Melihat partai politik sebagai salah satu pilar utama demokrasi berarti segala bentuk “pengelolaan”, baik di dalam maupun di luar partai, merupakan kualitas yang perlu diperhatikan secara matang.
Dinamika dalam kepartaian, dalam hal ini kaderisasi, merupakan persoalan yang sulit dipahami dengan kompleksitas yang besar, terutama dialog dalam konsepsi multipartai di Indonesia dengan rotasi determinasi yang berbeda.
Dalam posisi ini, partai politik berfungsi sebagai wadah artikulasi, aspirasi, dan agregasi politik rakyat; Kader dan sumber kader kepemimpinan nasional (rekrutmen politik) (Murray, 2015); pendidikan politik (pendidikan politik); dan sarana komunikasi politik (Kurniawan, 2021).
Dalam proses pertumbuhan partai politik di Indonesia, penegakan demokratisasi yang tepat mengambil demokrasi sebagai partai utama, yang sebenarnya didirikan pada masa Reformasi.
Meitzner (2015) mengatakan bahwa alokasi dana dalam pengelolaan keuangan partai politik harus menjadi perhatian negara. Di zaman modern ini, pengelolaan keuangan dan alokasi sumber dayanya harus menjadi isu utama dalam wacana partai politik di Indonesia.
Namun demikian, karakteristik para pihak dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi atau kedudukannya dipengaruhi oleh dinamika keuangan yang dihadapinya. Hal ini juga sebagai upaya untuk menjaga kekokohan pilar demokrasi itu sendiri, yang diupayakan dengan penguatan aspek kelembagaan dan keuangan dalam kepengurusan partai politik (Aspinal, 2014).
Seperti yang sudah dijelaskan, sarana yang dibutuhkan partai politik untuk mengontrol dan mengelola keadaan partai secara internal maupun eksternal sangat besar. Dana juga diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi partai politik dalam proses demokrasi suatu negara, terutama bila kita mempertimbangkan program rehabilitasi dan pendidikan politik yang dibutuhkan oleh pihak internal maupun eksternal.
Oleh karena itu, negara perlu membangun prioritas dan dukungan pengelolaan keuangan partai politik, bukan hanya kontribusi kader kepada individu atau kelompok tertentu yang penuh kepentingan, yang pada akhirnya hanya akan memperkuat jaringan oligarki yang mengikat (Kurniawan, 2021).
Uang bisa dianalogikan sebagai dua mata pisau dalam dinamika partai politik. Uang merupakan kebutuhan mutlak bagi partai politik untuk berjalan dalam rangka mendukung sistem demokrasi. Akses ke sumber pendanaan yang memadai memainkan peran penting dalam proses politik.
Demokrasi tidak akan berjalan jika sumber keuangan tidak baik atau tidak mencukupi. Di sisi lain, uang adalah tantangan dan kotak pandora yang membuka kegelapan politik yang mengikis pilar-pilar demokrasi.
Dengan alasan apapun, uang dapat digunakan sebagai kendaraan untuk membangun keserakahan, kekuasaan, dan jaringan kroni yang penuh dengan kepentingan individu.
Pada dasarnya ada tiga sumber pendanaan atau pendanaan partai, yaitu: iuran anggota, yang umumnya dibayarkan secara berkala oleh anggota partai; kemudian kontribusi kader partai; dan yang terakhir adalah promosi dana oleh pemerintah.
Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 dan kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Dukungan Keuangan Kepada Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Sumber Utama Pendanaan Bagi Indonesia Partai Politik dapat berasal dari iuran anggota, sumbangan dan insentif pemerintah.
Sumber lain adalah biaya keanggotaan. Sumber pendapatan ini sepenuhnya berasal dari otonomi internal pihak yang bersangkutan, yang digunakan untuk mengontrol jumlah termasuk waktu pemungutannya. Namun, iuran keanggotaan umumnya hanya dikeluarkan untuk anggota partai politik yang menduduki kursi legislatif atau eksekutif melalui: Mekanisme pengurangan pendapatan.
Pada saat yang sama, kader partai biasa relatif tidak aktif. Peraturan ini memungkinkan adanya insentif berupa sumbangan dari APBN/APBD berupa uang, jasa, dan/atau barang yang dialokasikan secara merata kepada partai politik yang memperoleh kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yang penghitungannya didasarkan pada jumlah suara.
Mengenai pembiayaan Pilkada dan Pilkada itu sendiri, sumber pendanaan Pasal 74 UU Pilkada diperoleh dari 4 sumber, yaitu sumbangan dari partai politik, sumbangan dari pesaing, sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta dengan optimal. membatasi. sebesar Rp750.000.000.
Namun, realitas dinamika keuangan dan pendanaan parpol khususnya dalam hal pendanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah masih jauh dari kata transparan, jujur dan akuntabel. Untuk Surbakti dkk. navy(AL)(2015) mengatakan dalam jurnalnya Map of Cases in Indonesian Political Finance bahwa banyak implikasi yang menyebabkan masalah pembiayaan partai politik.
Pertama, fokus parpol yang duduk di kursi legislatif yang seharusnya fokus pada ketertiban umum, bergeser ke fokus mencari kekuasaan, kemudian isu ini mengarah pada tiga sumber pendanaan yang disebutkan sebelumnya, karena yang ada adalah sumber pendanaan. di Indonesia dari para pemimpin partai dan anggotanya yang duduk di sofa di legislatif dan pemimpin daerah, didukung oleh pengusaha yang menginginkan kebijakan khusus yang dapat mendukung kekayaan dan kehendak perusahaan dan menjamin keamanan kader partai dengan pengaruh signifikan, individu, organisasi atau kelompok elit (Surbakti et marinen (AL., 2015).
Bertentangan dengan komentar Surbakti, jabatan dan kontribusi kader sebenarnya tidak dilakukan untuk memutar roda politik partai bagi pemilih yang memilihnya berdasarkan kebijakan publik dan pandangan hidup, melainkan ditujukan untuk menghimpun kekuasaan dalam sistem kartel. . yang menciptakan lingkaran setan korupsi politik antar partai: politisi, politisi dan kader, kroni-kroni bisnis dengan nafsunya, birokrat kotor, lalu kembali ke keuntungan dan hegemoni partai politik. lingkaran setan hanya melayani kepentingan, mengejar keuntungan.
Tak heran jika aturan dan sistem donasi uang partai yang diatur dalam peraturan pemerintah sangat longgar dan tidak terkendali. Apalagi saat pilkada dan pilkada digelar, regulasi keuangan parpol masih belum jelas dan kepastian hukum yang kurang tegas serta penegakan hukum yang sangat lemah. Misalnya, Kejaksaan Agung RI menangani 94 pelanggaran pemilu pada Pilkada 2020, yang tersebar di 26 jaksa agung.
Pada 2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyusun laporan yang mengkaji insentif keuangan APBN/APBD. Dari 10 laporan pertanggungjawaban parpol nasional, 7 menambahkan laporan pertanggungjawaban yang tidak lengkap atau tidak sah (Surbakti et navy(AL)., 2015).
Isu ini juga disebabkan oleh independensi dan integritas partai yang telah hilang karena ada unsur kepentingan korporasi dan kelompok elit yang juga ingin mendistribusikan dana dan keuntungan, yang merugikan sistem demokrasi ini.
Pantauan informasi dana kampanye yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW) (2020) menunjukkan bahwa hampir 44% laporan Penerimaan Iuran Dana Kampanye (LPDK) Pilkada Serentak 2020 berasal dari sektor swasta dan kelompok non-partai (dari sumbangan dari badan hukum swasta sebesar Rp 22.687.605.000 [27%) dengan rata-rata Rp 2.802.700.455/badan hukum [45%) dari perorangan sebesar Rp 13.066.441.300 [16%]. dari kelompok sebesar Rp 888.100.000 [1%] dengan rata-rata Rp 629.050.000/kelompok [11%], ini berarti kontribusi korporasi cukup besar pada pemilu kemarin.
Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor privat dalam kebijakan publik, yang dipegang oleh partai-partai di kursi legislatif, yang tampaknya mampu "membeli" kebijakan yang dirancang oleh legislator.
Akuntabilitas dan transparansi merupakan hal yang harus dijaga, tanpa hal tersebut partai politik menjadi parasit belaka dalam demokrasi yang kita rayakan. Bahkan tanpa tanggung jawab.
Transparansi, tata kelola dan pengelolaan partai politik hanya akan membawa kelemahan dan masalah baru ke dalam sistem politik di Indonesia. Semua partai politik yang ada harus menyadari hal ini, partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya dan Partai Garuda.
Sebagai partai baru, keempat partai ini harus dapat menggunakan transparansi dan akuntabilitas untuk mengatur partainya agar menjadi partai yang dapat ditawarkan kepada publik dan calon pemilih (Kurniawan, 2021). Untuk menciptakan citra partai baru, pengelolaan keuangan partai juga harus transparan, bersih dan terpercaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penerimaan dana partai dari berbagai pihak akan bermanfaat jika juga dikelola dengan baik oleh partai-partai politik di Indonesia. Namun pada kenyataannya, pendanaan partai politik didominasi oleh donor, yang tentunya akan memberikan ruang dan kesempatan bagi donor untuk ikut campur dalam politik partai.
Tentunya hal ini juga akan berdampak pada politik negara. Ketika sebuah partai politik tidak mampu menyaring dan mengontrol sumber pendanaan yang diterimanya, hal ini mengakibatkan partai tersebut layak untuk dipilih. Oleh karena itu, parpol perlu pintar-pintar dalam memilih donatur yang ingin mendonasikan uangnya kepada partainya. Selain itu, partai politik harus mampu mengelola dana yang berasal dari berbagai sumber (Mietzner, 2015).
Ketidaksesuaian pengelolaan dana di partai politik dapat menimbulkan masalah bagi partai. Jika partai politik terbukti melakukan pelanggaran terhadap penanganan sumber yang diperoleh, hal ini dapat berdampak negatif bagi masa depan partai tersebut. Namun, jika sebuah partai politik dapat menggunakan dan mengelola dana yang diterimanya dengan baik, maka partai politik tersebut akan muncul sebagai partai yang memiliki citra baik dan akan selalu memenangkan hati masyarakat.
Dengan demikian, masa depan partai politik di Indonesia ditentukan oleh partai politik itu sendiri, dengan salah satu faktor penentu masa depan partai politik di Indonesia adalah pengelolaan dana yang diterimanya.
Hubungan politik dengan pemerintah Indonesia masih harus banyak direkonstruksi. Partai politik, sebagai pilar demokrasi, berperan penting mengembalikan fokus persoalan politik kepada rakyat ketimbang perebutan kekuasaan. Namun, kedudukan partai politik masih memiliki kendala dalam melakukan kegiatan politik.
Demikian halnya dengan urusan internal partai, yang seperti telah disebutkan, menyangkut kader, kepentingan individu, visi dan pandangan hidup, perlu diperjelas dan memiliki prinsip yang kokoh agar tidak terperosok ke tengah hanya karena keuntungan individu seolah-olah menjadi milik pribadi. lebih aman daripada suara.
Kasus-kasus eksternal kepartaian juga tampak terus muncul dari pemaparan permasalahan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik, kurangnya komunikasi, seringkali hanya memenuhi aspirasi masyarakat terhadap kebijakan yang merusak demokrasi. Sudah sepantasnya aparat perwakilan negara demokrasi ini sadar akan tanggung jawab dan akibat yang ditimbulkannya serta dapat mewakili lebih jelas untuk pihak mana kesepakatan itu diperjuangkan.
Masalah kepemimpinan partai politik yang menimbulkan kasus-kasus yang merugikan banyak pihak, terutama warga negara Indonesia, mencerminkan fakta bahwa regulasi keuangan yang buruk memainkan peran penting dalam kualitas demokrasi Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, perlu diupayakan reformasi dalam pengaturan keuangan partai politik dan pengaturan keuangan pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Demikian pula penanaman prinsip transparansi, akuntabilitas, dan independensi yang harus ditanamkan di setiap partai politik di Indonesia dengan memperkuat lembaga pengawasan keuangan terkait. Jika ada sinergi antara prinsip dan implementasi untuk mengatasi masalah ini, masa depan kepemimpinan partai politik dan dinamika politik nasional secara umum akan jauh lebih cerah daripada hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H