Batu-batu yang mengeluarkan sumber air itu dikerumuni kerang-kerang kecil, dan lamun yang terangkat hingga lamun yang mati. Air tawar yang mengalir keluar dari lubang batu di pinggir pantai menuju arah laut bertemu dengan air laut pasang yang mengalir memasuki area pantai, ada pusaran air yang teramati. Unik ya.
Selanjutnya, kami mampir ke Pantai Sousu, yang menyambut kami dengan landmark menyerupai layar. Adanya pembangunan-pembangunan yang membuat kondisi pantai ini cukup tertata rapi, dan apik, saya sendiri sih melihat desain toilet nya ini bagus.Â
Air laut bening hingga bisa melihat dasar laut tetap menjadi panorama di sini, tetapi pasir putih bukan fokus di pantai ini. Adapun beton-beton besar di depan sana yang berfungsi sebagai pemecah gelombang atau ombak laut agar bisa mencegah abrasi pantai.
Kami tidak nongkrong lama di pantai ini, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Liya. Dalam perjalanan di kawasan Desa Liya, kami melihat pemandangan indah, jadi kami menepi dan berfoto. Ada pulau-pulau hijau di antara air laut bergradasi hijau dan biru, panorama ala-ala Raja Ampat, Papua, ya kan?
Desa Wisata Liya Togo telah ditetapkan sebagai salah satu dari 50 desa wisata terbaik Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021. Benteng Liya ini didirikan sekitar tahun 1200-an dengan sistem pertahanan tiga lapis yang total luasnya 52.9 Ha.Â
Di area benteng ini ada makam-makam kuno, masjid kuno, dan bangunan yang difungsikan untuk kegiatan perkumpulan. Sayangnya, lokasi benteng ini masih berserakan sampah dari sisa kegiatan Festival Posepa'a kemarin.
Berdasarkan penuturan warga lokal, dalam Posepa'a ini tidak perlu mendaftar dulu sebagai peserta pesepakan, tidak ada aturan mainnya, dan tidak ada kalah-menangnya. Tetapi, hanya sebuah tradisi turun-temurun yang masih dijalankan hingga saat ini, tepatnya pada setiap hari raya Idul Fitri.Â