Mohon tunggu...
Zezi Musodik
Zezi Musodik Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Mercubuana - NIM 41420120116

Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Teknik Elektro Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

K11_Diskursus Metafora The Rings of Gyges, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

14 Juni 2024   06:33 Diperbarui: 14 Juni 2024   06:33 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus Metafora The Rings of Gyges, dan Fenomena Korupsi  di Indonesia

Korupsi adalah salah satu masalah besar yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini merusak sistem pemerintahan, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik. Untuk memahami mengapa korupsi begitu merajalela, kita bisa merujuk pada konsep-konsep filosofis yang telah lama diperdebatkan. Salah satu metafora yang relevan adalah kisah Cincin Gyges yang ditemukan dalam karya "Republik" Plato. Kisah ini menantang kita untuk merenungkan sifat dasar manusia dan motivasi di balik tindakan moral dan tidak bermoral.

Sumber: Dokpri_Prof Apollo_Diskursus Metafora The Rings of Gyges, dan Fenomena Korupsi di Indonesia
Sumber: Dokpri_Prof Apollo_Diskursus Metafora The Rings of Gyges, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

Konsep Inti dalam Filsafat: Cincin Gyges di Republik Plato, Buku II

Plato, salah satu filsuf terbesar dalam sejarah, menguraikan berbagai konsep penting dalam karyanya "Republik". Salah satu cerita menarik yang muncul dalam Buku II adalah kisah tentang Cincin Gyges. Cerita ini digunakan oleh Glaucon, saudara Plato, untuk menguji pandangan Socrates tentang keadilan.

Kisah Cincin Gyges

Kisah ini dimulai dengan Gyges, seorang gembala Lydia, yang menemukan sebuah cincin ajaib setelah terjadi gempa bumi yang membuka celah di tanah. Gyges menemukan cincin tersebut di jari mayat seorang raksasa di dalam sebuah gua. Ketika Gyges mengenakan cincin itu, ia menemukan bahwa dengan memutar cincin tersebut, ia bisa menjadi tak terlihat. Menyadari kekuatan cincin tersebut, Gyges menggunakan kekuatan tak terlihatnya untuk memasuki istana, menggoda ratu, membunuh raja, dan merebut takhta untuk dirinya sendiri.

Argumen Glaucon

Glaucon menceritakan kisah ini kepada Socrates untuk menantang pandangan bahwa manusia berbuat adil karena itu adalah hal yang benar. Menurut Glaucon, manusia berbuat adil karena takut akan konsekuensi yang ditimbulkan oleh ketidakadilan. Dengan kata lain, keadilan adalah hasil dari kontrak sosial dan bukan dari sifat moral yang inheren. Dia berpendapat bahwa jika seseorang memiliki kekuatan untuk bertindak tidak adil tanpa takut tertangkap atau dihukum, seperti yang terjadi pada Gyges dengan cincinnya, orang tersebut pasti akan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi.

Glaucon menggunakan kisah ini untuk menyatakan bahwa jika ada dua cincin seperti itu, satu diberikan kepada orang yang adil dan satu lagi kepada orang yang tidak adil, keduanya akan bertindak dengan cara yang sama. Mereka akan menggunakan kekuatan tak terlihat untuk mencapai keuntungan pribadi mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa orang bertindak adil bukan karena mereka benar-benar adil, tetapi karena mereka tidak ingin menanggung akibat dari bertindak tidak adil.

Tanggapan Socrates

Socrates tidak setuju dengan pandangan Glaucon. Dalam diskusi lebih lanjut di "Republik", Socrates berusaha untuk menunjukkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang intrinsik dan berharga dalam dirinya sendiri. Dia berargumen bahwa jiwa yang adil lebih harmonis dan bahagia dibandingkan jiwa yang tidak adil. Menurut Socrates, keadilan membawa ketertiban dan kesehatan bagi jiwa, sama seperti keadilan dalam negara membawa ketertiban dan kesehatan bagi masyarakat. Dalam pandangan Socrates, seseorang yang benar-benar memahami nilai keadilan akan memilih untuk hidup adil bahkan jika mereka memiliki kekuatan seperti Cincin Gyges

Relevansi dan Refleksi

Kisah Cincin Gyges tetap relevan hingga saat ini karena menggugah pertanyaan mendasar tentang sifat manusia dan motivasi moral. Apakah manusia berbuat baik karena itu adalah hal yang benar, atau karena mereka takut akan konsekuensi dari berbuat buruk? Apakah keadilan hanyalah sebuah konstruksi sosial, atau ada nilai intrinsik yang membuatnya layak untuk dijalani?

Diskusi ini juga relevan dalam konteks modern di mana kekuatan dan anonimitas, seperti yang ditemukan di dunia maya, dapat menguji moralitas individu. Dengan teknologi yang memungkinkan anonimitas, banyak orang merasa bebas untuk bertindak di luar norma moral mereka tanpa takut akan konsekuensi. Ini menimbulkan pertanyaan apakah prinsip keadilan masih dihargai ataukah manusia bertindak adil hanya ketika diawasi.

Why should I Be Moral?

Pertanyaan ini tidak berkaitan dengan apa yang dianggap moral (isu etika "normatif"), tetapi mengapa saya harus melakukan apa yang saya akui sebagai tindakan moral ketika hal itu tidak menguntungkan diri saya sendiri (isu metaetika).

Etika Normatif: Ini adalah cabang filsafat yang berfokus pada apa yang seharusnya dianggap sebagai tindakan benar atau salah. Etika normatif membahas prinsip-prinsip atau aturan-aturan moral yang menentukan tindakan yang benar.

Metaetika: Ini adalah cabang filsafat yang mengeksplorasi sifat dari nilai-nilai moral, sikap, dan penilaian moral. Metaetika tidak bertanya tentang apa yang harus dilakukan (apa yang benar atau salah), tetapi lebih kepada mengapa kita harus bertindak dengan cara tertentu, terutama dalam konteks motivasi dan alasan di balik tindakan moral.

Mengapa saya harus berperilaku bermoral jika tindakan tersebut tidak menguntungkan diri saya sendiri? Ini bukan pertanyaan tentang apa yang dianggap moral (yang akan menjadi fokus etika normatif), tetapi tentang motivasi di balik mengapa seseorang harus tetap bertindak moral bahkan ketika tindakan tersebut tidak memberikan keuntungan pribadi.

Relevansi dengan Kisah Cincin Gyges:

Kisah Cincin Gyges dalam karya Plato mengeksplorasi tema ini dengan menggambarkan situasi di mana seseorang memiliki kemampuan untuk bertindak tidak adil tanpa takut akan konsekuensi. Ini menantang kita untuk mempertimbangkan apakah orang akan tetap berperilaku moral jika mereka bisa menghindari hukuman.

Kisah ini mengangkat isu metaetika karena mendorong kita untuk merenungkan alasan mendalam di balik mengapa seseorang harus tetap bermoral, bukan hanya karena takut akan konsekuensi atau hukuman, tetapi karena adanya nilai intrinsik dalam tindakan moral itu sendiri.

Leadeship and Ethicss The Rings of Gyges

Pernyataan ini mengajukan pertanyaan penting tentang hubungan antara kepemimpinan, etika, dan sifat manusia: "Apakah Anda berpikir bahwa semua orang akan bertindak dengan cara yang sama jika diberikan cincin tersebut?"

Pertanyaan ini mengacu pada kisah Cincin Gyges dari "Republik" Plato, di mana Gyges menemukan cincin yang memberinya kemampuan untuk menjadi tak terlihat. Dengan kekuatan ini, Gyges melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral tanpa takut akan konsekuensi. Pertanyaan ini menantang kita untuk mempertimbangkan apakah semua orang, jika diberikan kekuatan serupa (misalnya, kekuatan untuk bertindak tanpa takut ketahuan atau dihukum), akan bertindak tidak bermoral.

Hubungan dengan Kepemimpinan dan Etika:

Kepemimpinan: Pemimpin memiliki kekuasaan dan pengaruh yang signifikan, sering kali lebih besar daripada orang biasa. Pertanyaan ini relevan dalam konteks kepemimpinan karena pemimpin mungkin memiliki kesempatan untuk bertindak tanpa pengawasan ketat.

Etika: Tindakan pemimpin dinilai tidak hanya berdasarkan hasilnya, tetapi juga berdasarkan proses dan integritas moral mereka. Pertanyaan ini mengajak kita untuk merenungkan apakah pemimpin akan tetap bertindak etis ketika tidak ada yang mengawasi atau ketika tindakan tidak etis tidak akan membawa konsekuensi negatif bagi mereka.

Implikasi Pertanyaan:

Pandangan Pesimis: Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa semua orang, jika diberi kekuatan untuk bertindak tanpa takut ketahuan, akan cenderung melakukan tindakan tidak bermoral demi keuntungan pribadi. Ini bisa didasarkan pada pandangan bahwa manusia secara alami cenderung egois dan oportunis.

Pandangan Optimis: Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa tidak semua orang akan bertindak tidak bermoral meskipun memiliki kekuatan seperti Cincin Gyges. Orang-orang dengan integritas moral yang kuat atau yang benar-benar mempercayai nilai-nilai etis akan tetap bertindak sesuai dengan prinsip mereka, bahkan tanpa takut akan hukuman atau konsekuensi.

Relevansi dalam Kehidupan Nyata:

Pengawasan dan Akuntabilitas: Dalam konteks kepemimpinan dan organisasi, penting untuk menciptakan sistem yang memastikan pengawasan dan akuntabilitas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Pendidikan Moral: Mengembangkan pendidikan moral dan etika yang kuat bisa membantu individu menginternalisasi nilai-nilai yang mendorong tindakan etis, terlepas dari situasi atau kekuasaan yang dimiliki.

Budaya Organisasi: Menciptakan budaya organisasi yang menghargai dan menghormati etika bisa mendorong tindakan moral bahkan ketika ada kesempatan untuk bertindak tidak etis tanpa konsekuensi.

Etika dan Egoisme: Cincin Gyges - Plato

"Glaucon`s story is meant to show that all people believe in their hearts that injustice is more profitable than justice."

Glaucon, saudara Plato, menggunakan kisah Cincin Gyges dalam dialog "Republik" untuk menguji pandangan Socrates tentang keadilan. Menurut Glaucon, dalam hati nurani mereka, semua orang percaya bahwa ketidakadilan lebih menguntungkan daripada keadilan. Dia berargumen bahwa jika seseorang dapat bertindak tidak adil tanpa takut ketahuan atau dihukum, orang tersebut akan melakukannya untuk keuntungan pribadi.

"Glaucon argues that the unjust life is better than the just life."

Glaucon berpendapat bahwa kehidupan yang tidak adil lebih baik daripada kehidupan yang adil. Menurutnya, orang yang tidak adil bisa mencapai kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan tanpa harus khawatir tentang konsekuensi negatif. Dengan kata lain, kehidupan yang tidak adil dianggap lebih menguntungkan dan memuaskan daripada kehidupan yang adil, terutama ketika seseorang tidak perlu takut akan hukuman atau pembalasan.

"Socrates says that we should choose the life of the 'unsuccessful' just person because it is to our advantage to be moral."

Socrates, di sisi lain, berargumen bahwa kita seharusnya memilih hidup sebagai orang yang adil meskipun itu berarti menjadi "tidak sukses" dalam pandangan duniawi. Socrates percaya bahwa keadilan memiliki nilai intrinsik dan membawa manfaat yang lebih besar bagi jiwa manusia. Hidup dengan moralitas, menurut Socrates, adalah kehidupan yang harmonis dan sejahtera secara internal. Meskipun mungkin tidak menghasilkan keuntungan materi atau kekuasaan yang sama dengan kehidupan yang tidak adil, kehidupan yang adil membawa kedamaian batin, ketenangan, dan kesejahteraan spiritual.

Implikasi dari Pernyataan:

  • Konflik antara Etika dan Egoisme:
    Pernyataan-pernyataan ini menggambarkan konflik mendasar antara etika (moralitas) dan egoisme (keuntungan pribadi). Glaucon mewakili pandangan egoistik di mana tindakan dinilai berdasarkan keuntungan pribadi yang dapat diperoleh. Sementara itu, Socrates mewakili pandangan etis di mana tindakan dinilai berdasarkan nilai moral dan kesejahteraan jiwa.
  • Nilai Keadilan:
    Diskusi ini menekankan pentingnya nilai keadilan tidak hanya sebagai prinsip sosial tetapi juga sebagai nilai intrinsik yang membawa kesejahteraan bagi individu. Socrates mengajukan argumen bahwa hidup yang adil memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang lebih dalam dibandingkan dengan keuntungan materi yang didapat dari ketidakadilan.
  • Pilihan Hidup:
    Dengan memilih hidup yang adil, seseorang memilih jalan yang mungkin lebih sulit tetapi lebih memuaskan secara moral dan spiritual. Socrates mengajarkan bahwa tindakan moral harus dilakukan bukan karena takut akan hukuman atau menginginkan penghargaan, tetapi karena keadilan itu sendiri merupakan bentuk kehidupan yang terbaik bagi jiwa manusia.

The Rings of Gyges"To argue his case Glaucon proposes a story:"Untuk mendukung argumennya, Glaucon mengajukan sebuah cerita fiksi yang dikenal sebagai kisah Cincin Gyges dalam "Republik" Plato. Cerita ini berfungsi untuk mengilustrasikan pandangannya tentang sifat dasar manusia dan moralitas.
"A Shepherd discovers a ring which makes the wearer invisible."Dalam cerita ini, seorang gembala bernama Gyges menemukan sebuah cincin ajaib yang memberinya kemampuan untuk menjadi tak terlihat ketika dia memutarnya. Kekuatan ini memungkinkan Gyges untuk bertindak tanpa takut ketahuan atau dihukum.
"He uses this power for personal enrichment."Gyges menggunakan kemampuan tak terlihatnya untuk tujuan pribadi. Dengan tidak adanya risiko ketahuan, dia melakukan berbagai tindakan yang akan dianggap tidak bermoral atau kriminal jika diketahui orang lain.
"Seduces the queen of the kingdom, kills the king, and becomes ruler himself."Gyges menggunakan kekuatannya untuk menggoda ratu, membunuh raja, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan sebagai penguasa kerajaan. Tindakan ini menunjukkan bahwa tanpa ancaman hukuman, seseorang bisa melakukan tindakan yang sangat tidak bermoral demi keuntungan pribadi.
"Glaucon concludes that even a moral man will eventually become immoral as long as he believes he cannot be punished for his actions."Glaucon menyimpulkan bahwa bahkan orang yang moral sekalipun pada akhirnya akan menjadi tidak bermoral jika mereka percaya bahwa mereka tidak akan dihukum atas tindakan mereka. Dengan kata lain, ketidakmampuan untuk ditangkap atau dihukum akan mendorong seseorang untuk bertindak egois dan tidak bermoral.
Implikasi dari Pernyataan:Glaucon mengajukan pandangan yang cukup pesimis tentang sifat dasar manusia, yaitu bahwa moralitas seseorang sangat tergantung pada kemungkinan dihukum atau diawasi. Jika pengawasan atau hukuman tidak ada, maka dorongan untuk bertindak tidak bermoral akan muncul.
Pernyataan ini mengangkat pertanyaan mendalam tentang motivasi di balik tindakan moral. Apakah kita berbuat baik karena kita percaya pada nilai intrinsik dari kebaikan itu sendiri, ataukah kita berbuat baik karena takut akan konsekuensi dari berbuat buruk?
Kisah ini juga relevan dalam konteks modern di mana kekuatan dan anonimitas, misalnya di dunia maya, dapat mempengaruhi tindakan seseorang. Ketika orang merasa bahwa mereka tidak dapat ditangkap atau dihukum, kecenderungan untuk bertindak tidak bermoral bisa meningkat.
Diskusi ini menantang kita untuk mempertimbangkan nilai keadilan dalam diri kita sendiri. Socrates berargumen bahwa keadilan memiliki nilai intrinsik dan penting untuk kesejahteraan jiwa, meskipun tidak ada ancaman hukuman.

Fenomena Korupsi di IndonesiaFenomena korupsi di Indonesia dapat dianalogikan dengan kisah Cincin Gyges. Banyak pejabat dan individu yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi, terutama ketika mereka merasa aman dari pengawasan dan hukuman. Seperti Gyges yang menggunakan cincinnya untuk memperkaya diri sendiri dan merebut kekuasaan, para koruptor menggunakan posisi dan wewenang mereka untuk mendapatkan keuntungan finansial dan kekuasaan dengan cara yang tidak sah.
Sejalan dengan argumen Glaucon, motivasi di balik tindakan korupsi sering kali adalah keuntungan pribadi tanpa takut akan konsekuensi. Ketika ada kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar tanpa risiko tertangkap, dorongan untuk bertindak tidak bermoral menjadi sangat kuat. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa ketidakadilan dianggap lebih menguntungkan daripada keadilan.
Upaya untuk memberantas korupsi di Indonesia sering kali terhalang oleh sistem hukum yang lemah dan kurangnya pengawasan yang efektif. Meskipun ada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berusaha untuk menangani korupsi, tantangan yang dihadapi sangat besar. Pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga penegak hukum.
Untuk mengatasi korupsi, pendidikan moral dan etika harus menjadi bagian penting dari strategi pencegahan. Mengembangkan kesadaran tentang nilai-nilai keadilan dan pentingnya moralitas dapat membantu individu untuk menginternalisasi prinsip-prinsip etis yang kuat. Seperti yang dikemukakan oleh Socrates, hidup dengan keadilan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi jiwa, dan pendidikan moral dapat membantu mewujudkan kesadaran ini dalam masyarakat.

KesimpulanMetafora Cincin Gyges memberikan perspektif yang mendalam tentang sifat manusia dan motivasi di balik tindakan moral dan tidak bermoral. Diskusi tentang kisah ini relevan dalam memahami fenomena korupsi di Indonesia, di mana kekuasaan dan kesempatan tanpa pengawasan sering kali mendorong individu untuk bertindak tidak bermoral. Dengan memahami motivasi di balik tindakan korupsi dan pentingnya keadilan, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk memberantas korupsi dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermoral.

Pendidikan moral, pengawasan yang efektif, dan budaya organisasi yang kuat adalah elemen kunci dalam upaya ini. Dengan menginternalisasi nilai-nilai keadilan dan integritas, kita dapat membangun masyarakat yang menghargai moralitas dan menghindari tindakan tidak bermoral, bahkan ketika ada kesempatan untuk bertindak sebaliknya.

Referensi :
    [1] Plato. The Republic. Translated by Benjamin Jowett. Project Gutenberg.
    [2] Plato. The Republic. Translated by Benjamin Jowett. Project Gutenberg.
    [3] KPK, "Profil Korupsi di Indonesia," Available: KPK.go.id.
    [4] Socrates, Apology. Translated by B. Jowett. Available: Project Gutenberg.
    [5] Aristoteles, Nicomachean Ethics. Translated by W. D. Ross. Available: Internet Classics Archive.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun