Mohon tunggu...
Zhiang Zie Yie
Zhiang Zie Yie Mohon Tunggu... Freelancer - blogger

Lahir Di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mistery Of Ciam Si

15 Agustus 2014   00:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:31 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kegelapan malam beranjak menghilang, berganti pagi dengan kilauan cahaya mentari di ufuk timur. Pendar cahayanya begitu menghangatkan kalbu di awal musim gugur tahun ini. Burung hud hud berdendang silih berganti. Membangunkan setiap insan dari lelapnya mimpi. Langit biru dipenuhi awan-awan putih, hilir mudik terbawa arus sang bayu. Tiada embun pagi di sini. Semua terasa gersang walaupun pepohonan dan rerumputan banyak ditanam. Dedauanan mulai menguning, yang kering berguguran tertiup angin. Burung-burung gereja berterbangan kesana kemari, tak patah semangat untuk tetap mempertahankan hidup di negeri ini. Deru kendaraan pun ikut menyemarakkan jalanan di setiap harinya. Rasa syukur tak tertandingi kala masih diberi anugrah untuk tetap menghirup udara bebas di dunia ini.

***

April 2011

Pagi ini, aku telah bersiap untuk mengulang perjalanan keduaku disebuah tempat bernama The Ten Thousand Buddha Ministery. Tempat ini merupakan sebuah kuil yang berada di kaki perbukitan di daerah Shatin, Hongkong. Di mana terdapat sepuluh ribu arca budha dengan berbagai macam bentuk dan gaya bersemayam di sana.

Dari tempatku bekerja butuh waktu satu jam untuk menuju daerah itu dengan naik MTR, sebuah kereta listrik yang sangat cepat dan teroganisir jadi tidak perlu waktu lama untuk menunggu. Berbanding jauh bila kita harus naik kereta seperti halnya di Indonesia. Kita dibuat menunggu waktu yang relatif lama. Tapi, di Hongkong tidak. Semua serba cepat. Seperti halnya makanan cepat saji. Hari ini aku mengajak Eka liburan kesana. Gadis gendut, berwajah imut layaknya marmut inilah yang senantiasa menemani masa liburanku apabila diberi hari biasa oleh singsang. Ya, kebiasaan singsangku apabila dia libur, aku selalu disuruhnya libur juga. Mrnyebalkan memang, tapi ini lah pekerjaan. Susah, senang, terima tidak terima harus tetap dijalani.

Tepat pukul sebelas kami sampai di tempat itu. Tak kusangka, matahari begitu terik menyambut kami. Panasnya sungguh menyengat kulit. Membakar pori-pori. Peluh bercucuran saat pendakian pertama kami mulai. Setiap anakan tangga di sini punya arti tersendiri. Seperti yang Budha ajarkan pada umatnya bahwasanya setiap kehidupan mempunyai suatu tingkatan. Semakin ke atas kita berjalan semakin banyak rintangan yang menghadang. Butuh kesabaran ekstra untuk menggapai tujuan. Untuk mencapai kesempurnaan itu lah kita diajarkan untuk terus berjuang. Sejenak, kami berhenti. Menghirup udara segar sembari melihat pemandangan negeri Beton dari bukit ini. Negeri yang gagah dengan prinsipnya.

''Aku rindu Indonesia'', ucap Eka singkat. Aku menoleh ke arahnya. Diteguknya sebotol air sebagai pelepas dahaga.

"Ah, aku pun punya perasaan yang sama. Indonesian tetaplah tanah airku yang patut dirindukan oleh setiap orang yang pernah lahir di sana," ucapku dalam hati. Mataku menerawang jauh ke negeri seberang. Rindu. Ya, hati ini berbalut rindu yang teramat  pada keluarga yang sejak satu tahun lalu kutinggalkan.

''Ayo, jalan lagi!'' seruku pada Eka setelah hampir sepuluh menit kami melepas lelah. Masih tersisa separuh anak tangga  yang masih harus kami lewati.

Ada dua jalan sebenarnya untuk bisa menempuh rute ini. Tapi, karena aku belum tahu jalan itu terpaksa harus naik tangga yang teramat menanjak.

Sempat terlintas dalam benakku, betapa hebatnya orang Hongkong ini. Mereka mampu menyulap perbukitan menjadi sebuah tempat ibadah sekaligus juga tempat wisata. Tak pelak bila setiap tahunnya negeri yang dijuluki dengan nama negeri Beton ini mampu menarik wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Selain itu aksesnya juga sangat mudah dan cepat. Andai Indonesiaku seperti Hongkong mungkin aku tak akan pergi jauh meninggalkan tanah airku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun