Mohon tunggu...
Tabua Nusa
Tabua Nusa Mohon Tunggu... -

Sosiologi teknologi- Sosio-teknis-STS review

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pahlawan, Imajinasi Sejarah dan Kedaulatan Berpengetahuan

16 Oktober 2012   10:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:46 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

link : http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=51699

Oleh:John Petrus Talan*

Bila suatu masyarakat gagal mendefenisikan pengalaman kepahlawanan yang lahir dalam proses sejarah masyarakat tersebut, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah masyarakat tersebut memiliki kesadaran sejarah ?. Dan, ketika kita lupa atas pengalaman sejarah sendiri apakah kita disebut sebagai masyarakat yang berdaulat atas pengetahuannya sendiri ? bila itu yang terjadi, kritisisme sebagai salah satu wujud dari masyarakat berdaulat atas pengetahuan jelas jauh panggang dari api.

Kisah patung Raja Ronbay berkuda, yang diberitakan oleh harian umum Timor Express (27/08/12) seolah membuka ingatan sekaligus menggugat imaginasi kita tentang para pahlawan. Gugatan tersebut diucapkan oleh wartawan senior Peter Apolonius Rohi yang diamini oleh tokoh-tokoh adat yang hadir dalam diskusi sejarah di Gedung Perpustakaan Daerah NTT. Bahwa ada yang keliru dalam hal memahami periode kesejarahan masyarakat kita sendiri, dimana tercermin ketika menjadi monumen maupun patung peringatan. Isi gugatan berkaitan dengantradisi raja-raja Timor yang dalam keseharian mereka tidak berkuda.Mereka menggunakan tandu yang diusung oleh para pengikut.

Gugatan tersebut menyoal relasi yang terputus antara ruang imajinasi yang dibangun dalam hal ini keberadaan patungSonbayberkuda dengan fakta sejarah, terlepas dari maksud memberikan penghargaan terhadap perjuangan yang dilakukan oleh salah satu raja Timor tersebut melawan kolonial Belanda. Penghargaan terhadap jasa pahlawan bukan sekedar sebuah proses yang lepas dari kenyataan. Penghargaan tersebut harus menjadi bagian dari gerak kesadaran masyarakat yang memahami mengapa penghargaan harus diberikan dan bagaimanamewarisi pengalaman hidup para pahlawan sebagai sesuatu yang harus di jaga yakni perjuangan untuk berdaulat di tanah sendiri.

Dengan demikian, pengetahuan bukan sekedar sesuatu yang given atau hadir dengan sendirinya, tetapi merupakan sebuah proses kritis dimana manusia, turut terbentuk oleh pengalaman sejarah dan ide sebelumnya selain pengalaman hidupnya saat ini. Sehingga, monumen harus menjadi penanda bagi ingatan masyarakat bahwa kehidupan yang dialaminya saat sekarang mengalami transisi dari waktu ke waktu, dari bentuk yang lama ke bentuk saat ini dan memahami apa yang perlu dijaga dalam hal hidup bersama.

Melihat kembali Struktur Sosial kita

Van Wouden dalam bukunya Klen, Mitos dan Kekuasaan (struktur sosial Indonesia bagian timur) menguraikan bahwa kosmos dan masyarakat manusia terorganisir dengan cara yang sama. Melalui perbedaan masa kini dan masa purba yang mitis, terungkaplah perbedaansifat keramat dan sifat profan. Namun alur masa kini yang profan diselingi oleh ritus . Dengan demikian peristiwa mitis dari masa purba ditampilkan lagi berulang-ulang bagi generasi yang hidup pada masa kini dan berkat interaksi kekuatan manusiawi dan kekuatan kosmis dalam ritus maka terjamin kelestarian jagat raya. Mitos, ritus dan struktur sosial merupakan tiga komponen besar dari kebudayaan sebagai kesatuan essensial yang menjadi sebab maupun akibat antara relasi kekuatan manusiawi, kekuatan kosmis dan klasifikasi-klasifikasi yang menyeluruh berdasarkan kriterium sosial (Van Wouden, 1935).

Tulisan yang hampir berusia 80 tahun ini berusaha menafsirkan bagaimana manusia lampau di kepulauan Timor menjaga kelestarian hidup dengan memahami transisi melalui ritus. Sementara, Di masa yang modern, membuat patung peringatan saja bahkan kita harus meniru citra universal tentang perjuangan pahlawan berkuda.Di ruang imaginasi,sulit untuk membedakan antara Sonbay di Timor, Diponegoro di Jawa dan Napoleon di Eropa yang sama-sama berperang, apalagi memahami dan membedakan mengapa Sonbay berjuang dan mengapa Napoleon berperang. Apakah menjadi modern, lantas membuat kita merasa harus memenggal masa lalu yang juga adalah sumber berpengetahuan ? sementara yang ada pada kita, ditafsirkan orang dengan dengan sejarah dan antropologi yang berbeda. Bagaimana cara leluhur kita hidup, melewati tantangan alam, membangun peradaban hingga mengimajinasikan masa depan mereka, sampai saat ini belum berhasil kita buka.

Gugatan-gugatan kritismenjadi relevan terutama untuk menghidupkan dialektika manusia kini. Sehingga membuka kembali lembaran sejarah, baik itu dokumen maupun ingatan kolektif menjadi kebutuhan eksistensial orang Timor. Paling tidak untuk membedakan bagaimana orang Timor, orang Jawa dan orang Eropa memandang pemimpinnya di era yang berbeda. Maka, apa yang diungkapkan Peter Rohi bisa menjadi pemantik bagi debat kita agar memangkas jarak imajiner antara monumen peringatan dengan kondisi riil manusia yang hidup.

Keluar Dari Hafalan

Hingga saat ini studi tentang kepulauan Timor masih didominasi oleh tulisan dan riset orang Eropa. Maka sejarah yang dituliskan merupakan hasil pikiran modern mereka terhadap orang Timoryang dianggap belum modern. Bahkan, untuk mendapatkan data tentang Timor kita harus ke Leiden (KITLV), Singapura (ISEAS), Amerika Serikat (Cornell University), hingga Australia (ANU). Maka jelas yang disebut kedaulatan atas pengetahuan masih merupakan gagasan yang harus terus dikerjakan.

Melakukan kritik jelas tidak bisa lewat kata-kata. Mengkaji, menulis dan berdiskusi menjadi pilihan yang paling mungkin sebagai antitesis dari yang kita sebut sebagai pengetahuan ala Eropa. Tugas ini tidak bisa kita serahkan semata-mata kepada institusi pendidikan, melainkan tugas semua orang terdidik sebagai upaya balas budi atas kehidupan yang dialami masa kini, yang adalah buah perjuangan orang-orang sebelum kita.

Kebutuhan ini kian kuat mengingathingga saat ini dunia pendidikan belum lepas darikonsep link and matchyang dipraktekan semenjak rezim orde baru, dimana kurikulum disederhanakan untuk sekedar menjawab kebutuhan atas kerja.Cukup susah untukmengharapkan kritisisme hadir didalam ruang kelas. Seandainyapun muncul, seringkali dianggap sebagai hal yang ganjil dan biasanya merupakan hasil dari perjumpaan dengan peristiwa kehidupan tertentu.Pada posisi ini kita masih terus menerima situasi untuk melihat diri kita menggunakan cermin yang disediakan orang Eropa dengan segenap perangkat pencitraan sekaligus kosmetik yang harus terus kita beli, agar bisa sesuai standar mereka.

Untuk keluar dari situasi yang terus-menerus direproduksi, diperlukan suatu upaya yang oleh Antonio Gramsci sebagai counter hegemony.Hegemoni yang dimaksudkan Gramsci sebagai situasi dimana yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyaidan menginternalisasikan nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka ( Sugiono,1999). Peminjaman konsep ini untuk menunjukan bahwa apa yang tarjadi di saat sekarang, tidak terlepas dari kolonialisme Eropa dan dekolonisasi tidak serta merta melepaskan negara bersangkutan dari situasi hegemoni. Maka untuk lepas dari hegemoni kelas penindas, dibutuhkan intelektual organikyang membangun blok historisyang terorganisir dan membangun kesadaran akan fungsinya. Keinginan untuk berdaulat atas pengetahuan berarti berani menentukan secara kolektif dengan cara apa, kita hendak hidup di tanah kita sendiri. Tanah air yang diwarisi untuk semua anak cucu, bukan hanya milik orang-orang bermodal besar.

Kini, hidup di era anarki modal dimana akses untuk masuk ke rumah pahlawan nasional pun ditutup. Apa yang bisa kita lakukan, untuk menjawab sekian persoalan kehidupan yang dari waktu ke waktu terasa kian kompleks. Hanya dengan memposisikan pengetahuan sebagai kerangka yang menuntun hidup kita sehari-hari, memberikan penjelasan-penjelasanterhadap masalahyang dialami dan kemudian dikerjakan secara kolektif yang bisa menuntun kita menuju jalan kedaulatan. Kehidupan manusia dan pengetahuan itu senantiasa tumbuh bersama, tugas kita sebagai manusia yang belajar adalah berupaya untuk menemukan cara atau metode untuk selalu menyatu dengan pengetahuan dalam hidup. Niscaya kita akan tahu, siapakah yang layak menjadi pahlawan dalam kehidupan ini.

*Koordinator Divisi Humas Institut Sejarah Timor juga anggota Forum Akademia NTT.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun