Mohon tunggu...
Zerlinda Putri
Zerlinda Putri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Si Penulis Amatir

Halo?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalana Si Gadis Gimbal

24 September 2024   04:05 Diperbarui: 24 September 2024   04:06 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Sindoro, hiduplah seorang gadis bernama Kalana Maheswari. Di desanya, ia dikenal karena rambutnya yang gimbal---sehelai rambut yang tergulung alami dan terurai tidak beraturan. Masyarakat desa percaya bahwa rambut gimbal Kalana adalah simbol dari kekuatan spiritual dan potensi yang luar biasa, namun beberapa juga mengisyaratkan perlunya perlindungan dari energi negatif melalui upacara adat yang sakral, yaitu Ruwatan.

Sejak kecil, Kalana dikenal sebagai anak yang aktif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Kini, ia akan memasuki usia lima belas tahun. Kalana akan menjalani upacara adat Ruwatan, ritual ini penting untuk membersihkan diri dari segala pengaruh negatif dan memulihkan keseimbangan spiritual. Hari itu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu, sekaligus ditakuti oleh Kalana.

Pada malam sebelum upacara, ibu Kalana mendatangi kamar untuk mengecek keadaan anaknya. Suara ketukan pintu menembus pendengaran Kalana, sontak ia segera membuka pintu ketika mendengar suara ibunya yang memanggilnya dari luar.

Tok.. Tok.. Tok..

"Kala.. kamu sudah tidur, nak?"

"Belum, bu. Tunggu sebentar!" Kalana bergegas membuka pintu.

Kalana mempersilakan ibunya untuk masuk. Setelah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang, ibu menepuk kasur meminta Kalana untuk duduk di sampingnya.

"Nak.. bagaimana? Kamu sudah siap?" Tanya ibu, sembari mengusap kepala Kalana.

Dengan perasaan gusar Kalana menjawab, "Entahlah.. Kala tidak yakin, bu."

Ibu tersenyum begitu mengetahui perasaan anaknya, sebisa mungkin ia mencoba untuk menenangkan Kalana.

"Kala.. besok adalah hari yang sangat penting untuk kamu. Ibu tahu, kamu pasti merasa cemas. Tapi, ibu percaya Kala bisa melewatinya."

Kalana tersenyum, kata-kata ibunya membuatnya merasa lega dan tenang.

"Terima kasih, bu.. Kala tidak akan mengecewakan ibu."

Matahari pagi bersinar lebih terang dari biasanya, dan desa dipenuhi dengan suasana yang penuh warna dan keceriaan. Semua penduduk desa mengenakan pakaian adat yang indah, dengan aksesori tradisional dan kain batik yang berkilauan. Aroma bunga dan dupa memenuhi udara, menandakan bahwa upacara adat akan segera dimulai. Alun-alun desa dihias dengan sesaji---nasi tumpeng, buah-buahan, bunga, dan berbagai hasil bumi yang telah ditata dengan elok dan rapi.

Kalana mengenakan kebaya putih bersulam emas dan kain batik yang menutup kakinya, berdiri di tengah alun-alun dengan keluarganya di sampingnya. Para tetua desa, yang mengenakan busana adat lengkap dengan ikat kepala dan selempang, berdiri di sekeliling area upacara adat.

Upacara dimulai dengan serangkaian doa yang dipimpin oleh para dukun adat. Mereka berdiri di depan sesaji, memegang dupa yang mengepul, dan membacakan mantra-mantra suci untuk memanggil roh leluhur. Kalana dan keluarganya menyaksikan dengan khidmat, sementara para dukun adat mempersiapkan air suci di dalam kendi untuk proses pembersihan.

Dukun adat itu mendekati Kalana, dengan lembut menuangkan air suci ke rambut gimbalnya disertai dengan doa-doa agar segala energi negatif dan penyakit dihapuskan. Tiap tetes air yang jatuh di rambut gimbal Kalana diharapkan dapat membawa berkah dan perlindungan. Dingin dari air suci yang dirasakan olehnya menjadi simbol kebersihan jiwa dan raga.

Selanjutnya, ritual pembersihan dilakukan dengan api. Bara api telah disiapkan dengan hati-hati di atas tanah. Kalana harus melangkah di atas bara api tersebut, yang sudah dipastikan aman dan dikontrol oleh para ahli. Masyarakat desa melihat dengan penuh perhatian, proses ini dipercaya dapat membakar segala energi negatif yang mungkin melekat pada diri Kalana. Ia berhasil melewati api dengan berani.

Setelah ritual api, para dukun adat memanjatkan doa penutup. Sementara, sesaji dibagikan kepada seluruh masyarakat desa sebagai simbol rasa syukur dan berbagi berkah dengan sesama. Kalana bahagia, ia merasa bahwa upacara adat Ruwatan telah membawa perubahan yang positif dalam hidupnya.

Dengan berakhirnya upacara, Kalana merasa lebih terhubung dengan tradisi dan leluhurnya. Ia menyadari bahwa meskipun rambut gimbal yang dimilikinya adalah tanda dari kekuatan spiritual, upacara adat Ruwatan adalah cara untuk menjaga keseimbangan dan melindungi dirinya dari energi negatif. Hal ini tidak hanya memberikan Kalana kedamaian, tetapi juga mempererat ikatan antara dirinya, keluarga, dan seluruh komunitas di desa tempat tinggalnya.

Kalana kini dianggap sebagai simbol kekuatan dan keberanian, serta membawa harapan baru bagi masa depan desa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun