Diskursus G Peter Hoefnagels pada Skema "Criminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia
Pendahuluan
G. Peter Hoefnagels adalah salah satu kriminolog terkenal dari Rotterdam yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman dan pengembangan kebijakan kriminal. Dalam konsepnya tentang "Criminal Policy," Hoefnagels menekankan pentingnya organisasi rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan. Kebijakan kriminal mencakup respons, pencegahan, dan penetapan perilaku manusia sebagai tindak kejahatan. Di Indonesia, pemikiran Hoefnagels sangat relevan dalam mengembangkan kebijakan kriminal yang lebih efektif dan humanis. Artikel ini akan menjelaskan secara mendalam pemikiran Hoefnagels serta relevansinya dengan konteks kebijakan kriminal di Indonesia.
Penyebab Kejahatan
Menurut gambar yang disediakan, penyebab kejahatan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu:
Biologis / Psikologis
Teori Biologis
Teori biologis berpendapat bahwa faktor-faktor genetik dan biologis memainkan peran penting dalam menyebabkan kejahatan. Pendekatan ini meneliti aspek-aspek seperti struktur otak, ketidakseimbangan hormon, dan faktor genetik yang mungkin mempengaruhi perilaku seseorang. Beberapa poin utama dalam teori biologis meliputi:
Genetik:
Studi menunjukkan bahwa ada komponen genetik yang dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk terlibat dalam perilaku kriminal. Misalnya, penelitian kembar menunjukkan bahwa jika satu kembar identik melakukan kejahatan, kemungkinan kembar lainnya juga akan melakukan hal yang sama lebih tinggi dibandingkan dengan kembar fraternal.
Neurotransmitter:
Ketidakseimbangan kimiawi di otak, seperti kadar serotonin atau dopamin yang rendah, dapat mempengaruhi kontrol impuls dan agresi, yang berpotensi mengarah pada perilaku kriminal.
Struktur Otak:
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kelainan pada bagian tertentu dari otak, seperti amigdala atau prefrontal cortex, lebih cenderung menunjukkan perilaku antisosial dan kriminal.
Teori Psikologis
Teori psikologis fokus pada faktor-faktor internal seperti kepribadian, gangguan mental, dan perkembangan emosional individu. Beberapa poin utama dalam teori psikologis meliputi:
Gangguan Kepribadian:
Individu dengan gangguan kepribadian antisosial (ASPD) atau gangguan kepribadian borderline (BPD) sering menunjukkan perilaku yang tidak memperhatikan norma sosial dan dapat lebih cenderung melakukan tindakan kriminal.
Pengalaman Masa Kecil:
Trauma masa kecil, pengabaian, atau pelecehan dapat menyebabkan perkembangan psikologis yang terganggu, yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada perilaku kriminal di kemudian hari.
Teori Pembelajaran Sosial:
Menurut teori ini, perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan sosial. Jika individu sering terpapar pada model perilaku kriminal atau menerima penghargaan atas perilaku antisosial, mereka lebih mungkin untuk mengadopsi perilaku tersebut.
Sosiologis
Teori sosiologis menekankan pengaruh lingkungan sosial dan kondisi masyarakat dalam mempengaruhi perilaku kriminal. Beberapa teori utama dalam kategori ini adalah:
Teori Strain
Teori strain yang dikemukakan oleh Robert K. Merton menyatakan bahwa tekanan sosial (strain) yang dialami individu karena ketidaksesuaian antara tujuan budaya yang diterima (seperti kekayaan dan kesuksesan) dan cara-cara yang sah untuk mencapainya dapat mendorong individu untuk melakukan kejahatan. Merton mengidentifikasi lima respon adaptif terhadap strain:
Konformitas: Menerima tujuan dan cara yang sah.
Inovasi: Menerima tujuan tetapi menggunakan cara yang tidak sah.
Ritualisme: Menolak tujuan tetapi tetap menggunakan cara yang sah.
Retretisme: Menolak tujuan dan cara yang sah.
Pemberontakan: Menolak tujuan dan cara yang sah serta menggantinya dengan yang baru.
Teori Disorganisasi Sosial
Teori ini menyatakan bahwa lingkungan masyarakat yang kacau dan tidak teratur, seperti lingkungan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, mobilitas penduduk yang tinggi, dan kurangnya keterlibatan komunitas, dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk kejahatan. Kejahatan lebih mungkin terjadi di daerah yang tidak memiliki struktur sosial yang kuat dan sumber daya untuk menjaga ketertiban.
Teori Penyimpangan Budaya
Teori penyimpangan budaya berpendapat bahwa kejahatan terjadi karena adanya subkultur atau kelompok dalam masyarakat yang memiliki norma dan nilai yang berbeda dari budaya dominan. Subkultur ini dapat mendukung dan membenarkan perilaku kriminal sebagai cara yang sah untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya, geng jalanan dapat memiliki norma dan nilai yang mendukung kekerasan dan kejahatan sebagai cara untuk mendapatkan penghargaan dan pengakuan.
Teori Kontrol Sosial
Teori kontrol sosial berpendapat bahwa ikatan individu dengan masyarakat memainkan peran penting dalam mencegah kejahatan. Travis Hirschi mengemukakan bahwa ada empat elemen utama dari ikatan sosial yang kuat yang dapat mengurangi kemungkinan individu terlibat dalam kejahatan:
Keterikatan (Attachment):
Hubungan emosional dengan keluarga, teman, dan masyarakat.
Komitmen (Commitment):
Investasi waktu, energi, dan sumber daya dalam kegiatan yang sah seperti pendidikan dan pekerjaan.
Keterlibatan (Involvement):
Partisipasi dalam kegiatan konvensional yang mengurangi waktu untuk perilaku kriminal.
Kepercayaan (Belief):
Keyakinan pada nilai-nilai moral dan norma-norma hukum yang mengatur perilaku.
Teori Labeling (Pelabelan)
Teori labeling menyoroti bagaimana masyarakat memberikan label pada individu tertentu dan bagaimana label tersebut mempengaruhi identitas dan perilaku individu. Edwin Lemert membedakan antara "penyimpangan primer" (pelanggaran kecil yang tidak menyebabkan label permanen) dan "penyimpangan sekunder" (ketika individu menerima label negatif dan menginternalisasi identitas tersebut, yang mengarah pada perilaku kriminal berulang). Proses labeling dapat memperkuat identitas kriminal dan membuat individu sulit untuk melepaskan diri dari perilaku kriminal.
Teori Konflik
Teori konflik berpendapat bahwa kejahatan merupakan hasil dari konflik sosial antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, terutama antara kelompok yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. Karl Marx dan para teoris konflik lainnya berpendapat bahwa hukum dan sistem peradilan pidana cenderung digunakan oleh kelompok yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan menindas kelompok yang kurang beruntung. Kejahatan dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Kriminologi Radikal (Kritis)
Kriminologi radikal, atau kriminologi kritis, berfokus pada bagaimana struktur sosial dan kekuasaan mempengaruhi definisi dan tanggapan terhadap kejahatan. Teori ini menekankan pentingnya analisis kritis terhadap sistem peradilan pidana dan bagaimana ia cenderung memperkuat ketidakadilan sosial. Kriminologi radikal mengkritik pendekatan-pendekatan tradisional yang cenderung mengabaikan faktor-faktor struktural dan sistemik yang mendasari kejahatan.
Kerangka Pemikiran Skema "Criminal Policy"
Gambar tersebut juga menggambarkan kerangka pemikiran Hoefnagels tentang kebijakan kriminal yang meliputi tiga komponen utama: hukum kriminal, kriminologi, dan kebijakan penal. Berikut penjelasan lebih rinci dari masing-masing komponen:
Hukum Kriminal
Bagian ini mencakup penjelasan dan penerapan aturan positif yang mengatur bagaimana masyarakat bereaksi terhadap fenomena kejahatan. Hukum kriminal bertindak sebagai pedoman bagi penegak hukum dan memberikan definisi yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai tindak kejahatan. Penegakan hukum yang konsisten dan adil adalah kunci dalam mengurangi kejahatan dan memastikan bahwa pelaku kejahatan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Kriminologi
Kriminologi adalah studi tentang fenomena kejahatan dalam segala aspeknya. Ini mencakup analisis penyebab kejahatan, pola kejahatan, dan dampak kejahatan pada korban dan masyarakat. Dengan memahami mengapa kejahatan terjadi, kriminolog dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih efektif untuk mencegah dan mengatasi kejahatan.
Kebijakan Penal
Kebijakan penal mencakup seni dan/atau sains tentang penerapan kebijakan yang praktis untuk mencapai tujuan pencegahan dan penegakan hukum. Ini melibatkan penggunaan hukuman sebagai alat untuk mencegah kejahatan dan merehabilitasi pelaku kejahatan. Efektivitas kebijakan penal sering kali diukur berdasarkan seberapa baik kebijakan tersebut mampu mengurangi tingkat kejahatan dan memperbaiki perilaku pelaku kejahatan.
Elemen Kebijakan Kriminal Hoefnagels
Menurut Hoefnagels, kebijakan kriminal adalah organisasi rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan yang mencakup empat elemen utama:
Ilmu tentang Respons
Kebijakan kriminal sebagai ilmu tentang respons melibatkan studi tentang bagaimana masyarakat merespons kejahatan. Ini termasuk analisis tentang sistem peradilan pidana, peran penegak hukum, dan mekanisme lain yang digunakan untuk menangani pelaku kejahatan.
Ilmu tentang Pencegahan Kejahatan
Kebijakan kriminal sebagai ilmu tentang pencegahan kejahatan fokus pada strategi dan program yang dirancang untuk mencegah terjadinya kejahatan. Ini bisa mencakup program pendidikan, intervensi komunitas, dan kebijakan sosial yang bertujuan untuk mengurangi faktor risiko yang terkait dengan kejahatan.
Penetapan Perilaku sebagai Kejahatan
Kebijakan kriminal juga melibatkan penetapan perilaku tertentu sebagai tindak kejahatan. Ini membutuhkan proses legislasi di mana perilaku yang dianggap merugikan atau berbahaya bagi masyarakat diidentifikasi dan dijadikan tindak pidana melalui undang-undang.
Totalitas Rasional dari Respons terhadap Kejahatan
Kebijakan kriminal sebagai totalitas rasional dari respons terhadap kejahatan mengacu pada pendekatan holistik yang mengintegrasikan berbagai elemen respons sosial terhadap kejahatan. Ini mencakup pencegahan, penegakan hukum, dan rehabilitasi dalam suatu kerangka kerja yang koheren dan sistematis.
Relevansi dengan Kebijakan Kriminal di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, penerapan pemikiran Hoefnagels dapat memberikan kerangka kerja yang sistematis untuk mengatasi masalah kejahatan. Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan meliputi:
Pendekatan Ilmiah
Menggunakan data dan penelitian untuk merumuskan kebijakan kriminal yang efektif. Ini melibatkan analisis statistik tentang pola kejahatan, studi kasus, dan penelitian kriminologis yang mendalam untuk memahami akar penyebab kejahatan.
Pencegahan Kejahatan
Fokus pada tindakan preventif melalui pendidikan, rehabilitasi, dan program sosial. Program pencegahan kejahatan yang efektif sering kali melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal.
Penetapan Perilaku
Definisi yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai tindak kejahatan berdasarkan norma sosial dan hukum. Proses legislasi yang transparan dan partisipatif sangat penting untuk memastikan bahwa hukum kriminal mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat.
Respons Terkoordinasi
Kerjasama antara berbagai lembaga penegak hukum dan lembaga sosial untuk menciptakan respons yang komprehensif terhadap kejahatan. Ini termasuk koordinasi antara polisi, jaksa, hakim, petugas pemasyarakatan, dan layanan sosial untuk memastikan bahwa semua aspek penegakan hukum dan rehabilitasi terintegrasi dengan baik.
Kasus Implementasi Kebijakan Kriminal di Indonesia
Untuk memahami bagaimana pemikiran Hoefnagels dapat diterapkan di Indonesia, penting untuk melihat beberapa contoh konkret dari kebijakan kriminal yang telah diimplementasikan di negara ini. Berikut adalah beberapa kasus yang relevan:
Program Pencegahan Kejahatan Melalui Pendidikan
Di beberapa daerah di Indonesia, program pencegahan kejahatan melalui pendidikan telah diimplementasikan dengan melibatkan sekolah-sekolah dalam kampanye anti-narkoba dan anti-kekerasan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang bahaya kejahatan dan memberikan mereka keterampilan untuk menghindari situasi yang berisiko tinggi.
Rehabilitasi Narapidana
Sistem pemasyarakatan di Indonesia telah mulai mengadopsi pendekatan yang lebih berfokus pada rehabilitasi daripada hukuman semata. Program rehabilitasi ini mencakup pelatihan keterampilan kerja, konseling psikologis, dan program pembinaan rohani yang dirancang untuk membantu narapidana mengubah perilaku mereka dan mempersiapkan diri untuk reintegrasi ke masyarakat.
Kerjasama Antar Lembaga Penegak Hukum
Salah satu tantangan utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah kurangnya koordinasi antara berbagai lembaga penegak hukum. Namun, inisiatif seperti Forum Koordinasi Penegakan Hukum (FKPH) telah dibentuk untuk meningkatkan kerjasama dan komunikasi antara polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Inisiatif ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum berjalan lebih efisien dan efektif.
Penggunaan Data dan Penelitian untuk Merumuskan Kebijakan
Beberapa lembaga di Indonesia telah mulai menggunakan data dan penelitian untuk merumuskan kebijakan kriminal yang lebih efektif. Misalnya, Badan Narkotika Nasional (BNN) menggunakan data epidemiologi untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan prevalensi tinggi penyalahgunaan narkoba dan merancang intervensi yang spesifik untuk daerah-daerah tersebut.
Tantangan dan Peluang
Implementasi pemikiran Hoefnagels di Indonesia tentunya tidak tanpa tantangan. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam pengembangan dan penerapan kebijakan kriminal di Indonesia:
Keterbatasan Sumber Daya
Banyak daerah di Indonesia menghadapi keterbatasan sumber daya manusia dan finansial dalam melaksanakan kebijakan kriminal yang efektif. Hal ini dapat menghambat upaya untuk melakukan penegakan hukum yang konsisten dan menyediakan program rehabilitasi yang memadai.
Korupsi
Korupsi dalam sistem peradilan pidana merupakan masalah yang signifikan di Indonesia. Korupsi dapat mengurangi efektivitas penegakan hukum dan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Ketidakadilan Sosial
Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang meluas dapat mendorong individu untuk terlibat dalam kejahatan. Oleh karena itu, kebijakan kriminal perlu diintegrasikan dengan kebijakan sosial yang lebih luas untuk mengatasi akar penyebab kejahatan.
Kurangnya Data yang Akurat
Untuk merumuskan kebijakan kriminal yang efektif, diperlukan data yang akurat dan terpercaya. Namun, di banyak daerah, data tentang kejahatan dan penegakan hukum seringkali tidak lengkap atau tidak tersedia.
Meskipun demikian, ada juga banyak peluang untuk mengembangkan kebijakan kriminal yang lebih baik di Indonesia:
Inovasi Teknologi
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan pengumpulan data. Misalnya, sistem manajemen informasi kriminal yang terintegrasi dapat membantu lembaga penegak hukum berbagi data dan mengkoordinasikan respons mereka terhadap kejahatan.
Peningkatan Kesadaran Publik
Meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pencegahan kejahatan dan rehabilitasi dapat membantu menciptakan dukungan masyarakat yang lebih luas untuk kebijakan kriminal yang humanis. Kampanye publik dan program pendidikan dapat memainkan peran penting dalam hal ini.
Kolaborasi Internasional
Kerjasama dengan lembaga internasional dan negara lain dapat memberikan akses ke sumber daya, pengetahuan, dan praktik terbaik yang dapat diadaptasi untuk konteks Indonesia. Misalnya, program bantuan dari PBB atau lembaga donor lainnya dapat mendukung reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia.
Kesimpulan
Pemikiran G. Peter Hoefnagels tentang "Criminal Policy" memberikan dasar yang kuat untuk memahami dan mengembangkan kebijakan kriminal yang efektif dan humanis. Dengan mengadopsi pendekatan rasional dan ilmiah, Indonesia dapat mengembangkan kebijakan yang tidak hanya menindak kejahatan tetapi juga mencegahnya melalui program sosial yang holistik. Implementasi pemikiran Hoefnagels di Indonesia membutuhkan kerjasama antara berbagai lembaga, inovasi teknologi, dan peningkatan kesadaran publik. Meskipun ada banyak tantangan yang harus diatasi, peluang untuk memperbaiki sistem kebijakan kriminal di Indonesia juga sangat besar. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat, Indonesia dapat mencapai sistem kebijakan kriminal yang lebih adil dan efektif.
Referensi :
[1] G. P. Hoefnagels, The book White Collar crime of Rotterdam criminologist, 30 September 1981.
[2] Dokpri, Prof. Apollo UMB, "Kata penologi sebagai kata 'penal' berarti 'hukuman' dan dengan demikian penologi bermakna 'ilmu hukuman'. Penologi mempelajari asal muasal, perkembangan, kepentingan, dan kemanfaatan suatu hukuman," Universitas Mercu Buana (UMB).
[3] E. J. W. Baumer, and K. T. Wolff, "Examining the Influence of Legal and Extralegal Factors on the Likelihood of a Sentence of Death Under Florida’s Revised Capital Sentencing System," Law Soc. Rev., vol. 54, no. 2, pp. 408-444, 2020.
[4] Forum Koordinasi Penegakan Hukum (FKPH), "Meningkatkan Kerjasama Antar Lembaga Penegak Hukum di Indonesia," FKPH, Jakarta, Indonesia, 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H