Partisipasi Publik dalam APBN
Dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 pasal 96 telah diatur partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali Undang-undang APBN. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/dan atau tertulis melalui: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan seminar/lokakarya/diskusi. Dari ketentuan ini jelas, Pemerintah dan DPR harus memberi ruang publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun itu hanya teorinya, faktanya sangat sulit.
Dalam hitungannya, misal RUU APBN biasanya diajukan oleh Pemerintah pada tanggal 16 Agustus. Sesuai dengan ketentuan UU Keuangan Negara, APBN harus ditetapkan 2 bulan sebelum tahun anggaran dimulai (akhir bulan Oktober). Praktis Pemerintah hanya memiliki waktu 2 bulan 2 minggu dalam pembahasan APBN atau lebih dikenal pembahasan tingkat I yakni (17 Agustus sampai dengan 31 Oktober). Perlu diinformasikan, APBN itu dalam pembahasan tingkat I ada beberapa tahapan yakni Badan Anggaran dan Komisi-Komisi. Seringkali untuk memenuhi target tersebut Pemerintah dan DPR melakukan rapat sampai tengah malam. Dari sini sangat tidak dimungkinkan unsur partisipasi publik masuk dalam ranah perubahan RUU APBN tanpa melalui usulan DPR dan Pemerintah.
Sebagai perbandingan pada negara-negara Eropa, Amerika dan Australia sudah dikenal forum Parliamantary Budget Office yang telah dilaksanakan oleh 22 negara dalam penyusunan APBN. PBO merupakan kumpulan para pengamat independen dan juga akademisi yang diberikan amanat untuk mengkaji rancangan APBN yang diajukan Pemerintah. Rekomendasi itu menjadi salah satu acuan bagi DPR untuk membahas lebih lanjut RAPBN sebelum memutuskan untuk menolak atau menyetujui APBN. Keunggulan PBO adalah memberikan ruang publik kepada kelompok masyarakat berdasarkan pandangan-pandangan secara intelektual di bidangnya maupun sosial, serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa ada intervensi politik. Rekomendasi dengan rasa non partisan disertai dengan alasan akademis dapat menjadikan alternatif atas rencana kegiatan Pemerintah yang tidak mendapatkan persetujuan dari DPR pada saat pembahasan.
Pemenuhan aspirasi publik termasuk dalam pembahasan merupakan kewajiban Pemerintah dan DPR, karena hal ini merupakan suara rakyat dalam ranah demokrasi. Selain itu, tidak ada konstitusi yang menentang keterlibatan masyarakat dalam pembahasan APBN secara langsung.
Dalam jangka pendek, aspirasi publik dapat disisipkan dalam jadwal pembahasan RAPBN, selain dua layer yang menjadi pembahas utama yakni Badan Anggaran dan Komisi, terdapat pertimbangan DPD. Pertimbangan DPD merupakan sebuah forum yang digunakan DPR untuk mendapatkan pertimbangan formal terkait DPR sebagaimana amanat UU MD3. Dalam praktiknya, forum ini lebih bersifat formalitas dan berlangsung cepat (1 hari).
Merujuk mekanisme dalam jadwal pembahasan di atas, secara jangka pendek, forum aspirasi publik dapat dimunculkan dalam forum yang hampir sama dengan DPD. Tentu saja forum seperti ini dapat dilaksanakan apabila sang penguasa senayan berkehendak. Forum ini dapat dimunculkan dalam agenda resmi di rapat paripurna DPR RI sebelum pembahasan APBN dimulai. Forum ini lebih pas dijadwalkan beriringan dengan rapat pertimbangan DPD.
Pertimbangan DPD dan aspirasi publik lebih pas dilaksanakan sebelum masuk pada rapat komisi-komisi dengan kementerian teknis. Hal ini memberikan DPR dapat menyerap alternatif terbaik dan memberikan challenge atas program-program prioritas yang diajukan Pemerintah. Tentu saja, Kementerian Teknis akan dituntut menyiapkan program-program dengan dasar yang kuat agar dapat bisa mengalahkan argumen DPR dengan acuan pertimbangan dari forum DPD dan forum aspirasi publik.
Dalam forum aspirasi publik dapat diwakilkan kepada kelompok masyarakat (universitas, pengamat ekonomi, pengusaha, dan kelompok tani dan nelayan, serta serikat buruh). Pemilihan kelompok ini dapat diusulkan oleh kelompok masyarakat mayoritas seperti organisasi keagamaan ataupun perguruan tinggi yang terpopuler. Tentu saja harus ada pembatasan jumlah anggota forum resmi.
Dalam jangka panjang, Pemerintah dan DPR dapat menetapkan forum aspirasi publik secara resmi dalam UU MD3 dan UU Keuangan Negara. Kejelasan hukum ini penting agar pertimbangan yang diberikan bersifat legal dan tidak sekedar wacana biasa. Selain itu, Pemerintah dapat membuktikan bahwa RAPBN bersifat logis dan pro rakyat.
Tentu saja harapannya adalah DPR dan Pemerintah dapat memberikan lebih banyak ruang publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak saja sebagai pengakuan bahwa kesamaan hak berbangsa dan bernegara, tapi mengubah cara pandang bahwa masyarakat sebagai subyek dalam usaha kemakmuran rakyat, bukan lagi objek semata.