Mohon tunggu...
Zarna Fitri
Zarna Fitri Mohon Tunggu... Freelancer - Terus bermimpi

Hidup harus bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Wajah Teduh Seorang Rendi

18 Juli 2022   19:46 Diperbarui: 18 Juli 2022   19:53 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lagi baca apaan, Ren?" tanyaku tetiba mengejutkan Rendi yang asyik dengan bacaan di tangannya.


"Ah, enggak. Ini ngisi waktu luang sambil nunggu dosen," ujar Rendi dengan senyum khasnya melihatku sekilas kemudian kembali melanjutkan membaca majalah yang ada di tangannya.


Kuperhatikan dengan seksama bacaan yang dipegang Rendi. Seperti sebuah majalah tapi belum pernah kutemukan majakah seperti itu sebelumnya. Aku yang memang dasarnya suka membaca, langsung saja mengambilnya dari tangan Rendi.


"Aku pinjam ya." Serta merta mengambil majalah itu dari tangan Rendi.


Rendi bukannya marah malah makin mengembang senyumnya.


"Oh iya silakan. Dengan senang hati," tambahnya lagi tetap dengan senyum penuh pesonanya. Membuat hati meleleh kalau sudah melihat Rendi senyum.


"Eh, tapi aku gak janji cepat balikinnya lho," tatapku padanya. Rendi balas menatapku.


"Tak apa. Kapan kamu selesai aja balikinnya," jawab Rendi sambil berlalu meninggalkanku.

 Karena dosen dari jauh sudah kelihatan batang hidungnya. Kumasukkan majalah itu ke tas dan mengikuti Rendi dari belakang menuju kelas.
Rendi merupakan teman sekelasku di beberapa mata kuliah. Bisa dibilang hampir semua mata kuliah kita berada di kelas yang sama. Dia tidak tampan tapi sejuk dipandang. Penampilannya tidak rapi tapi tidak juga urakan. Ah bagaimana ya menggambarkannya. Ya begitulah. Dengan rambut yang tersisir rapi tapi dibiarkan bagian depan agak panjang menutupi dahinya. Katanya sich hal tersebut untuk menutupi dahinya yang lebar. Kalau senyum Rendi terlihat sangat memesona. Menyejukkan. Ibarat mendapat sumber mata air di tengah dahaga melanda.


Karena seringnya sekelas itu ditambah terkadang juga sering berada di kelompok yang sama otomatis aku sering berkomunikasi dengan Rendi. Entah sekadar bertanya tentang tugas kuliah atau yang lainnya.

***


Sepulang kuliah aku langsung pulang ke kosan. Rasanya lelah untuk kemanamana lagi. Bahkan beli tambahan untuk makan malam saja aku juga lupa. Tubuh ini sudah ringkih diajak kelayapan lagi. Efek hampir sebulan ini selalu pulang malam. Kosan hanya jadi tempat tidur dan mandi saja. Persiapan inagurasi kampus sangat menyita waktuku. Sebagai salah satu panitia tentu saja berjuang agar acara berjalan sukses sudah menjadi kewajiban.


Kosan terasa sepi. Maklum sekarang akhir pekan jadi mungkin sebagian penghuni kosan pulang kampung. Masuk kamar kemudian aku langsung mandi. Merasakan guyuran air mungkin bisa meregangkan otot yang kaku. Segar rasanya setelah mandi.


Karena besok kuliah libur berarti tidak ada tugas yang minta deadline. Kubongkar tas. Rencana mau mengambil hp. Tak sengaja majalah yang kupinjam dari Rendi tadi siang membuat penasaran untuk dibaca atau sekedar dilihatlihat. Kubalik majalah tersebut. Melihat judul tulisannya saja sudah membuat pusing karena hampir semua membahas politik dalam perspektif Islam tentunya. Sebelum kututup lagi majalah tersebut, mataku tertarik melihat sebuah tulisan yang membas tentang pakaian muslimah. Meskipun aku sudah mengenakan kerudung tapi jujur aku masih merasa belum sempurna berpakaian. Selain kerudung yang buka tutup alias belum konsisten, ditambah jiwa tomboiku yang belum bisa kuhilangka. Ya, sampai saat ini menggunakan rok adalah tantangan terbesar dalam hidupku. Tak pernah bisa kugunakan dengan baik rok tersebut. Ketika berjalan selalu kuangkat rok itu ke atas. Bahkan waktu jaman putih abuabu, rokku tidak ada yang tidak sobek jahitan karena selalu ditarik ke atas ketika berjalan. 

Di tulisan itu dikatakan ada dua jenis pakaian muslimah. Ada jilbab dan kerudung. Seketika kepalaku mengernyit tanda bingung. Aku yang selama ini memahami jilbab itu sebagai penutup kepala tapi di majalah ini dikatakan kalau jilbab adalah pakaian longgar sejenis gamis. Sedangkan penutup kepala baru dinamakan dengan kerudung. Tak mau makin pusing, kututup majalah tersebut dan beranjak tidur.


Harihari kulalui seperti biasanya. Kuliah, ke perpus kalau lagi banyak tugas, kumpul bersama temanteman lalu ke kosan. Tidak ada bedanya dengan sebelumnya. Semua sama.

 Hanya belajar saja yang lebih aku tingkatkan karena sebentar lagi akan masuk ujian akhir semester. Tapi ada satu yang berbeda dari sebelumnya. Lama baru kusadari sekarang. Rendi mulai menjauh. Tidak sedekat seperti sebelumnya denganku. Biasanya kami sering pulang kuliah bersama karena selain memang kosan berdekatan dan juga ada rasa berbeda ketika menghabiskannya bersama Rendi. Ada saja hal yang membuat kami tertawa ketika pulang tersebut. Kurasa Rendi pun merasakan hal yang sama. Rasa yang entah bagaimana menjelaskannya. 

Terkadang Rendi menelpon di malam hari. Hanya membicarakan kekonyolan temanteman kampus atau tentang gagalnya praktikum hari itu. Bercanda tawa sampai paket nelpon habis. Maklum, dulu belum ada aplikasi chat yang semudah dan semurah sekarang. Tak jarang juga Rendi mengirimkan SMS yang membuat hati tentram. Bukan SMS rayuan atau gombalan anak muda di zamannya. Bukan juga katakata para pujangga untuk memikat lawan jenisnya. ya, hanya sekedar SMS motivasi yang kalau di google sangat banyak ditemukan. Bedanya adalah ini dikirimkan oleh seorang Rendi. 

Akhirakhir ini, tanpa diminta Rendi semakin sering meminjamkan majalah yang serupa dengan yang dulu kupinjam padanya. Baru kusadari, ternyata majalah itu belum dibalikin. SMSnya pun berganti dengan tausiyah Islami. Rendi juga semakin jarang menelpon jika boleh dikatakan tidak pernah lagi.


Rendi seolah menjauh. Hanya mau berbicara untuk keperluan tugas kuliah saja. Selebihnya respon Rendi hanya tersenyum dan kemudian pergi. Ada apa dengan Rendi? Apa aku mempunyai salah kepadanya. Tapi tidak hanya kepadaku saja Rendi begitu. Semua teman kelas perempuan juga diperlakukan sama olehnya. Namun akan sangat berbeda ketika Rendi berinteraksi dengan teman lelakinya. Tawa dan senyum khas seorang Rendi tetap melekat. Tapi tawa dan senyum itu tidak lagi untukku.
Suatu ketika, di tengah praktikum, Rendi mendekatiku.


"Besok sehabis kelas dengan Bu Lusi ada tabligh akbar di mesjid kampus. Ustadnya bagus. Kamu datang, ya" ujarnya padaku yang masih tergugup menghadapi Rendi.


"I..iya," jawabku pendek.


"Terima kasih," ucapnya lagi, kemudian berlalu dan ke ruang asam untuk mengambil zat. Meninggalkanku tanpa membiarkan bertanya lebih lanjut. Bertanya tentang perubahan sikapnya. Bertanya tentang acara besok itu. Bertanya tentang semuanya. 'Rendi, kamu kenapa?' batinku dalam hati.


Hanya karena penasaran dan hanya karena itu ajakan Rendi, akhirnya kupijakkan kaki di masjid kampus hari ini. Mengikuti acara tabligh akbar. Mataku melirik ke sana ke mari. Mencari sosok Rendi. Ternyata Rendi duduk paling depan. Rendi juga seolah mencari sesuatu. 'Mungkin mencariku,' pikirku. Tanpa sengaja, ketika itu mata kami beradu pandang. Rendi tersenyum. Mengangguk. Lalu membalikkan badannya.


Kudengarkan dengan seksama dan serius. Tidak terlalu fokus juga sebenarnya. Tiap sebentar mataku terus memantau keberadaan Rendi. Namun lumayan terserap apa yang disampaikan ustad saat berceramah di depan. Selepas acara saat di gerbang mesjid, tak sengaja berpapasan dengan Rendi.


"Terima kasih sudah datang," katanya sambil berlalu meninggalkanku tanpa memberiku kesempatan untuk berucap sepatah katapun.


Di mesjid tadi kebetulan aku berkenalan dengan seorang senior yang aktif di kajian kampus. Kak Ina namanya. Kak Ina mengajakku mengikuti kajian Jumat besok. 'Tak ada salahnya untuk datang,' hatiku berkata saat itu.


Ini sudah Jumat kesekian aku mengikuti kajian kampus. Rasanya menyesal kenapa baru sekarang aku tahu dan mengikutinya. Dulu pikirku kajian itu sangat monoton dan membosankan. Ternyata itu salah sama sekali. Sangat menyenangkan. Terkadang sekali dalam sebulan kami mengadakan acara rihlah untuk tadabur alam. Mensyukuri indahnya lukisan Sang Pencipta.


Sedikit demi sedikit walau tertatih gaya berpakaianku juga mulai berubah. Tidak nampak lagi celana jins dalam keseharianku. Berawal dari memakai rok kemudian hari ini kumengenakan jilbab alias gamis. Ya, ini hari ini adalah hari pertama kumengenakannya. Hari pertama semester tiga. Bolakbalik menatap diri di kaca dan akhirnya mantap melangkah ke kampus dengan pakaian takwa.

 Hati ini terasa lega dan nyaman. Entah inilah yang disebut indahnya berbalut ketaatan.


Memasuki kelas semua mata teman memandangku. Tak percaya bahwa itu adalah diriku. Tak terkecuali Rendi. Senyum mengulas di wajah Rendi. Aku hanya senyum, dalam hati.
Gawaiku berdering. Tanda sebuah pesan masuk.


"Selamat atas penampilan barunya. Jadilah wanita sholihah untuk selamanya." Isi dari pesan tersebut. Sebuah pesan dari nomor gawai seorang Rendi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun