Mohon tunggu...
Tyas Ary Lestyaningrum
Tyas Ary Lestyaningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dua anak, tinggal di Kab. Bekasi

Ibu rumah tangga yang suka nonton film, berkebun, dan menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Secuil Kisah, Sederet Tanya, Sebait Doa

29 September 2021   14:31 Diperbarui: 29 September 2021   14:36 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu saat masih kecil, saya seringkali bertanya-tanya, kalau tidak kepada Ibu atau bapak saya. Sesuatu yang janggal yang akan kutanyakan lagi dan lagi, sampai mereka terdiam bingung menjelaskan apalagi.

"Bu, itu kok Om Marko ga kerja lagi?"

"Iya dik, sudah keluar dari kantor, sekarang Om Marko jualan bubur".

"Lho kok bisa Bu? Sayang banget ya? Kayanya belum lama ya?"

Otak ini janggal memikirkan kenapa Om Marko (bukan nama sebenarnya) memilih berjualan bubur dibanding kerja di sebuah perusahaan telekomunikasi andalan negara satu-satunya kala itu.

Belakangan saya baru tahu, bahwa Om Marko keluar bukan atas kemauannya sendiri. Ibu bilang perusahaan memberhentikan si Om karena ibunya dulunya anggota Gerwani. Entah makanan apa Gerwani itu, saya yang masih bocah berseragam putih merah hanya bisa ndomblong waktu itu. Beberapa waktu berselang dan saya baru tahu ternyata gerwani adalah salah satu organisasi di bawah PKI.

Saya lebih kepada kasihan daripada benci. Om Marko dan keluarganya adalah memang cukup dekat dengan kami. Ibunya tak pernah absen kalau disambati tetangga yang punya gawe, entah mantu entah sunatan entah mau pengajian 40 hari atau acara apa saja. Pokoknya selalu ada, dan semua ibu-ibu kampung manut di bawah komandonya. Jago masak dan layak disandingkan chef bintang lima, setidaknya di kampung kami.

Bapak pernah bercerita, dulu sekali banyak orang-orang bukan hanya di kota kami, di sebagian besar pulau Jawa diadakan pencarian mereka yang dianggap bagian dari PKI. Tak jarang tetangga seberang desa tahu-tahu hilang tidak kembali. Orang-orang berbagai kalangan, mulai dari yang bertampang lugu sampai yang terpelajar. Mulai dari pejabat  sampai petani. Atas nama 'kejahatan' yang sama, terkait atau dianggap terkait atau entah ada hubungan apa dengan organisasi ini.

Kalau kekejaman penjajah  Belanda dan Jepang saya bisa memahami, tetapi cerita PKI ini saya bingung tak tahu pasti. Saya ingat belum lagi kelas dua SD kami sudah diwajibkan nonton bersama di bioskop film operasi Trisula dibintangi Rahmat Kartolo; penyanyi favorit bapak saya. Dan setiap tahun harus mengulang tontonan yang sama di tivi, setiap malam 30 September.

Belum lagi pelajaran PMP dan PSPB yang sama-sama membahas materi ini. Diulang lagi dan lagi. Kenyang sudah kami dicekoki. Kata Bapak, "Itu supaya negara tidak mengalami kejadian yang sama, Ndhuk", supaya tidak terulang kekacauan yang pernah terjadi.

Separah itu dan membuat saya justru tidak berhenti bertanya dan mencari. Kalau hanya mendengar dari bapak ibu guru di sekolah sepertinya kurang mewakili. Ada sesuatu yang rasanya patut digali.

***

Waktu beranjak terus dan nyarus terlupakan pertanyaan-pertanyaan yang semenjak dulu tersirat. Namun ibarat tumbu ketemu tutup, sedikit demi sedikit banyak bahan baru bermunculan. Salah satunya adalah buku "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Sepertinya Tuhan berkehendak untuk saya lebih banyak tahu. Butuh bertahun lamanya setelah peristiwa yang banyak mengundang tanya hingga akhirnya saya membaca buku ini. Saya 'dipaksa' mengenal Pram bukan dari prosa atau novelnya. Bukan dari buku legendaris Bumi Manusia atau Rumah Kacanya, justru Nyanyi Sunyi inilah awal jumpa saya. Buku yang begitu gelap menggambarkan nestapanya. Didukung kuat dengan data yang bukan rekaan. Data-data yang suram dan dalam, sedalam luka yang ditinggalkan.

Pengalaman Pram bersama rekan-rekannya sebagai tahanan politik ini hanya menambah panjang daftar hitam pemerintah yang pernah berkuasa. Dan tentu saja sebagai buntut peristiwa berdarah itu, G 30 S PKI. Pulau Buru adalah saksi, yang andai diperbolehkan ia akan berbicara bahkan berteriak lantang tentang betapa di republik ini manusia diperlakukan begitu keji.

Dan seolah tak cukup, saya bahkan tak begitu ingat apa yang membuat saya bertemu dua film ini. Adalah "Jagal" dan "Senyap", dua buah film dokumenter besutan Joshua Oppenheimer, dengan tokoh asli, dengan rekaman yang juga asli, dialog yang asli tanpa banyak basa-basi. Lagi-lagi tentang kenyataan keji sekaligus memilukan hati. Hampir susah dibayangkan kenyataan seperti ini pernah terjadi.

Saya bukan membela siapapun, tetapi jika anda sempat membaca atau menyaksikan beberapa sumber yang saya sebutkan pasti akan muncul pertanyaan di benak anda. Kejahatan seperti apa yang layak mendapat balasan semacam ini. Pemandangan yang meluluhlantakkan semua keyakinan yang pernah anda dapatkan di bangku sekolah, yang anda baca dari buku sejarah, yang terlanjur anda yakini seketika bisa goyah.

***

Saya sadar kebenaran sejati tidak sedemikian mudah diungkap. Bisa jadi kedua belah pihak tidak sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Terlalu lama waktu menanamkan dogma di masyarakat umum tentu butuh waktu lama dan kelapangan dada membuka semuanya. Dengan konsekuensi yang cukup berat, bisa jadi yang semula dianggap pahlawan justru sebenarnya adalah pesakitan.

Tak ubahnya ulang tahun dan Idul Fitri, setiap moment seperti ini saya akan kembali dengan sederet memori. Sejujurnya ingin rasanya menghindari memori ini, namun isu yang sudah berpuluh tahun ini entah mengapa selalu berhasil mengusik hati meskipun sedikit, sedangkan waktu sudah berjalan sejauh ini.

Bagi sebagian orang ini bukan sekedar memori tapi terlanjur menjadi luka mendalam. Dan mereka meyakini ketidakadilan akan menemukan jalannya untuk dibukakan. Meskipun pada akhirnya hanya bisa berharap pada kuasa Tuhan.

Cukuplah doa kita panjatkan, semoga Tuhan Yang Maha Esa menjaga negeri ini, dan memaafkan kita semua atas diam atau bicara kita. Terlebih atas kelakuan yang terlanjur semena-mena. Semoga Tuhan Yang Maha Welas Asih mengabulkan, agar bangsa ini diselamatkan bukan hanya dari kebodohan namun juga dari meniru-niru kelakuan biadab setan. Dan semoga negara ini bisa senantiasa berjalan dalam kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun