata mereka tidak lagi menjadi syariat yang mewah, melainkan telah bertransformasi menjadi ajakan receh yang bisa ditawarkan kepada siapa pun. Padahal jika kita menilik konteks peperangan pada masa Rasulullah ﷺ, maka dapat kita pahami bahwa perang bukanlah sekedar ajakan jihad tanpa makna; seruan jihad pada masa itu memang didasari oleh seruan mempertahankan Islam dari serangan kaum kafir dan musyrikin. Bahkan jihad harus dilakukan secara total dan komprehensif. Sebagaimana seruan Allah dalam surah al-Hajj,
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Rasulullah ﷺ juga seringkali menyerukan,
جاهدوا المشركين بأنفسكم وأموالكم وألسنتكم
Perangilah kaum musyrikin dengan segenap daya upaya kalian, harta kalian dan juga ucapan kalian.
Namun seruan semacam ini harus dipahami dalam kondisi dan konteks yang sesuai. Segala ayat dan hadis yang menyerukan tentang jihad/perang harus dipahami dan diterapkan dalam kondisi perang; tidak patut diterapkan dalam kondisi damai. Sebagaimana yang kita permah pelajari bahwa pada masa Rasulullah ﷺ terdapat (setidaknya) lima agama yang dianut penduduk Madinah. Kaum muslimin hidup berdampingan bersama Nasrani, Yahudi, Majusi dan keyakinan-keyakinan animisme. Mereka hidup rukun dalam satu atap Dar al-Hijrah. Tidak terjadi peperangan di antara mereka kecuali terjadi pembangkangan, pemberontakan, ingkar perjanjian, politik kesukuan dan lain sebagainya. Nabi ﷺ tidak mengajarkan untuk membunuh dan memerangi umat agama lain hanya karena perbedaan agama.
Rasulullah ﷺ mengecam,
من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما
Barangsiapa membunuh seorang kafir mu'ahad (yang memiliki kesepakatan damai dengan umat Islam) maka tidak akan pernah mencium bau surga, di mana baunya dapat tercium dari jarak 40 tahun. (HR. Bukhari)
Tentu tidak ada yang salah dari ayat dan hadis tentang seruan berjihad. Namun yang salah ialah pemahaman sebagian kaum muslimin mengenai makna jihad. Mereka memandang jihad dalam lingkup paradigma yang sempit; jihad ialah perang, perang itu anjuran Nabi ﷺ, siapa pun yang tidak menggunakan hukumNya maka wajib diperangi. Pemahaman semacam ini bukan hanya mendiskreditkan makna jihad, namun juga akan mengecilkan peran Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Jihad bukanlah hanya tentang perang. Justru mereka yang menggaungkan ajakan perang dengan dalil keutamaan jihad, sesungguhnya mereka sama sekali tidak menjalankan esensi jihad. Bahkan boleh jadi mereka justru sedang "menyembah" hawa nafsunya untuk memerangi saudara seiman.
Berjihad Tanpa Perang
Sesungguhnya Islam adalah agama yang fleksibel, tidak membebani penganutnya dengan ajaran dan hukum yang statis. Tidak terkecuali dalam konteks jihad. Pada dasarnya, seruan untuk keluar ke medan perang memiliki banyak keutamaan, bahkan mereka yang gugur di medan perang mendapat predikat syahid. Para sahabat pun berlomba-lomba mendapat 'anugerah' yang mulia ini. Jenis jihad semacam ini seringkali diikuti dengan imbuhan "fi sabilillah", Jihad di jalan Allah.
Namun tidak seluruh umat muslim mendapati kondisi perang. Bahkan sebagian besar muslimin pada era ini sama sekali tidak berada pada kondisi perang. Mayoritas kita justru hidup pada kondisi damai, rukun dan saling menjunjung toleransi antar umat beragama. Lantas apakah keutamaan jihad secara maknawi tidak dapat kita raih pada masa kini? Apakah jihad hanya berlaku di masa Nabi ﷺ dan sahabat sehingga kita yang hidup jauh setelah mereka tidak dapat memperoleh pahala jihad? Tentu Islam tidak 'sepelit' itu. Jihad yang lebih utama justru dapat diaplikasikan hingga hari kiamat kelak. Jihad apakah itu?
Dari Abu Dzar ra., Rasulullah ﷺ bersabda,
أفضل الجهاد أن يجاهد الرجل نفسه وهواه
Jihad yang paling utama ialah seseorang berjihad melawan dirinya dan hawa nafsunya. (HR. al-Dailami)
Dalam riwayat lain disebutkan,
وأفضل الجهاد من جاهد نفسه في ذات الله عز وجل
Dan jihad yang paling utama ialah berjihad melawan hawa nafsu karena taat pada Allah. (HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban)
Imam Ibnu Batthal berkata, "Jihad melawan hawa nafsu ialah jihad yang paling sempurna." Sebagaimana al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani saat mengomentari hadis di atas mengatakan, "Maksud dari Mujahadah (jihad) di sini ialah menahan diri dari hal-hal dan kesibukan yang membuat lupa pada ketaatan dan ibadah". Selaras dengan pendapat ini, Imam al-Minawi juga menjelaskan bahwa, "Jihad melawan hawa nafsu ialah lebih utama dibanding melawan orang-orang kafir dan musyrikin". Mengapa bisa lebih utama?
Imam al-Shan'ani dalam Syarh al-Jami' al-Shaghir,
المجاهد حقيقة (من جاهد نفسه) على فعل الطاعات ومنها الجهاد في سبيل الله وعلى ترك المنكرات وبالجملة فكل طاعة لا تتم إلا بجهاد النفس
Hakikat seorang mujahid adalah mereka yang berjuang melawan nafsunya agar senantiasa menjalankan segala ketaatan. Di antara ketaatan adalah berjuang di jalan Allah dan meninggalkan kemunkaran. Secara garis besar, seluruh ketaatan tidak akan sempurna tanpa jihad melawan nafsu. Maka seorang muslim tidak akan mampu turun ke medan perang jika ia belum sanggup menguasai hawa nafsunya sendiri.
Dari hadis-hadis dan ucapan para ulama di atas, dapat kita pahami bahwa jihad tidak sesempit paradigma mereka yang selalu menyerukan 'perang' terhadap sesama muslim. Jihad yang sejati ialah menundukkan hawa nafsu, mengarahkannya pada hal-hal positif yang bersifat ketaatan. Jika kita telah sanggup mengendalikan nafsu dengan perbuatan taat, naikkanlah level jihad ini pada hal yang lebih bersifat sosial, yang membawa Islam pada apa yang diharapkan Rasulullah ﷺ. Mengasihi orang lain dengan apa yang kita mampu dari harta kita dengan cara bersedekah, infaq dan mengayomi anak yatim adalah sebuah manifestasi bahwa kita telah berjihad dengan harta, sebagaimana anjuran Nabi ﷺ.
Lebih jauh lagi, anjuran Nabi ﷺ untuk berjihad dengan ucapan pun masih dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Mengucapkan hal baik, tidak memfitnah, tidak menyebar dusta, tidak mencaci-maki, dll. adalah bentuk kendali penuh diri kita atas hawa nafsu untuk tidak menyakiti hati orang lain. Bahkan menasehati dengan santun, memberi dakwah Islam yang ramah, tanpa perlu menghakimi sana-sini, merupakan bukti bahwa kita telah mampu menguasai hawa nafsu kita dengan menebar esensi Islam yang penuh kasih sayang.
Jihad Generasi Muda
Bagi kaum muda yang tidak berkesempatan keluar ke medan perang, Rasulullah ﷺ memberi opsi jihad yang dapat dilakukan oleh golongan ini, bahkan juga berbagai kalangan, selama mereka masih memiliki orang tua.
Dari Abdullah bin Amr ra., bahwa seorang lelaki mendatangi Rasulullah ﷺ dan memohon izin untuk ikut berperang. Lalu Rasulullah bertanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?"
Ia menjawab, "Ya, masih".
"Maka berjihadlah pada keduanya", pungkas Rasulullah .
Apa makna berjihad pada kedua orang tua?
Jawabannya yaitu Birrul-Walidayn; berbakti pada keduanya.
Dalam menjelaskan hadis ini, Imam al-Nawawi memaparkan bahwa bakti pada orang tua derajatnya lebih utama dibanding jihad di medan perang. Sebab seorang anak diharamkan pergi mengikuti peperangan jika tanpa izin dari orang tua. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani bahkan menganalogikan, bahwa dalam jihad fi sabilillah ada dimensi kepayahan, kesuliltan, totalitas dalam tenaga dan harta. Begitu pula dalam berbakti pun perlu upaya dan tenaga bahkan harta demi menjalankan perintah Allah dan nabiNya dalam Birrul-Walidayn.
Hadis semacam ini selain sebagai perintah tersendiri, juga menjadi penguat dari himbauan yang Allah serukan mengenai wajibnya berbuat baik pada kedua orang tua,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu pun, serta berbuat baiklah pada kedua orang tua.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Di hadis lain Rasulullah ﷺ mencela mereka yang akan merugi sebab melewatkan kesempatan berbakti pada orang tua,
رغِم أنفه، رغم أنفه، رغم أنفه، قيل من يا رسول الله؟ قال: من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كلاهما ثم لم يدخل الجنة
"Sungguh celaka! Celaka! Celaka!" Para sahabat bertanya, "Siapa dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu orang yang mendapati masa tua kedua bapak ibunya, atau salah satunya, namun ia gagal masuk surga". (HR. Muslim)
Apa maksud dari "gagal masuk surga"?
Yaitu ketika seorang anak yang sejatinya memiliki kesempatan berbakti, bahkan sampai usia tua bapak-ibunya, namun melewatkannya. Ia tidak mengerahkan segala tenaga dan hartanya untuk merawat orang tuanya, padahal inilah "injury time" yang Allah berikan demi dapat menggapai ridhoNya, dan di akhirat mendapat surgaNya. Imam al-Nawawi menambahkan bahwa berkhidmah pada orang tua, menafkahinya, ialah salah satu dari sebab masuk surga. Sungguh merugi orang yang melewatinya.
***
Maka telah terang-benderang, bahwa Allah dan rasulNya ﷺ menganjurkan kaum muslimin untuk berjihad, baik jihad fisik yaitu jihad fi sabilillah maupun jihad-jihad substansial lainnya. Jihad fisik dapat dilakukan dalam konteks yang mendukung, seperti halnya peperangan di zaman Nabi dan sahabat. Turun ke medan perang demi menegakkan teguhnya Islam menjadi pahala yang besar di sisiNya. Namun bagi kita yang hidup di zaman ini, jauh dari peperangan, bahkan hidup dalam pluralitas menjadi tujuan utama dalam berislam, maka jihad tidak dapat dimaknai dengan terjun memerangi mereka yang berbeda.
Jihaad al-Nafsi, memerangi hawa nafsu, adalah jihad kita sesungguhnya. Hayya 'alal-Jihad! Ayo, mari kita berjihad! Jihad yang tidak bertendensi menyakiti dan melukai siapa pun. Jihad yang sejatinya menundukkan kepongahan jiwa kita. Jihad yang mengantarkan kita menjadi muslim seutuhnya, dengan ketaatan yang hakiki disertai dengan upaya menebar Islam yang senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta.
Wallahu A'lam.
Adapun orang-orang yang takut terhadap kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. (QS. al-Nazi'at : 40-41)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H