Pendahuluan
Kesehatan gigi dan mulut sering kali dianggap sebagai aspek kesehatan yang terpisah dari kesehatan tubuh pada umumnya (Setiadi, 2023). Padahal, kesehatan  gigi  dan  mulut merupakan bagian penting bagi kesehatan dan kesejahteraan tubuh, dimana kondisinya dapat mempengaruhi kualitas hidup individu. Seperti jika fungsi bicara, pengunyahan, dan rasa percaya diri individu terganggu, maka kondisi kesehatan gigi dan mulut individu tersebut tidak sehat. (Ramadhan et.al, 2024).
Selain kesehatan gigi dan mulut, kesehatan mental juga merupakan aspek penting yang harus dijaga oleh tiap individu. Menurut WHO, kesehatan mental adalah kondisi sejahtera individu, ketika individu menyadari kemampuan dirinya, mampu untuk mengelola stres yang dimiliki serta mampu beradaptasi dengan baik, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi untuk lingkungannya. Ketika kesehatan mental terganggu, individu dapat mengalami kesulitan dalam berpikir, merasakan suatu hal, dan berinteraksi yang mana hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas hidup mereka (Savitrie, 2022).
Individu yang memiliki masalah kesehatan mental sering kali kurang memperhatikan perawatan gigi mereka. Misalnya, individu yang mengalami depresi cenderung mengurangi motivasi untuk menjaga kebersihan mulut, yang berpotensi dapat menyebabkan masalah gigi lebih lanjut. Stres dan kecemasan dapat memicu kebiasaan buruk yang dapat merusak gigi seperti menggigit kuku atau bruxism (menggertakkan gigi). Selain itu, stres dapat mempengaruhi pola makan individu, pola makan ini sering kali mengarah pada konsumsi makanan tinggi gula yang mana makanan ini  berkontribusi besar pada kerusakan gigi (Tjahja et al, 2019).
Menurut data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sekitar 88% anak-anak di Indonesia mengalami masalah kesehatan gigi, dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada generasi Z yang berusia antara 15 hingga 24 tahun (Fatiara & Novitasari, 2022). Selain itu, kondisi gigi yang buruk seringkali menjadi penyebab penurunan kualitas hidup, di mana rasa percaya diri dan interaksi sosial individu dapat terpengaruh secara signifikan (Setiadi, 2023). Dengan tingginya angka masalah kesehatan gigi ini, penting untuk menyoroti hubungan erat antara kesehatan gigi dan kesehatan mental, serta memfokuskan perhatian pada upaya preventif yang dapat membantu mencegah dampak lebih lanjut terhadap kesejahteraan individu.
Kesehatan mental dan kesehatan gigi adalah dua aspek yang saling terkait dalam kesejahteraan individu. Memahami hubungan ini penting untuk pengembangan strategi perawatan yang holistik, di mana perhatian terhadap kesehatan gigi juga mencakup dukungan untuk kesehatan mental. Upaya untuk meningkatkan keduanya dapat membantu individu mencapai kualitas hidup yang lebih baik secara keseluruhan.
Kedokteran Gigi dan Kesehatan Mental
Kesehatan gigi yang buruk dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental individu. Seperti contoh ketika individu mengalami infeksi gigi atau penyakit gusi, sering kali individu tersebut merasakan rasa sakit yang parah. Hal ini dapat memicu turunnya kepercayaan diri dan kualitas hidup individu secara keseluruhan. Individu dengan masalah gigi serius sering merasa malu atau rendah diri, yang mana hal ini dapat memicu atau memperburuk gangguan kesehatan mental seperti munculnya depresi dan kecemasan (Setiadi, 2023).
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi depresi di Indonesia adalah 1,4%. Artinya, sekitar 1 dari 100 orang di Indonesia mengalami depresi. Prevalensi depresi tertinggi di Indonesia dialami oleh generasi Z, yaitu kelompok usia 15-24 tahun, dengan angka 2%. Prevalensi depresi tertinggi berikutnya dialami oleh kelompok lansia, yaitu berusia 75 tahun ke atas, dengan angka 1,9%. Hanya 10,4% dari generasi Z yang mencari pengobatan untuk depresi. 87% penderita depresi di Indonesia tidak berobat.
Penelitian yang dilakukan oleh Tjahja & Nainggolan (2019) menunjukkan bahwa individu dengan gangguan jiwa, seperti depresi, memiliki kecenderungan untuk mengabaikan perawatan gigi mereka, yang pada gilirannya memperburuk kondisi kesehatan mulut mereka. Selain itu, generasi Z, yang menjadi kelompok usia dengan prevalensi depresi tertinggi di Indonesia, menunjukkan tingkat pengabaian perawatan gigi yang lebih tinggi, yang dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mulut yang lebih serius.
Individu yang mengalami depresi sering kali kehilangan motivasi untuk merawat gigi mereka. Mereka mengabaikan kebiasaan menyikat gigi secara teratur dan tidak melakukan kunjungan rutin ke dokter gigi, sehingga memperburuk kondisi kesehatan gigi mereka. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan gangguan kesehatan mental cenderung memiliki perilaku perawatan gigi yang buruk, yang berkontribusi pada masalah kesehatan mulut yang lebih serius. "Kesehatan gigi yang buruk dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental, dan sebaliknya, masalah kesehatan mental dapat memengaruhi perilaku perawatan gigi," kata dokter gigi Iwan Setiadi mengutip laman RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan (RSJSH) Jakarta, Senin (15/1/2024) (Al Ansori A. N, 2024).
Pendekatan intervensi berbasis Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang telah terbukti efektif dalam mengurangi kecemasan dan stres pada pasien dengan masalah kesehatan mental dapat diadaptasi untuk mendukung perawatan gigi. Terapi ini membantu individu mengelola rasa takut terhadap perawatan gigi, meningkatkan kepatuhan terhadap kebiasaan perawatan mulut, dan mengurangi gejala kecemasan yang sering kali menghalangi mereka untuk melakukan perawatan gigi secara rutin.
Etika dalam Praktik
Peran dokter gigi dalam memberikan dukungan psikologis kepada individu yang mengalami masalah gigi itu sangatlah penting, terutama mengingat dampak kesehatan gigi yang buruk terhadap kesehatan mental. Dokter gigi memiliki peran penting dalam membangun hubungan empatik dengan pasien, memberikan edukasi, mengelola kecemasan, dan mendorong perawatan diri untuk meningkatkan kesehatan gigi dan kualitas hidup secara keseluruhan. Hubungan antara kesehatan gigi dan kesehatan mental sangat erat, di mana masalah kesehatan gigi dapat memengaruhi kesejahteraan mental seseorang dan sebaliknya.
Seperti halnya yang tersirat dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang ini sebagai dasar hukum pelayanan kesehatan yang menegaskan pentingnya hak atas kesehatan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-undang ini juga menekankan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan melalui pelayanan yang berkualitas dan akses yang merata. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia, termasuk kesehatan gigi. Meskipun tidak spesifik mengenai kesehatan mental, undang-undang ini menciptakan dasar bagi integrasi layanan kesehatan yang holistik, yang seharusnya mencakup perhatian terhadap kesehatan mental dalam konteks perawatan gigi.
Dengan membangun hubungan empatik yang baik, memberikan edukasi yang memadai, mengelola kecemasan, dan mendorong perawatan diri, dokter gigi dapat membantu pasien menghadapi tantangan kesehatan gigi mereka. Hal ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup individu tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan mental secara keseluruhan.
Stigma Sosial Terhadap Kondisi Gigi
Stigma sosial terhadap kondisi gigi dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental individu. Hal ini sering kali mengakibatkan munculnya rasa malu dan rendah diri dalam diri individu. Berikut adalah beberapa cara di mana stigma ini dapat mempengaruhi kesehatan mental:
- Persepsi Negatif Terhadap Kesehatan Gigi
- Rasa Malu dan Isolasi: Individu dengan masalah gigi sering merasa malu untuk menunjukkan senyumannya atau berbicara di depan umum, yang dapat menyebabkan isolasi sosial. Stigma ini diperkuat oleh pandangan masyarakat yang menganggap gigi yang tidak sehat sebagai tanda kurangnya perawatan diri atau kebersihan.
- Penundaan Perawatan
- Menghindari Dokter Gigi: Banyak orang enggan untuk memeriksakan gigi mereka karena takut akan penilaian negatif dari dokter gigi atau masyarakat. Hal ini menyebabkan penundaan dalam mendapatkan perawatan yang diperlukan, sehingga masalah gigi semakin parah dan dapat mempengaruhi kesehatan mental secara keseluruhan.
- Dampak pada Kualitas Hidup
- Keterbatasan Aktivitas Sosial: Stigma dapat membatasi individu dalam berpartisipasi dalam aktivitas sosial atau profesional, yang berpotensi menurunkan kualitas hidup mereka. Ketidaknyamanan fisik akibat masalah gigi juga dapat menambah beban emosional dan psikologis.
- Pengalaman Masa Kecil
- Trauma dari Pengalaman Negatif: Banyak orang membawa pengalaman traumatis dari masa kecil terkait kunjungan ke dokter gigi, yang membentuk stigma jangka panjang terhadap perawatan gigi. Kenangan ini dapat menyebabkan kecemasan yang berkepanjangan dan ketidaknyamanan saat harus menjalani perawatan.
- Persepsi Masyarakat Terhadap Dokter Gigi
- Stereotip Negatif: Stereotip bahwa dokter gigi adalah sosok yang menakutkan atau tidak ramah dapat memperburuk stigma terhadap perawatan gigi. Hal ini membuat pasien merasa tidak nyaman dan enggan untuk mencari bantuan medis ketika diperlukan (Adyatmaka, I., 2021).
Untuk mengatasi stigma sosial terkait kondisi gigi, beberapa kampanye edukasi telah terbukti efektif. Misalnya, kampanye 'Dare to Smile' di Australia berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perawatan gigi dan mengurangi persepsi negatif terhadap individu dengan masalah gigi. Di Indonesia, program 'Gerakan Peduli Kesehatan Gigi' yang digagas oleh Kementerian Kesehatan telah menyasar berbagai lapisan masyarakat, dari sekolah hingga komunitas, untuk mengurangi stigma dan mempromosikan kebersihan mulut yang lebih baik. Kampanye-kampanye ini mengedukasi masyarakat tentang bahwa masalah gigi adalah kondisi medis yang dapat diatasi, bukan sekadar masalah estetika atau indikator kurangnya perhatian terhadap kebersihan pribadi.
Kesimpulan
Menjaga kesehatan gigi dan kesehatan mental adalah aspek penting dari kesejahteraan individu. Keduanya saling mempengaruhi; masalah di satu area dapat memperburuk kondisi di area lainnya. Oleh karena itu untuk mencapai keseimbangan yang sehat antara kesehatan gigi dan mental, diperlukan pendekatan yang lebih holistik, yang melibatkan kolaborasi antara dokter gigi dan profesional kesehatan mental. Kolaborasi ini tidak hanya akan memastikan perawatan gigi yang lebih efektif, tetapi juga memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan pasien untuk mengatasi kecemasan dan stigma yang terkait dengan masalah gigi. Dengan demikian, kualitas hidup individu dapat ditingkatkan secara keseluruhan, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental.
Daftar Pustaka
Adyatmaka, I. (2021). Persepsi Kinerja dan Tantangan yang dihadapi Dokter Gigi dalam Praktik. SONDE (Sound of Dentistry), 6(2), 8-26.
Al Ansori, A. N. (2024). Kondisi Gigi, Dokter Ungkap 4 Â Cara Mencegahnya. Liputan6.com. Diakses pada 13 Desember 2024, dari https://www.liputan6.com/disabilitas/read/5505560/masalah-kesehatan-mental-pengaruhi-kondisi-gigi-dokter-ungkap-4-cara-mencegahnya?page=4
Fatiara, N., & Novitasari, Y. (2022). Menkes sebut 88% Anak RI Punya Masalah Kesehatan Gigi, Kok Bisa Ya?. Kumparan.com. Diakses pada 13 Desember 2024, dari https://kumparan.com/kumparanmom/menkes-sebut-88-anak-ri-punya-masalah-kesehatan-gigi-kok-bisa-ya-1ygd1eM8zqU
Herawati, A., Sari, A., Santoso, D., Putra, F. B. A., Sitorus, G. G., & Setiawaty, S. (2022). Edukasi Kesehatan Gigi dan Mulut melalui Media Pembelajaran Berbasis Interaktif pada Siswa SDN Mekarjaya 11 Kota Depok Tahun 2022. Jurnal Pengabdian Masyarakat Saga Komunitas, 1(4), 111-118.
Ramadhan, M., Novrinda, H., Ramadhani, A., Badruddin, I. A., & Bahar, A. (2024). Peran Pendidikan Kesehatan Gigi Dengan Pendekatan Model COM-B Terhadap Perilaku Menjaga Kebersihan Gigi Dan Mulut: Scoping Review. STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran Gigi, 21(2), 150-157.
Savitrie, E. (2022). Mengenal Pentingnya Kesehatan Mental pada Remaja. Jakarta Selatan : Kemenkes Ditjen Yankes. Diakses pada 13 Desember 2024 dari https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/362/mengenal-pentingnya-kesehatan-mental-pada-remaja
Setiadi, I. (2023). Pengaruh Kesehatan Gigi terhadap Kesehatan Mental. Jakarta Selatan : Kemenkes Ditjen Yankes. Diakses pada 13 Desember 2024 dari https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2749/pengaruh-kesehatan-gigi-terhadap-kesehatan-mental Â
Tjahja, I., & Nainggolan, O. (2019). Hubungan Kesehatan Jiwa dan Aktivitas Fisik terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut (Analisis Lanjut Riskesdas 2013). Buletin Penelitian Kesehatan, 47(2), 135-142.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI