Menteri pendidikan tinggi, sains dan teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro beberapa waktu lalu mengatakan bahwa penerima beasiswa LPDP tidak harus pulang ke Indonesia. Saya sebagai yang pernah menerima beasiswa dari pemerintah (bukan LPDP, pernah sih daftar LPDP tapi belum rejekinya di sana) setuju dengan pernyataan beliau. Ini adalah pernyataan yang saya tunggu-tunggu.
Selama ini banyak yang terlalu 'julid' menyuarakan bahwa penerima beasiswa LPDP harus segera balik ke tanah air. Entah itu dibilangnya: kan pakai uang negara. Trus kenapa? Toh, banyak yang pakai uang negara tapi tidak dijulidin. Koruptor misalnya. Opsss.
Kenapa? Kenapa harus gitu lho? Buru-buru amat. Wkwk.
Memangnya kalau penerima beasiswa LPDP ini tidak balik ke tanah air dan menetap di luar negeri kenapa? Salahnya dimana?
Sejatinya, penerima beasiswa LPDP itu adalah ibarat perantau. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Sejauh-jauh terbangnya bangau, pulangnya ke kubangan jua. Sebaik-baik dan senikmatnya hidup di perantauan, pasti teringat kampung halaman. Pulang kampung adalah sebuah keniscayaan.
Perantau walaupun sudah sukses di tanah rantau, pasti selalu ingat kampung halamannya. Tidak ada yang tidak. Boleh dikatakan sangat jarang yang 'lupa' kampung halamannya. Ada faktor-faktor tertentu yang membuat perantau demikian. Tapi tidak banyak.
Coba deh tanya kepada perantau, serindu apa mereka sama kampung halaman. Apa rencana-rencana mereka untuk membangun halaman? Di perantauan ada perkumpulannya juga. Di sini salah satunya mereka pasti membahas hal untuk kemajuan kampung halaman. Bertemu dengan sesama perantau pasti yang ditanyakan, "bagaimana kampung?"
Setiap secara berkala pulang kampung, pasti perantau ini memperhatikan perkembangan kampung halamannya. Saat momen pulang kampung ini pasti ada diskusi dengan teman sejawat, bertukar pikiran seputar kampung halaman, pun menceritakan kondisi tanah rantau.
Sama seperti penerima beasiswa LPDP, di saat libur kuliah dan pulang kampung, mereka berbagi ilmunya dengan yang lain. Paling tidak yang dibagikan adalah bagaimana cara mereka bisa lolos beasiswa LPDP. Tidak gampang lho untuk mendapatkan beasiswa LPDP. Banyak persiapan. Bukan hanya sekedar pintar. Tapi banyak keahlian lain yang dibutuhkan. Bahkan ada yang sampai mencoba kesekian kalinya baru bisa lolos. Ada juga yang tidak lolos-lolos.
Adapun di kampung halaman, pasti kita pernah mendengar, "ini sumbangan dari si anu yang merantau di kota A." Artinya apa, perantau selalu ingin berkontribusi untuk kampung halamannya, ingin memajukan kampung halamannya. Mungkin tidak sekarang karena sesuatu dan lain hal. Tapi ketika waktunya datang, lihatlah kontribusi mereka.
Misalnya saja ada perantau sukses berusaha di kota A. Terkadang dan seringkali, karyawannya diambil dari kampung halamannya. Mereka berdayakan pemuda di kampung halaman, dengan harapan bisa membaik kehidupan ke depannya. Sekalipun belum baik, sekurang-kurangnya tidak menyusahkan orang lain dan sekitar.
Jadi ketika penerima beasiswa LPDP ini sudah selesai pendidikannya, tidak masalah menurut saya mereka mencari pengalaman dulu di "perantauan". Percayalah, mereka pasti balik kok. Membangun negeri. Mengharumkan nama bangsa. 'Mambangkik batang tarandam".
Bukankah kita semua adalah perantau yang pasti akan balik ke kampung halaman? Pastinya sebelum pulang, banyak hal yang dipersiapkan bukan? Jadi, buat apa buru-buru pulang jika belum banyak perbekalan. Perbanyak perbekalan di tanah rantau, agar nantinya pulang tidak sekedar pulang. Yuk, semangat penerima beasiswa LPDP. Semangat juga buat para perantau.
14 November, ditulis di sudut lapangan bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H