Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi. Ia menolak saat aku menawarkan diri untuk mengantarnya ke bengkel, tempat ia bekerja. Ia khawatir aku akan telat ke seminar karena mengantarkannya. Allah belum mengizinkannya untuk memiliki motor. Saat kemana-mana, ia hanya berjalan kaki atau sesekali memakai sepeda yang ia pinjam dari bosnya. Aku sungguh sangat kagum dengan semangat hidupnya. Ia juga tak pernah sungkan untuk belajar ilmu agama.
***
Keesokan harinya, kami kembali bertemu di mesjid kampus. Aku jadi penasaran sendiri dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Satria. Ia duduk menungguku sambil membaca buku. Aku pun menyalaminya dan ikut duduk di hadapannya.
“Aku ingin berterima kasih padamu, Fadlan,” ucap Satria membuka pembicaraan.
“Terima kasih untuk apa?” sahutku yang memang belum mengerti apa yang dimaksud oleh pemuda ini.
“Tanpa kamu sadari, kamu telah banyak merubah sifat burukku. Melalui dirimulah Allah menyelamatkanku dari keterpurukan.”
Aku hanya diam sambil menunggu kata-kata yang keluar dari bibir Satria.
“Apakah kau ingat dengan seorang bapak yang kau temui 6 bulan lalu? Seorang bapak yang dengan wajah letihnya memunguti sampah di jalanan. Seorang bapak yang dengan gembiranya karena memperoleh uang darimu,” Satria terisak. Ia seakan tak bisa lagi membendung kesedihan yang sepertinya begitu memuncak.
“Ya, aku ingat. Masih terekam dalam ingatanku bagaimana wajah bapak itu. Ada apa Sat? Bagaimana kamu bisa mengetahui semua ini?” sahutku sambil memegang bahu Satria, berusaha menenangkannya.
“Bapak itu adalah ayahku,” Satria menunduk menahan tangisnya.
Tenggorokanku tercekat, terasa sulit menelan ludah.