Kunjungan kebhinekaan peserta program pertukaran mahasiswa merdeka (pmm 2) UPI Bandung pada kesempatan kali ini yaitu di Desa Cireundeu yang terletak di kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi Selatan. Di kampung ini saya dan teman-teman lainnya diajak untuk menanjak (hiking) di puncak Salam, bukit tertinggi di kampung ini, di puncaknya bisa melihat pemandangan yang sangat indah memanjakan mata. Lelahnya menapaki rute terbayarkan ketika sampai di Puncak Salam. Sebelum menaiki puncak, semuanya wajib melepaskan alas kaki baik itu sepatu ataupun sandal, filosofinya supaya kita bisa manyatu dengan alam. Jadi, kalau ada orang yang berjalan tanpa alas kaki maka sujdah bisa dipastikan mereka akan menaiki puncak Salam. Perjalanan ke puncak ini kami sempat melihat juga ada hutan larangan yang terbagi dari 3 macam yaitu, Leuweung Larangan (hutan terlarang), Leuweung Tutupan (hutan reboisasi), Leuweung Baladahan (hutan pertanian).
"Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat."
"Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat."
Empat kalimat tersebut seolah merangkum sejarah konsumsi rasi alias beras singkong di Desa Cireundeu. Hal tersebut berkaitan pula dengan tradisi nenek moyang mereka yang kerap berpuasa mengonsumsi beras selama waktu tertentu. Tujuan puasa tersebut adalah mendapat kemerdekaan lahir batin. Ritual yang juga sekaligus menguji keimanan seseorang dan pengingat akan kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, saya sempat berdiskusi tentang kepercayaan dengan salah satu tokoh di kampung ini. Singkatnya, mereka tetap mempercayai adanya Tuhan, namun agama yang mereka anut tidak bisa disebutkan dalam artian mereka mempunyai kepercayan turun temurun dari nenek moyangnya, di kartu identitas pun agamanya tidak dituliskan, katanya tuhan dan agama itu untuk diyakini. Cara mereka beribadah pun bisa kapan saja tidak seperti shalat pada umumnya. Ya, kita tidak bisa terlalu mengupas lebih panjang tentang ini karena merupakan bagian sensitif untuk dibahas. Pada intinya mereka punya keyakinan tersendiri, salah atau benarnya manusia tidak ada yang mengetahuinya.
Kemudian, setelah turtuin dari puncak, kami pun diajak makan siang. Nah, makanan pokoknya inilah yang sangat menarik, mereka tidak pernah mengonsumsi nasi sama sekali, melainkan adalah rasi singkong (nasi yang diolah dari singkong) ini adalah suatu yang sangat unik, beda dari masyarakat indonesia pada umumnya. Dari segi mata pencaria, profesi masyarakat di sini adalah bertani singkong. Oleh karena itu, banyak sekali olahan singkong di sini, bahkan makanan pokoknya adalah rasi singkong. Bagi saya, rasanya cukup enak tapi kurang cocok, mungkin karena tidak terbiasa dan baru pertama kali mencicipinya. Terakhir, setelah makan siang kami diajarkan bermain angklung secara bergilir. Angklung adalah alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari bambu. Untuk tangga nadanya yaitu pentatonis (da mi na ti la). Adapun kesenian khas dari kampung ini yaitu, Kacapi Indung, Karinding, dan angklung Buncis.
Pengurus dari kampung ini pun sangat bangga melihat kami yang sangat berantusias belajar Angklung. "saya sangat bangga, sekali lagi saya sangat bangga kepada teman semuanya, karena kalian yang bukan orang Sunda tapi begitu antusias ingin belajar bermain Angklung, terima kasih dan sampai jumpa di lain waktu" tutupnya