Mohon tunggu...
PenaZevanya.
PenaZevanya. Mohon Tunggu... Penulis - Siswa/Penulis 'Karet, dan Getah'

Sejak usia tujuh tahun, saya gemar menulis. Saya mudah jatuh cinta dengan buku-buku jadul, meski halamannya lecek dan keriting bagai rambut yang habis dicatok. I'm extremely flexible, so artikel-artikel yang saya tulis di sini beragam, agar kalian tidak mempunyai ruang untuk kebosanan, hehe! sekaligus agar saya mendapatkan cuan-cuan wangyԅ(¯﹃¯ԅ).

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gramat.

2 Oktober 2024   19:40 Diperbarui: 3 Oktober 2024   17:12 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Namanya Beckham W---.

Matanya bak arunika, seolah membawa secercah warna di dunia yang serba hitam putih. Selerang sawo matangnya manis, selaras dengan senyum lebarnya yang tak pernah gagal memikat. Tawa lepasnya menggemaskan. Ia tipe orang yang dengan mudah mengisi ruang di sekitarnya dengan keceriaan.

Pertama kali aku bertemu dengannya, Ia sudah banyak menarik perhatian kakak-kakak kelasku saat kompetisi basket. Tak bisa dipungkiri, talentanya memang tidak main-main. Ia terkenal di sekolah lama ku, dan bukan hanya karena penampilannya. Di luar itu, ia cukup usil, dan entah bagaimana, selalu ingin tahu tentangku. Padahal, aku biasanya tidak suka orang yang terlalu banyak bertanya—mengganggu privasi, kurasa. Tapi, Beckham berbeda.

Ada sesuatu dari pertanyaan-pertanyaan kecilnya yang terkadang terkesan basi, namun justru membuatku tersenyum. Dia sering mengirim pesan-pesan melalui Instagram, menanyakan hal-hal sepele, seperti apa hobiku dan buku terakhir yang kubaca. Pertanyaan sederhana, namun terasa berbeda darinya. Kami sering berbincang tentang banyak hal—tak ada topik yang terlalu biasa atau terlalu aneh. Seiring waktu, dia mulai mengenal lebih banyak hal tentangku, tapi akulah yang benar-benar menyimpan setiap detail tentang dirinya dengan baik di benakku. Kata-kata yang sering ia ucapkan, hal-hal konyol yang ia tertawakan, semua yang ia banggakan, semua yang ia ceritakan, semuanya terlalu baik. 

Sudah setahun berlalu sejak kali terakhir kami berbicara. Bola mata kami tak lagi saling menatap, tak ada percakapan hangat di sela-sela hari. Kami seperti dua orang yang saling kenal namun terasa asing, tak lagi dekat. Mungkin memang sudah bukan warsanya. Mungkin cerita kami memang sudah seharusnya berakhir. Tapi, kenapa? Mengapa semesta masih mempertemukannya denganku di saat-saat yang tak terduga? Mengapa aku seringkali memimpikannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun