Mohon tunggu...
Zhiang Zie Yie
Zhiang Zie Yie Mohon Tunggu... Freelancer - blogger

Lahir Di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mistery Of Ciam Si

15 Agustus 2014   00:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:31 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

''Huh, akhirnya sampai juga!'' seru Eka sambil terengah-engah. Betapa tidak, untuk ukuran manusia seperti dia merupakan suatu anugrah bisa sampai ke tempat ini. Beruntung dia tidak pingsan. Apa kata dunia bila dia sampai pingsan di bawah tadi. Bisa-bisa tulangku remuk gegara harus menggendong manusia berbobot 65 kg ini.

''Dik, jangan ngelamun aja. Ayo, foto!'' seru Eka sambil berlarian ke sana ke mari. Dilenggak lenggokkan badannya mirip artis luar negeri yang tengah berjalan di karpet merah. Aku hanya mampu tersenyum melihat tingkah polahnya. Bak artis dadakan bila dia bersentuhan dengan sebuah benda bernama kamera. Aku pun menurutinya. Karena dalam hidup ini membahagiakan orang itu jauh lebih berarti ketimbang membahagiakan diri sendiri.

Tujuan awalku ke tempat itu bukan hanya untuk melepas lelah. Tapi juga ingin berkonsultasi dengan ahli fengshui. Banyak teman-temanku mempercayai bahwa prediksi masa depan dari peramal itu sedikit banyak menjadi kenyataan bagi kehidupan mereka. Sebenarnya aku tidak begitu mempercayai hal-hal klenik seperti itu. Tapi karena rasa penasaran ini begitu menyeruak dalam kalbu, kuputuskan untuk melakukakannya. Kami memasuki kuil. Aroma wangi dupa begitu terasa saat memasuki tempat ini. Terdapat arca Budha menempel di seluruh dinding-dinding kuil. Yang paling besar duduk di tengahnya seolah menjadi pusat dari seluruh arca yang ada di tempat ini. Sebelumnya aku telah mengutarakan niatku ini pada Eka. Gadis ini memang kurang yakin dengan pilihanku.

''Kamu sudah siap, Dhik?'' tanya Eka ragu. Gadis ini sedikit mengeryitkan keningnya. Mungkin dia pikir aku sedang kurang waras, karena dia tau aku begitu menentang sesuatu yang berbau ramalan. Lalu, aku pun mengangguk mantab. Eka pun akhirnya menyerahkan Ciam Si itu kepadaku. Ciam Si adalah sebuah benda berbentuk  bilah-bilah bambu menyerupai sumpit, bertuliskan angka-angka cina yang nantinya akan ditukarkan dengan kertas merah bertuliskan syair-syair kanji. Dan syair itu lah yang nantinya akan mengetahui masa depan kita. Untuk mereka yang percaya saja.

''Kletek... kletek... kletek...'' bunyi Ciam Si beradu dalam wadah bambu. Aku terus mengocoknya. Berirama, menimbulkan nada-nada indah yang mampu menghipnotis diriku. Mataku terpejam. Aku larut dalam doa. Berharap bisa mengetahui masa depan sebelum waktunya itu memang sebuah hal gila. Satu menit berlalu. Tak ada yang jatuh. Dua menit berselang tetap sama. Kubuka sebelah mata ini untuk melihatnya. Tetap tak ada yang berubah. Kukocok-kocok lagi. Semakin kuat dan keras. Hingga tangan ini pegal. Kulirik Eka yang terkekeh melihat tingkahku. Dan akhirnya.

''Klutik...'' bilah sumpit itu keluar satu. Pegal tanganku dibuatnya. Kupandangi sejenak sebelum mengambil Ciam Si itu. ''Lima puluh sembilan,'' batinku dalam hati. Aku bangkit  dengan kaki yang kesemutan. Eka pun urun rembug membantuku bangkit dan meletakkan Ciam Si itu ke tempat semula. Eka yang sejak tadi melihatku hanya bisa nyengir kuda saat melihat kebahagiaanku mengeluarkan bilah bambu itu tanpa mengulangi untuk yang kedua kali. Kuserahkan bilah bambu itu dan menukarnya dengan lembar kertas berwarna merah yang diyakini sebagai kertas ramalan.

''Hamai pei goi a, Ayi?''  (Apakah diberikan padanya, bibi) kataku sambil menunjuk seorang peramal yang tengah sibuk membaca koran. Wanita ini pun mengangguk. Lalu, aku dan Eka pun menuju tempat peramal itu.

''Jok ha,'' (silahkan duduk) katanya ramah. Aku pun segera menyerahkan kertas berwarna merah itu kepadanya. Kami terdiam sesaat. Peramal ini menatapku, tersenyum sambil membenarkan posisi kaca matanya.

''Nama dan tanggal lahirmu,'' katanya singkat. Aku dan Eka saling tatap. Tak mengerti maksudnya. Diulanginya pertanyaan itu sekali lagi dengan tegas. Aku pun menyebut nama dan tanggal lahirku setengah tergagap. Peramal itu pun menulisnya dan membuka buku ramalannya. ''Apa yang ingin kamu tanyakan?"

''Jodoh,'' jawabku singkat. Eka pun nyengir kuda saat aku menjawabnya. Peramal ini pun tersenyum. Menggelengkan kepalanya pelan. Lalu, membuka bukunya lagi. Membolak-balikkan buku itu penuh antusias.

''Tahun ini kamu belum bisa mendapat jodoh, karena shio ular kurang beruntung untuk mendapatkan jodoh di tahun ini.'' Peramal itu terdiam sejenak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun