Mohon tunggu...
Zerlina Raissa Chendra
Zerlina Raissa Chendra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Bioteknologi

Universitas Katolik Indonesia Unika Atma Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Wanita Lebih Rentan Mengidap Kanker Tiroid Dibanding Pria, Hoaks atau Fakta?

15 Januari 2022   03:44 Diperbarui: 15 Januari 2022   04:07 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kanker merupakan penyakit yang paling ditakuti dan dihindari semua orang karena efek samping negatif yang ditimbulkan dan biaya pengobatannya yang mahal. Banyak kasus kanker yang tidak mengenal umur dan jenis kelamin, tingkat keganasan dan seberapa cepat proses penyebarannya pun juga tidak menentu. Dari sisi medis, kanker ternyata sebenarnya bergantung pada aktivitas hormon pada tubuh. Jika umumnya kita mengetahui bahwa faktor kanker adalah genetik dan onkogen, radiasi, dan kelainan pada organ tertentu. Kali ini, kita akan mencari tahu lebih dalam mengenai kanker tiroid dan hubungannya dengan jenis kelamin yang bersangkutan dengan hormon yang spesifik.

Tiroid merupakan kelenjar yang memiliki peranan penting bagi tubuh karena berfungsi mensekresikan hormon tiroksin (T4), triioditironin (T3). Kelenjar paratiroid menghasilkan hormon kalsitonin. Ketiga hormon ini memiliki peran yang besar dalam menjaga keseimbangan metabolisme dan kesehatan karena mengatur kerja organ-organ lain di dalam tubuh.

Mengenal kanker tiroid lebih dalam

Kanker tiroid merupakan penyakit yang cukup sering ditemukan di Indonesia. Kanker yang disebut karsinoma tiroid ini menyerang sistem endokrin khususnya pada kelenjar yang terletak pada bagian depan leher, tepatnya dibawah laring.  Pertumbuhan yang ganas dari kelenjar Penyakit ini terbagi menjadi beberapa jenis menurut analisis histopatologinya yaitu tiroid papiler, folikuler, meduler, dan anaplastik. Kanker ini umumnya berupa nodul/benih tumor tunggal, bersifat keras, dan permukaannya tidak rata. Selain itu, fungsi dari jaringan tiroid itu sendiri akan menurun karena terganggu dengan adanya sel kanker (Parura et al. 2016).

Terdapat dua tipe kanker tiroid yaitu ganas dan jinak atau non-kanker. Nodul yang ganas memiliki kecenderungan untuk menyebar ke seluruh jaringan tubuh secara acak dan tidak menentu atau disebut sebagai penyebaran sporadik. Menurut Parura et al. 2016, umumnya kanker tiroid ditemukan pada pasien pada kisaran usia 40-65 tahun. Tetapi tentunya tidak menjamin para remaja dan manula dengan usia >65 tahun terhindar dari penyakit ini.

Kalsitonin

Kalsitonin atau CT merupakan monomer peptida asam amino ke-32 yang disekresikan dari sel parafolikuler atau sel C kelenjar tiroid. Hormon ini berfungsi untuk menurunkan konsentrasi kalsium pada darah. Kadar serum ini dijadikan sebagai penanda bagi seseorang yang mengidap kanker tiroid khususnya karsinoma tiroid papiler dan meduler. Untuk kasus tiroid meduler, hal ini disebabkan oleh sel kanker yang dapat mensintesis, menyimpan, serta mensekresikan serum kalsitonin ke dalam aliran darah (Machens et al. 2009). Selain digunakan untuk diagnosis praoperasi, hormon ini menjadi penting untuk menentukan manajemen pascaoperasi kanker tiroid. Kadarnya dapat diuji menggunakan radioimmunoassay (RIA) dan electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA).

RIA dan ECLIA, mana yang lebih baik?

Kedua metode ini digunakan untuk mendeteksi kadar kalsitonin dalam darah tetapi dengan teknik yang sedikit berbeda. Radioimmunoassay menggunakan antibodi poliklonal dalam pengenalan kalsitonin, sedangkan electrochemiluminescence immunoassay menggunakan antibodi monoklonal dalam teknik sandwich immunoassay. Maka, adanya perbedaan hasil tes kedua metode tersebut bisa ditemukan. Hal ini disebabkan oleh keakuratan yang berbeda dari kedua teknik. ECLIA dispekulasi lebih akurat daripada RIA, yang kemudian spekulasi ini didukung oleh sebuah penelitian yang mengatakan bahwa antibodi monoklonal anti-CT yang digunakan menyediakan pengenalan yang spesifisitas lebih tinggi untuk kalsitonin dalam bentuk dewasa. Pada metode RIA, spesifisitas seperti ini tidak ditemukan, sehingga kesalahan seperti mendeteksi hormon atau molekul lain yang serupa dengan kalsitonin bisa saja terjadi.

Dalam pelaksanaannya, metode RIA memakai radiasi yang tentunya memerlukan fasilitas yang lebih banyak, sedangkan metode ECLIA hanya memerlukan sampel yang nantinya akan diuji pada laboratorium sehingga tidak ada resiko yang ditimbulkan untuk kesehatan jangka panjang karena radioaktif. Dengan adanya temuan teknologi tinggi yang digunakan dalam ECLIA, sampel yang dibutuhkan hanya sedikit dan ujinya tidak memerlukan waktu yang lama. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, metode ini memiliki sensitivitas yang tinggi juga sehingga konsentrasi yang minim dalam sampel juga bisa terdeteksi. Tentunya metode ECLIA membutuhkan biaya yang lebih banyak dibandingkan RIA oleh karena teknis pengerjaan dan reagen yang digunakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun