Selama berkuliah di STMIK Bani Saleh Bekasi, ada seorang penjual mie ayam bakso favorit yang berjualan di depan masjid di perumahan Taman Kartini Bekasi. Setiap shalat Dzuhur, banyak mahasiswa/mahasiswi banyak yang berkumpul membeli mie ayam bakso tersebut. Meskipun penjual mie ayam bakso ini hanya berjualan dalam bentuk gerobak dorong, namun ia mampu menarik banyak pelanggan karena kualitas makanannya yang baik dan layanan yang memuaskan.Â
Salah satu kelebihan dari si abang penjual adalah kemampuannya mengingat preferensi masing-masing pembeli. Misalnya, ketika saya memesan, ia tidak pernah lupa menyingkirkan daun bawang dari mie ayam saya, karena saya pernah bilang padanya bahwa saya tidak suka daun bawang di mie ayam bakso.Â
Jika isteri saya Dear Rey yang memesan misalnya, ia tidak lupa menambahkan bawang goreng. Untuk yang lain kadang ia berikan sambal yang agak banyak, atau untuk pemesan yang lain ia memberikan sedikit saus saja. Ini menunjukkan bahwa ia memperhatikan keinginan pelanggannya dengan seksama dan mengingatnya sehingga pembeli puas.
Saya pikir dulu bahwa tindakan mengingat preferensi pelanggan tersebut terjadi secara alamiah karena sering melakukannya. Ternyata itu memang by design. Ia sengaja melakukannya karena ia sendiri merasa senang jika menerima pelayanan yang sama saat membeli barang, sehingga dia berusaha mengingat preferensi pelanggan meskipun jumlah pelanggan semakin banyak.
Dalam istilah manajemen, kebiasaan ini disebut sebagai Customer Oriented dan Customer Engagement. Ini artinya, dia fokus pada kebutuhan pelanggan dan terlibat dengan pelanggan demi meningkatkan kepuasan mereka.Â
Suatu hari, dia tidak lagi sendiri. Ada seseorang yang wajahnya mirip dengannya dan membantunya menjual makanan. Tugasnya antara lain membereskan mangkok, melayani pembeli, menerima pembayaran atau memberikan uang kembalian, dan lain-lain. Bisa dibilang sebagai assisten penjual mie ayam bakso.
Saya bertanya kepada si abang penjual mie ayam, "Siapa dia itu?"Â
"Oh, itu adik saya. Dia membantu saya," jawab si abang penjual mie ayam.
Setelah beberapa waktu, posisinya berubah. Kali ini si abang yang melayani pembeli, sementara adiknya yang membuat mie ayam bakso untuk pembeli. Itupun sambil diawasi oleh si abang, karena saya beberapa kali mendengar si abang mengingatkan, "Untuk yang ini jangan menggunakan daun bawang, sedangkan yang ini sausnya sedikit saja..."
Beberapa minggu kemudian, kehadiran si abang penjual semakin jarang. Dia kini hanya hadir 3 kali seminggu, kemudian menjadi sekali seminggu, dan setelah beberapa bulan, dia sama sekali tidak hadir lagi. Saat saya tanyakan pada adiknya yang kini menjual makanan, adiknya menjawab, "Sekarang abang menjual di perumahan lain. Dia meminta saya untuk menjual di sini, sedangkan abang membuka tempat jualan baru."
Wah keren. Ide ini bagus juga. Jika adiknya diberi modal kemudian menjual di tempat lain, mungkin akan gagal karena mentalnya berbeda. Si abang penjual mie ayam ini memiliki strategi bagus. Dia memilih untuk transfer kemampuan, kemudian dia sendiri yang pergi untuk membuka peluang usaha baru.Â
Adiknya tetap tinggal dengan mengelola pelanggan yang sudah ada. Persentase kesuksesan keduanya lebih besar karena adiknya tidak perlu berjuang mencari pelanggan baru sedangkan dia juga bisa sukses karena sudah memiliki pengalaman dan mental yang teruji.
Ini merupakan contoh nyata bahwa ukuran sukses tidak selalu ditentukan oleh fasilitas atau bentuk usaha, tetapi juga tergantung pada kemampuan menjual produk yang berkualitas dan memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.Tindakan yang dilakukan si abang penjual bakso tentu saja akan meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap usahanya dan menjadi salah satu faktor kesuksesan bisnisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H