Khazanah keilmuan Islam dari zaman ke zaman telah banyak menelurkan cabang disiplin ilmu dan pemikiran. Segala aspek kehidupan dari yang terkecil seperti aturan dalam buang air hingga aspek terbesar seperti kehidupan bernegara telah ditentukan koridor dan regulasinya dalam Islam. Begitu pun aturan menjadi warga yang baik hingga menjadi pemimpin yang adil tak lepas dari pembahasan tentang kepemimpinan dalam Islam. Memilih seorang pemimpin adalah sebuah keniscayaan dalam menjalani roda pemerintahan baik yang tersempit seperti tiga musafir yang bepergian, hingga urusan membangun sebuah negara.
Dalam sejarahnya, Islam memiliki banyak ilmuwan di bidang politik dan kenegaraan. Meskipun para jenius muslim pada abad-abad kejayaan Islam biasanya menguasai berbagai jenis bidang ilmu, namun mereka lebih dikenal dalam ranah ilmu yang curahan dedikasi mereka dinilai lebih mencuat disbanding keahlian lainnya. Ibnu Katsir, contohnya; seorang ahli Hadis, Fiqih dan Sejarah yang ketekunannya di bidang Tafsir dinilai lebih menonjol. Maka dikenallah Ibnu Katsir sebagai ahli Tafsir ternama yang pernah dimiliki umat ini. Begitu pun Muhammad bin Idris as-Syafi’i, ilmuwan yang sekaligus seorang pujangga ahli Sya’ir, Hadis, Tafsir, namun karya dan dedikasinya di bidang Fiqh dianggap tiada dua. Jadilah ia seorang faqih sekaligus pencetus madzhab terbesar sepanjang masa; as-Syafi’iyyah.
Dalam bidang ilmu Politik, Sosial dan Kenegaraan, ilmuwan muslim tak kalah melimpahnya. Tersebutlah al-Mawardi dan Ibnu Khaldun sebagai salah satu dari mereka yang menekuni bidang yang penuh polemik, bahkan terkadang dihiasi dengan muslihat. Kami anggap penuh polemik karena politik dan kenegaraan dalam Islam tidak hanya membahas bagaimana mengatur negara dan memilih pemimpin, namun juga harus disesuaikan pada norma-norma syariat yang datang dari wahyu Tuhan, baik itu kalam-Nya dalam kitab maupun lewat perkataan Nabi-Nya. Semuanya harus berintegrasi dengan menawan sehingga tercapailah kondisi bernegara yang didambakan setiap muslim. Sedangkan muslihat yang terjadi di kancah politik dan bernegara kelak dapat merobohkan tiang-tiang prinsip dalam Islam jika oknum yang tidak bertanggung jawab mencoba mencari celah demi mendapatkan materi atau jabatan yang diinginkan.
Dari titik nadir ini lah kedua jenius tersebut menaruh batasan-batasan yang sesuai norma dan agama dalam menjalani bahtera berpolitik dan bernegara yang baik. Namun pada teori dan prakteknya, kedua ilmuwan ini tidak semerta-merta memiliki pandangan yang sama dalam membangun pondasi-pondasi tuntunan bernegara. Perbedaan kacamata yang mereka gunakan dalam menyoroti fenomena masyarakat ternyata menentukan pisau apa yang ingin mereka gunakan untuk membedah kriteria-kriteria tatanan negara yang baik. Dengan kriteria berbeda inilah yang pada akhirnya membuat hipotesis mereka condong pada salah satu sisi; konsep kekuasaan kah, atau konsep negara?
- AL-MAWARDI
Ilmuwan pertama yang akan kami cermati dalam topic ini adalah al-Mawardi. Ulama kelahiran Bashrah ini dikenal dengan kecerdasan dan kejernihanya berpikir, kepandaiannya dalam berorasi, serta memiliki ketajaman analisis dalam setiap masalah yang dihadapinya. Banyaknya bidang ilmu yang digelutinya sejak usia belia tak lantas membuatnya puas dengan inventaris keilmuannya. Lalu sepanjang hidupnya ia banyak berkelana menuntut ilmu ke luar Bashrah. Hingga pada masanya ia dikenal sebagai seorang pemikir madzhab as-Syafi’iyyah tulen dan menjadi pejabat tinggi yang berpengaruh pada masa dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Salah satu bidang yang ditekuni oleh al-Mawardi yaitu tentang ilmu tata negara dan kepemimpinan, dimana semuanya tertuang lewat tinta-tinta dalam karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Karya yang sangat prestisius ini mengandung banyak pedoman bernegara bagi siapa pun yang membacanya. Contoh-contoh dan kaidah dari al-Quran dan Hadis pun ia sematkan dalam magnum opus-nya itu. Pembahasan intim serta seluk beluk tentang bagaimana cara memilih pemimpin yang sesuai pun ia jadikan bab pertama di buku ini.Â
Ini menandakan besarnya perhatian al-Mawardi pada sosok yang mengatur jalannya kehidupan sosial bernegara. Kriteria-kriteria ketat pun ia ramu guna menjadi tuntunan bagi mereka yang kehilangan kiblat dalam memilih pemimpin yang baik. Tak lupa segala polemik dalam pemilihan pemimpin pun ia cantumkan secara detail, seperti bagaimana cara memilih kepala negara jika pemimpin sebelumnya tidak memberi mandat sebelum wafat. Pun apa yang harus dilakukan jika ada dua kandidat pemimpin yang setara dalam kapabilitas mengatur negara, dan lain sebagainya.
Tak cukup dengan pemimpin, al-Mawardi juga membahas secara terperinci oknum-oknum yang memiliki tanggung jawab membantu kepala negara. Bab dua ia penuhi dengan tata cara memilih menteri-menteri yang mana tugas utama mereka adalah membantu pemimpin dalam bidang mereka masing-masing. Dalam bab-bab selanjutnya penulis mengulas masalah kepala kota alias gubernur, juga panglima perang, polisi, hakim hingga kepemimpinan yang ranahnya lebih privasi seperti imam shalat. Hal-hal tersebut ia bahas secara lugas dengan tetap menjaga kaidah dan koridor keagamaan.
Dari keberagaman topik dan kasus yang dibahas oleh al-Mawardi dalam karya monumentalnya, sepertinya sang penulis ingin mengajak pembaca untuk menyelami samudera keilmuannya yang seakan tanpa batas. Di waktu yang sama ia mencoba menyajikan bahwa kepemimpinan dalam Islam bukanlah hal sulit untuk diejawantah. Selama dijalani sesuai petunjuk ilahi dan senantiasa keep on track maka kehidupan bertanah air yang diidamkan umat tentu tak sulit untuk diwujudkan. Pun dari detilnya masalah yang ia hidangkan dalam takaran agama seakan menunjukkan bahwa aspek terpenting dari sebuah tatanan bernegara ialah sosok sang pemimpin. Urgensi kepala negara menjadi sangat vital tatkala ia mensyaratkan setidaknya 7 poin yang bisa dijadikan patokan dalam memilih seorang pemimpin negara.
Jika kepalanya baik maka seluruh tubuh akan ikut baik. Gerombolan domba akan mengaum jika mereka dipimpin seekor singa; sebaliknya, sekelompok singa akan mengembik jika pemimpinnya adalah seekor domba. Setidaknya hal inilah yang dapat kami cermati dari sosok al-Mawardi dalam mematok pentingnya proses bernegara dengan baiknya seorang pemimpin. Kecondongan beliau terhadap konsep kekuasaan terpampang secara implisit dari contoh-contoh dan analisa yang dijabarkan. Baiknya sebuah negara akan mengikuti baiknya pemimpin negara tersebut. Kesimpulan kami, al-Mawardi lebih mengutamakan kokohnya sosok penguasa dalam suatu negara. Dengan begitu, negara akan tertular kebaikan dan terkena efek langsung dari kepiawaiannya memimpin.
- IBNU KHALDUN
Tokoh selanjutnya yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah Ibnu Khaldun. Atas karya fenomenalnya, Muqaddimah, sosok sejarawan ini dikenal luas sebagai The Father of Sociology atau Bapak Sosiologi. Ulama yang bergelar waliyuddin lahir di Tunisia pada zaman dimana dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran sebab serangan dari bangsa Mongol. Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai ahli dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti Psikologi, Politik, Filsafat, Sejarah dan Ekonomi. Dalam membahas negara, menurutnya, prinsip dasar yang harus terealisasi dalam sebuah komunitas ialah al-Ijtima’ al-Insani atau organisasi kemasyarakatan. Dan segala peradaban manusia bermula dari titik ini.
Sebagai pionir ilmu Sosiologi, selain mengulas tentang peradaban umat manusia dari masa ke masa, Ibnu Khaldun kerap membahas tentang negara dan kepemimpinan. Dengan meletakkan prinsip-prinsip tata cara menjaga eksistensi negara, ia menekankan bahwa dinamika dan pasang-surut bernegara ialah suatu keniscayaan. Teori ini lantas ia formulasikan sebagai Teori Siklus; yaitu keadaan dimana sebuah negara mengalami kemajuan pesat pada suatu masa dan kelak akan mengalami kemunduran bahkan kehancuran di masa yang lain. Berangkat dari hal inilah Ibnu Khaldun seringkali menjabarkan tentang pentingnya unsur-unsur penopang pemerintahan.
Salah satu unsur terpenting yang ada dalam tatanan bernegara menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya ialah sosok pemimpin. Penguasa memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan keberlangsungan negara. Salah satu hal menarik dari unsur lain pembentuk negara yaitu konsep ‘Ashabiyah. Konsep ini berperan penting dalam menentukan posisi seorang penguasa, menentukan kebijakan negara, bahkan merekrut serta mengeliminasi oknum-oknum yang manfaatnya dapat dipertimbangkan dalam keberlangsungan bernegara.
Tidak seperti al-Mawardi yang mensyaratkan banyak poin dalam memilih pemimpin, Ibnu Khaldun lebih longgar dalam menetapkan persyaratan seorang pemimpin negara. Seakan ia ingin mengungkapkan bahwa sosok pemimpin yang ideal secara kualitas tetaplah diperlukan, namun unsur-unsur lain yang mendukung sebuah kepemimpinan tak bisa ditinggalkan. Negara ialah suatu entitas yang terdiri dari banyak komponen. Negara ideal tidak menampakkan fenomena penguasa-sentris. Semua instrumen dalam membangun dan mempertahankan eksistensi negara berada pada takaran urgensi yang sama.
Pun mekanisme pemilihan pemimpin negara tidak disebutkan secara terperinci dalam Muqaddimah. Namun hal ini tidak dilupakannya secara total; sebagaimana al-Mawardi, Ibnu Khaldun juga mensyaratkan adanya Ahlul-Halli wal-‘Aqdi dalam memilih penguasa, yang mana kompetensinya sangat diperhitungkan dengan baik. Dalam pembahasan lain, ia merumuskan tipologi negara yang terbagi menjadi dua. Pertama, negara yang berciri kekuasaan alamiyah (al-Mulk at-Thabi’i) dimana sistem yang berjalan menganut kekuasaan otoriter, kesewenang-wenangan dari penguasa sesuai kehendak hatinya. Kedua, ciri kekuasaan politik (al-Mulk as-Siyasi) yang sistemnya diatur hukum-hukum kenegaraan yang tidak mengintimidasi suatu kaum, sebagaimana yang dianut banyak negara dunia dewasa ini.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa secara teori bernegara Ibnu Khaldun lebih condong ke arah proses stabilisasi dan menjaga keberlangsungan negara. Hal-hal yang ia tekankan berupa konsep dan teori agar suatu negara dapat berjalan dengan baik. Ia juga banyak meletakkan batu pertama dalam pembahasan tipologi negara yang kelak dapat dijadikan rujukan sejarah, seperti jenis-jenis politik bernegara, ciri-ciri dinamika negara, sistem pengikat yang dapat mempengaruhi stabilitas negara, dan lain-lain.
Demikianlah paparan studi komparatif kami tentang paradigma politik dari dua ilmuwan muslim yang dikenal secara global dari masa ke masa; al-Mawardi dan Ibnu Khaldun. Meskipun banyak hal yang kami lewatkan dalam penyajian materi, namun gambaran di atas setidaknya dapat memperjelas dikotomi antara dua kecondongan pemikiran; apakah lebih ke arah kekuasaan (pemimpin) atau ke arah urgensi bernegara. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H