Film Salisiah Adaik yang diproduksi tahun 2013 ini banyak memberi spekulasi tersendiri dalam kehidupan masyarakat Minang. Sepanjang lebih dari sepuluh tahun film ini dibuat, ditonton dan hadir ke tengah masyarakat, mungkin sudah banyak ulasan terkait film ini. Semoga tulisan ini memberi sedikit sudut pandang berbeda.
Seperti diketahui, film yang karya sutradara Ferdinan Almi yang menceritakan kisah asmara antara Ros dan Mus. Mus yang merupakan orang Pariaman merantau ke Payakumbuh, kampungnya Ros. Di sana mereka berjumpa dan saling menaruh rasa. Singkat cerita, Mus berkeinginan untuk menjadikan Ros sebagai istrinya. Di sinilah konflik itu dimulai.
Ibunya Ros yang memang sudah ingin bermenantu tentu senang mendengar bahwa Ros sudah ada yang mau mengajak menikah. Artinya Ros akan segera punya suami. Hal ini diberitakan oleh ibu Ros ke seluruh keluarganya. Walaupun waktu itu hubungan komunikasi masih melalui surat, semangat ibunya Ros tidak pudar. Dia berkirim surat melalu orang kampung yang akan ke tempat sanak saudaranya. Tapi satu hal yang membuat keluarga Ros berpikir ulang yaitu mengetahui kalau Mus berasal dari Pariaman yang adatnya sangat bertolak belakang dengan adat mereka, Payakumbuh.
Menurut adat Payakumbuh, pihak laki-laki yang datang meminang perempuan kemudian memberikan yang namanya uang sasuduik/maisi sasuduik (uang sesudut/mengisi sudut). Yaitu pihak laki-laki bisa memberikan uang kepada pihak perempuan atau langsung membelikan barang untuk mengisi kamar perempuan atau kamar pengantin.
Menurut adat Pariaman, perempuanlah yang datang ke pihak laki-laki yang dikenal dengan mananyoan urang/maanta tando (menanyakan orang/laki-laki/mengantar tanda). Biasanya juga dengan membawa beberapa makanan, kue dan sebagainya. Setelahnya, dilaksanakan yang namanya baua-baua (berbaur). Seringnya ini bersamaan dengan saat maanta tando, tapi tak jarang juga ada yang jeda sedikit waktu. Nah, saat baua-baua inilah ditentukan uang japuik (uang jemput) untuk laki-laki tersebut. Sebenarnya kalau dirunut, ada lagi proses maanta asok/marosok (mengantar asap) sebelum proses maanta tando.
Proses ini sudah dilalui dan dilakukan oleh keluarganya Ros yaitu dengan datangnya mamak/pamannya Ros ke rumah keluarga Mus. Saat itulah keluarga Ros lunglai mendengar bahwa uang japuik yang diminta oleh keluarga Mus sangat tidak bisa dijangkau oleh keluarga Ros. Perdebatan di keluarga Ros memanas. Apalagi ketika Ibu Ros terpikir untuk menggadaikan harta pusaka tinggi milik kaumnya yang dimana harta tersebut tidak boleh sembarangan untuk digadai. Memang untuk persoalan Ros boleh tetapi dengan umur Ros yang masih belum terlalu "tua" untuk menikah, hal ini harus dipertimbangkan kembali.
Keterbatasan alat komunikasi menjadi percikan api juga dalam konflik ini. Ketika surat untuk keluarga di luar kota terlambat sampai ini juga menyulut api. Ditambah bumbu dari omongan-omongan orang kampung yang selalu kehausan berita.tapi di sinilah letak pentingnya komunikasi itu. Seni berkomunikasi. Jika tidak lancar komunikasi maka bisa-bisa rencana tidak terlaksana dengan baik.
Di Minang dikenal istilah syara' mangato, adaik mamakai (syara' berkata, adat memakai) dan juga istilah syara' buhua mati, adaik babuhua sentak (syara' berbuhul mati, adat berbuhul sentak/bisa dilepas). Di Minangkabau, adat sangat dijunjung tinggi, agama apalagi. Tetapi, jika keduanya terbentur maka yang didahulukan adalah ajaran agama.
Kembali ke persoalan asmara Ros dan Mus. Setelah berunding dan bermusaywarah akhirnya keluarga Ros datang lagi ke Pariaman, ke rumah Mus. Tujuannya adalah untuk menego uang japuik yang dinilai "tinggi" agar diturunkan. Dan ternyata permintaan keluarga Ros diterima oleh pihak keluarga Mus. Dan akhirnya menikahlah Ros dan Mus. Di film diceritakan sampai mereka menikah dan Ros hamil.
Sangat penting bukan komunikasi itu? Coba saja kalau masing-masing keluarga Ros dan Mus bersitegang dengan ego dan adat masing-masing. Keluarga Ros tidak mau ke Pariaman karena berbeda adatnya. Atau ketika setelah pertama ke pariaman, keluarga Ros menyerah. Atau ketika keluarga Mus dinego untuk menurunkan uang japuik, keluarga Mus tidak mau. Bisa rumit bukan? Tapi di sanalah pentingnya komunikasi.
Terlihat juga bagaimana ibu Ros saat bersurat kepada saudranya. Zaman dahulu saja di tengah keterbatasan alat serta ilmu komunikasi saja bisa menyelesaikan masalah, harusnya di zaman yang sudah serba modern ini, makin lebih mudah dong, ya. Semoga apapun itu persoalannya, bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan pikiran jernih. Agar bisa seperti kisah Ros dan Mus dalam film Salisiah Adaik yang berujung bahagia. Terima kasih.