Mohon tunggu...
Susanti Susanti
Susanti Susanti Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker Susanti

Mari Berkarya

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Apoteker di Mata Penduduk Tanjung Balai Karimun: (1) Saya Akan Praktik

7 September 2019   06:05 Diperbarui: 7 September 2019   21:37 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Sedangkan, Tanjung Balai Karimun adalah sebuah kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau.

 

Kamu Kuliah Jurusan Apa?

Sejujurnya, saat awal mendaftar kuliah jurusan farmasi, saya pikir akan kuliah seperti S1 umumnya yaitu sekitar 4 tahun, lalu terjun ke dunia kerja. Akan tetapi setelah saya lolos, saya diberitahukan oleh sepupuku yang merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir saat itu, bahwa perlu melanjutkan pendidikan Profesi Apoteker setelah lulus Sarjana Farmasi untuk kemudian benar-benar kerja. 


Ya begitu, karena memang demikian peraturan di Indonesia, bila hanya Sarjana Farmasi maka hanyalah seorang Tenaga Teknis Kefarmasian. Selanjutnya, ada pendidikan dan praktik kerja yang perlu dilalui sehingga memiliki kompetensi dan surat tanda registrasi sebagai seorang Apoteker, atau kadang saya menjelaskan lebih sederhana bahwa harus kuliah 1 tahun lagi untuk dapat lisensi sebagai Apoteker. 


Iya, lisensi tersebut sangat penting, dan agak tanggung bila hanya Sarjana Farmasi, sedikit lagi pengorbanannya demi penghasilan yang lebih tinggi bila ingin berkutat di bidang kefarmasian.


Ketika ditanya saudara yang berpendidikan minim di kampungku, saya menjelaskan bahwa saya kuliah jurusan membuat obat. Lalu, mereka akan mempertanyakan apakah prospek kerja bagus? Saat awal mendaftar jurusan ini, memang hanya ini yang saya ketahui, tetapi saya berpikir, "Bukankah sangat mulia bisa menghasilkan obat yang menyembuhkan dan menyehatkan?" 


Hal ini agak berbeda saat bercerita dengan tante-tante (yang juga berpendidikan minim) tetapi yang menetap di Singapura dan Malaysia. Mereka mengacungkan jempol terhadap jurusan ini, dan membuatku penasaran akan sosok Apoteker di negara tetangga.


Kemudian, setelah mendapatkan orientasi dari pihak kampus, barulah saya mengerti bahwa masih banyak keahlian lain seorang Apoteker. Namun, saat saya kembali bercerita pada saudara-saudara yang masih picik wawasan tentang Apoteker, mereka masih mempertanyakan, "Mungkin itu hanya teoritis, mana pernah lihat ada Apoteker seperti itu?" Iya, memang Apoteker belum eksis di kampungku saat itu. Oleh karena itu, semakin kuat tekad ku untuk balik kampung sebagai seorang Apoteker yang eksis sesuai kompetensi.


Tetapi,ternyata tidak hanya di tempat kecil seperti kampung halamanku. Saat sedang kuliah dan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA), saya juga mendengar banyak cerita dan merasakan mirisnya profesi yang akan dijalankan ini. Mulai dari eksistensi pada masyarakat, hingga kehormatan sesama tenaga kesehatan. Namun, semua itu tentu harus bermula pada bagaimana para Apoteker mengeksiskan diri secara profesional di kalangan masyarakat dan tenaga kesehatan. Jadi, saya harus kuliah baik-baik dulu!

Banyak Jalan Bagi Apoteker


Setelah disumpah sebagai seorang Apoteker, saya awalnya mengarahkan pencarian kerja dibidang industri farmasi yang konon katanya bergaji paling tinggi dibandingkan bidang lain. Iya, dengar cerita senior sih katanya begitu, sehingga saya berpikir untuk bekerja beberapa tahun di bidang industri di kota besar, sambil menabung untuk merintis bisnis suatu hari nanti di kampung halaman sebagai Apoteker yang dikenal masyarakat.


Tetapi, saya tidak mengincar dalam hal-hal yang berkontak langsung dengan zat-zat kimia,seperti bagian produksi, pengawasan mutu, penelitian dan pengembangan. Jadi, salah satu departemen yang saya lamar adalah Quality Assurance (Pemastian Mutu) yang secara umum banyak berkontak dengan dokumen-dokumen saja. Akhirnya, saya diterima sebagai Quality Assurance Pharmacist di sebuah industri farmasi swasta di Bandung.


Akan tetapi, setelah empat bulan yang penuh pembelajaran, dan tantangan, akhirnya saya memutuskan bahwa saya mungkin bukan seorang Apoteker yang cocok untuk bergelut dalam perindustrian. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mengundurkan diri, dan mencoba mencari kerja di bidang pelayanan kefarmasian.


Di tengah kegalauan tersebut, saya menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan salah seorang dosen pembimbing skripsiku dulu. Beliau memberikan nasehat yang sungguh berkesan dalam hati dan pikirianku. Intinya adalah saya harus mampu menjalankan praktik kefarmasian secara baik dan benar tanpa tekanan dari pihak manapun, sehingga mampu membawa dampak positif bagi pelayanan kefarmasian sekitar. Kata beliau, salah satu caranya adalah dengan memiliki apotek sendiri.


Lanjut beliau, bahkan di kota besar (contoh saat itu adalah Bandung) masih ada banyak penyimpangan dalam praktik kefarmasian, apalagi di daerah kecil seperti kampungku. Bagaimana saya harus dapat bertahan tanpa terpengaruhi lingkungan,dan tetap menjalankan praktik kefarmasian yang baik dan benar.


Soal modal uang untuk memiliki apotek sendiri adalah sebuah tantangan yang tidak mungkin dapat diselesaikan waktu singkat olehku. Akan tetapi, saat itu saya diperkenalkan dengan seorang pebisnis yang sedang ingin membuka usaha apotek di Tanjung Balai Karimun. Dengan harapan mendapatkan pencerahan dari si ibu dosen, saya pun bercerita bahwa saya mendapat tawaran untuk bergabung sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek di sebuah apotek yang baru akan dibuka.


Saat itu, saya belum membuat keputusan. Bagiku, sebagai "penanggungjawab" sepertinya terlalu berat bagi seorang Apoteker muda yang baru lulus kuliah. Selain itu, juga banyak pro dan kontra dari pihak keluarga. Ada yang berpendapat bahwa Surat Izin Apotek atas namaku, sehingga segala bentuk pelanggaran (bahkan yang mungkin tidak sengaja dilakukan oleh staf-ku (tenaga kefarmasian lainnya)) akan berdampak pada ijazah (masih ada pula Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), dan Surat Kompetensi (Serkom)) yang susah payah saya dapatkan dengan masa 5 tahun tersebut.


Namun, ternyata dosen paruh baya ini bertanggapan baik terhadap kesempatan tersebut. Menurut beliau, asalkan pemilik apotek ini terbuka terhadap ide-ide inovatif, maka ini dapat menjadi batu loncatan bagiku untuk mewujudkan praktik kefarmasian yang baik dan benar, dimulai dari kampungku. Karena belum ada sistem pada apotek tersebut, maka saya berkesempatan membentuk sistem operasional sesuai keinginan yang tentunya harus baik dan benar.


Kemudian, saya beberapa kali bertemu dengan "calon" bos saat itu, mulai dari membahas kewajiban dan hak, hingga akhirnya saya memutuskan untuk bergabung. Saya juga mengajukan permintaan untuk memakai jas apoteker yang berwarna putih tulang saat praktik, dan disetujui. Hal ini memang masih agak jarang saat itu di kampungku. Lalu, kami pun berdiskusi lebih jauh tentang berbagai detail operasional apotek ke depannya.


Salah satu pertanyaan beliau padaku yang cukup membekas hingga sekarang adalah motivasi-ku sebagai seorang Apoteker. "Saya ingin orang ke apotek adalah untuk mencari Apoteker," jawabku saat itu. Tentunya, maksudku adalah selain untuk membeli suatu produk di apotek, orang-orang juga datang ke apotek tersebut untuk menemui si-Apoteker kepercayaannya agar memperoleh pelayanan kefarmasian.


Sebetulnya, terlalu banyak kekhawatiranku dan keluarga terhadap penawaran sebagai ApotekerPenanggungjawab Apotek. Banyak sekali rekan sejawat yang juga muda dan baru lulus kuliah, lalu langsung menjabat sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek. Segala sesuatu akan ada pertama kalinya. Tenaga kefarmasian lainnya juga sudah mengerti pekerjaan kefarmasian, kita sama-sama bervisi untuk memajukan apotek, dan melakukan pelayanan kefarmasian yang bertanggungjawab kepada pasien. Teliti-lah dalam menjalankan praktik sesuai kompetensi, maka tidak akan terjadi pelanggaran yang fatal!


Nah, ketahuilah bahwa menurut Peraturan Kementerian Kesehatan, Pelayanan kefarmasian di Apotek meliputi kegiatan manajerial, berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam apotek, yaitu meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan, dan pelaporan, serta pelayanan kefarmasian klinik, yang meliputi pengkajian dan pelayanan resep, dispensing (penyiapan, penyerahan, dan pemberian informasi obat), pelayanan informasi obat, konseling, pelayanan kefarmasian di rumah, pemantauan terapi obat, pemantauan efek samping obat). Jadi, dengan menerima tanggung jawab ini, maka saya balik kampung dan siap melayani sebagai seorang Apoteker.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun