Mohon tunggu...
PenaZevanya.
PenaZevanya. Mohon Tunggu... Penulis - Siswa/Penulis 'Karet, dan Getah'

Sejak usia tujuh tahun, saya gemar menulis. Saya mudah jatuh cinta dengan buku-buku jadul, meski halamannya lecek dan keriting bagai rambut yang habis dicatok. I'm extremely flexible, so artikel-artikel yang saya tulis di sini beragam, agar kalian tidak mempunyai ruang untuk kebosanan, hehe! sekaligus agar saya mendapatkan cuan-cuan wangyԅ(¯﹃¯ԅ).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Jendela.

5 Oktober 2024   17:54 Diperbarui: 6 Oktober 2024   16:59 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(DISARANKAN UNTUK MEMBACA SAMBIL MENDENGARKAN LAGU 'Slipping Through my Fingers'-ABBA)

Di pagi yang sunyi di Jakarta, seorang ibu berdiri di dekat jendela apartemennya, menatap kosong ke arah kota yang tak pernah tidur. Dulu, ia percaya bahwa gemerlap lampu dan hiruk-pikuk kota besar bisa menghapus luka-luka masa lalunya.
Namun, seiring berjalannya waktu, ia sadar bahwa mimpi yang ia kejar hanya semakin menjauhkan dirinya dari tanggung jawab yang paling penting dalam hidupnya—anak bungsunya yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Gadis yang pernah ia tinggalkan di usia tiga tahun, ketika hatinya belum cukup kuat untuk memahami arti perpisahan.

Anak itu tak pernah tahu mengapa ibunya pergi, hanya tersisa bayangan samar kehangatan yang tiba-tiba hilang. Ia tumbuh di rumah saudara almarhum ayahnya, di Tangerang—tempat yang dingin, asing, dan penuh dengan kekosongan. Setiap harinya, ia menunggu sentuhan kasih sayang yang tak pernah datang, bahkan dari orang-orang yang seharusnya menjaganya. Sampai pada suatu hari yang kelam, hidupnya berubah dengan cara yang paling menyakitkan. Sepupu laki-lakinya, orang yang seharusnya ia percayai, mencuri kepolosan yang belum ia pahami.

Dalam diam, ia menahan beban yang terlalu berat bagi tubuh kecilnya. Luka itu tak terlihat, namun ia menyusup ke dalam jiwanya, menanamkan benih trauma yang kelak akan tumbuh bersama dirinya. Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli. Dunia yang belum ia kenal dengan baik tiba-tiba menjadi tempat yang penuh ancaman. Namun, ia terlalu kecil untuk melawan, terlalu muda untuk berbicara.
Waktu berjalan, tapi luka itu tetap diam dalam sunyi, tersembunyi di balik senyumnya yang tak pernah benar-benar utuh. Hingga pada akhirnya, di usia enam tahun, ibunya membawanya kembali ke Jakarta. Namun, kepulangannya bukanlah pelukan yang ia harapkan. Di apartemen itu, ibunya tak lagi seperti yang ia ingat.

Di sekolah, gadis malang itu seringkali menangis, bukan karena ia lemah, juga bukan karena kenakalan teman-temannya. Melainkan, karena ia tidak pernah merasakan pelukan, perhatian, pujian-pujian manis atau bahkan senyum hangat dari orang terdekatnya. Setiap kali gurunya mengabaikan, hatinya yang rapuh merintih.

Di rumah, keadaannya tak jauh lebih baik. Tangisannya adalah jeritan batin yang tak pernah terdengar, baik oleh guru, teman, apalagi oleh ibunya. Dia bukanlah anak yang dicintai, melainkan seseorang yang harus memenuhi standar yang ibu dan ayah tirinya tetapkan.
Setiap nilai ujian yang tidak berhasil mencapai 100 dan hanya 85, sedikitpun 'kesalahan' dalam berkata-kata, bila ia tak tersenyum setelah 'hukuman' yang mengiris tubuhnya yang mungil, menjadi alasan untuk 'hukuman-hukuman' selanjutnya. Tangan kecilnya sering diikat di meja, mulutnya dibungkam.

Luka di tubuhnya mungkin sembuh, tapi luka di hatinya semakin dalam. Pertengkaran antara ibu dan ayah tirinya selalu memenuhi rumah. Meskipun masih kecil, gadis kecil itu selalu berusaha melerai, berharap bahwa satu hari mereka bisa berhenti berperang. Namun, yang ia temukan hanyalah kekerasan yang bahkan lebih parah.

Ketika usianya menginjak 13 tahun, dunianya runtuh. Pada suatu malam yang sunyi, ia mendengar berita dari kakaknya bahwa si ibu mengonsumsi narkoba. Tak lama setelah itu, ibunya ditangkap polisi dan menghabiskan tiga hari demi sidang.
Saat ibunya baru kembali dari persidangan dan membayar denda atas kasusnya, si ibu malah memicuh pertengkaran hanya karena masalah sepele, dan malah memukuli kakaknya di hadapan keluarga besarnya sendiri. Saat itulah, sesuatu dalam diri anak itu retak—tanggapan dingin dan kosong mulai menggantikan segala rasa takut dan kesedihan yang selama ini ia pendam.

Ia mulai merokok. Asap vape menjadi pelarian dari dunia yang tak pernah memberinya kedamaian. Di sekolah, masalah terus mengejar. Ibunya sering dipanggil karena kasus-kasus yang melibatkan dirinya, bukan hanya karena rokok, tapi juga karena perilakunya yang semakin memberontak.

Namun, di balik semua itu, ada rahasia yang lebih dalam yang tak pernah ia katakan kepada siapa pun—tubuhnya diam-diam menderita. Ia sering ke UKS karena penyakit yang mulai melemahkannya. Anemia dan aterosklerosis diam-diam menggerogoti kesehatannya, persis seperti trauma menggerogoti jiwanya.

Tak hanya tubuhnya yang hancur, tapi juga pikirannya. Si gadis malang menderita Borderline Personality Disorder (BPD)—keadaan mental yang terbentuk dari luka-luka emosional dan pengalaman pahit yang ia hadapi. Ketidakstabilan perasaannya menjadi nyata, lonjakan emosi yang ia tak bisa kendalikan seringkali menghantam dirinya sendiri. Kadang, ia merindukan kasih sayang ibunya dengan putus asa, dan di lain waktu, ia merasa benci dan ingin lari jauh dari semua orang.

Ibunya, yang sempat tenggelam dalam dunianya sendiri, perlahan mulai sadar bahwa anak yang dulu ia tinggalkan sudah berubah. Gadis itu tak lagi sama, terlalu jauh untuk dijangkau, terlalu tertutup. Ia mencoba untuk mendekat, meraih kembali apa yang hilang, namun sang anak sudah terlalu terbiasa hidup dalam kesendirian dan keretakan. Upaya ibunya terasa nihil.

Hari-hari berlalu, dan meskipun ibunya berusaha memperbaiki keadaan, luka-luka itu terlalu dalam. Setiap kali ia melihat anaknya, ia diingatkan akan tahun-tahun yang hilang, kesempatan yang terlewat, dan cinta yang seharusnya diberikan lebih awal. Ia telah kehilangan banyak momen berharga bersama gadisnya—momen-momen kecil yang dulu ia anggap sepele, kini terasa sangat mahal. Setiap tawa yang tak pernah ia dengar, setiap tangis yang tak pernah ia peluk, semuanya berlari menjauh, meninggalkan jejak luka di hatinya.

Di tengah semua kehancuran, ibu dan anak itu hidup dalam rumah yang sama, namun hati mereka terpisah jauh—terpisah oleh waktu, oleh luka yang terabaikan, oleh kesalahan yang tak mungkin diulang kembali.

Hfff.. Anak adalah amanah yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang penuh. Memutuskan untuk memiliki anak bukan hanya soal cinta, tapi juga tanggung jawab. Jadi, pesan ku, pastiin dulu kalau kalian sudah siap secara mental dan emosional sebelum melangkah ke fase itu, dengan mematangkan pikiran dan memprioritaskan diri sendiri, serta karier sampai kalian benar-benar siap untuk memberikan yang terbaik bagi anak. Ingat, pengalaman masa kecil yang buruk bisa membekas seumur hidup. Kesehatan fisik dan mental anak adalah tanggung jawab orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun