Mohon tunggu...
Zeritho Ridho
Zeritho Ridho Mohon Tunggu... -

Gak mau terkenal, cukup dikenal banyak orang. Sampoerna Academy Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arti Sebuah Kepercayaan

20 November 2014   02:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:22 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat itu aku sedang duduk di bangku kelas 2 SMP. Banyak orang bilang pada masa itu merupakan masa – masa di mana seorang remaja mencoba mencari arti jati diri bagi dirinya sendiri, tak terkecuali diriku sendiri. Maklum saat aku di kelas 1, aku terkesan cupu dan culun di mata orang lain. Maka dari itu aku sendiri ingin menunjukkan siapa diriku sebenarnya di hadapan orang lain.

Kejadian itu terjadi saat hari di mana sekolah masuk seperti biasanya. Entah hari apa itu aku sudah sedikit lupa dengan kejadian ini. Namun saat itu aku sedang libur dikarenakan kelas 3 sedang ada Try Out untuk Ujian Nasional mendatang. Di pagi harinya aku memiliki agenda bersama teman – temanku untuk menghadiri technical meeting lomba futsal mewakili sekolah kami. Sebelum berangkat, aku meminta izin terlebih dahulu kepada ibuku, mengingat beliau tergolong sebagai orang tua yang galak dan cukup pelit memberi izin untuk keluar saat liburan. Namun kali ini ibuku memberi izin dengan gampangnya, meskipun memberikan persyaratan agar aku pulang lebih cepat seusai technical meeting usai. Mengingat aku memiliki jadwal kursus di sore harinya. Aku menyanggupi persyaratan tersebut.

Aku mengayuh sepeda menuju ke sekolahku hanya untuk sekedar parkir sepeda saja. Lalu berangkat menuju ke tempat technical meeting berboncengan motor dengan temanku. Sebetulnya saat itu tecnical meeting selesai sebelum jam 12, namun aku dan 6 temanku yaitu Bagus, Aji, Hagi, Eka, Fariz, Agung mempunyai rencana lain untuk mengisi waktu liburan kami. Pergi ke rumah nenek Agung, tepatnya Blitar dengan mengendarai motor. Aku awalnya ragu, karena hanya aku diantara kami bertujuh yang tidak memiliki motor. Namun salah satu dari mereka sepakat untuk memboncengku dan mengantar ku ke sekolah kembali. Rasa raguku hilang seketika saat itu, aku juga terbesit pikiran “Apakah ada hal lain yang bisa kulakukan di rumah saat liburan seperti ini? Toh, ini mungkin hanya sekali dalam seumur hidup.” Tepat setelah shalat dzuhur kami berangkat meninggalkan sekolah.

Perjalanan Kediri – Blitar memakan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan. Kami juga menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak di warung es buah, mengingat cuaca saat itu panas sekali. Setelah sampai di rumah nenek Agung, kami terbengong karena kami tidak mempunyai rencana apapun. Ide gila Agung keluar saat itu juga. Dia mengusulkan untuk menangkap ikan lele di kolam belakang rumahnya untuk dimasak oleh neneknya. Lalu kita boleh menyantapnya setelah itu. Kalau saat ini mengingat kejadian itu terdengar gila juga. Jauh – jauh dari Kediri ke Blitar hanya untuk sekedar menyantap ikan lele goreng. Akhirnya kami langsung terjun ke kolam ikan lele. Satu demi satu ikan lele pun tertangkap. Sialnya, saat kami sedang mencari ikan lele lebih banyak, hujan turun lebat secara tiba – tiba. Kami pun menyerahkan hasil tangkapan kami ke nenek Agung untuk dimasak dengan keadaan basah kuyup. Karena sudah terlanjur basah, kami memutuskan untuk berlari di tengah hujan mengitari kampung sambil menunggu olahan menu ikan lele matang.

Kurang lebih 30 menit kami berlari mengitari kampung, sesudah itu kami membilas diri kami sebelum menyantap masakan nenek Agung. Setelah selesai dengan administrasi pribadi, kami akhirnya bisa menyantap nasi putih, sayur lodeh, ikan lele goreng lengkap dengan sambal cabai dan lalapannya, serta teh hangat menghangatkan ruangan di mana kami makan. Kami juga bercengkrama satu sama lain. Terasa sederhana namun sangatlah bermakna saat itu. Tiba – tiba ringtone dari handphone berdering. Ketika kulihat siapa ternyata ibuku yang menelepon. Bala datang menghampiri seketika. Saat itu pukul 4 sore, dan aku belum beranjak pergi dari rumah Agung. Benar saja ketika kuangkat dengan ketakutan, ibuku langsung berteriak kencang di telingaku, “Dari mana saja kau ini? Apa kau berniat bolos dari les matematika? Sekalian saja tidak usah pulang ke rumah !” Aku tidak bergeming sama sekali saat itu, lidahku kelu tidak bisa mengucap satu kata pun untuk dijadikan alasan. Secara tak sengaja, salah satu dari temanku mendengar percakapanku dengan ibuku, dia menanyakan ku apakah aku baik – baik saja. Dia juga langsung menawarkan diri untuk mengantar ku ke sekolah. Setelah menghabiskan semua makanan, kami langsung berkemas dan pamit kepada Agung dan neneknya. Setelah itu kami langsung bergegas kembali ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, aku mengucapkan terimakasih kepada teman – temanku karena telah mengantarku ke sekolah untuk mengambil sepeda yang telah kutinggal sebelum berangkat ke Blitar. Selepas itu, aku langsung mengayuh sepeda ku sekencang mungkin kembali ke rumah hanya untuk mengambil tas dan buku. Aku masih sempat hadir dalam les hari itu meskipun durasi sekitar 30 menit tersisa. Setelah pulang les, aku kembali lagi ke rumah. Dengan wajah pucat pasi, aku memarkir sepeda ku membayangkan aku akan dimarahi habis – habisan oleh kedua orang tua ku. Namun apa yang aku telah ekspektasikan justru berbeda dengan apa yang terjadi. Ibuku justru menangis, beliau terlihat kecewa atas apa yang telah ia percayakan kepadaku. Aku tahu saat itu aku sangatlah bersalah, namun aku coba bertanya kepada beliau apa yang telah terjadi. Beliau sambil menangis tersedu – sedu menjawab, “Aku menangis dan marah hanya karena aku khawatir kepadamu, Nak !”

Aku hanya terdiam, termenung, lidahku tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Apabila diingat lagi pada saat itu rasanya “JLEB!”. Selama ini aku hanya memikirkan kesenangan pribadi, persahabatan, dan hal – hal yang kurang penting lainnya tanpa pernah terpikirkan olehku apa yang dipikirkan orang tuaku sebenarnya. Saat itu aku benar – benar merasa dusta dan biadab karena telah menyia – nyiakan apa yang dipercayakan oleh kedua orang tuaku. Keesokan harinya, selama 3 hari berturut – turut aku dan ibuku tidak pernah berbicara. Jangankan berbicara, menegur sapa dan berbalas senyum pun tidak. Ibuku saat itu masih merasakan kekecewaan yang berat, bahkan sulit dilupakan hingga sekarang. Sebalikanya, aku justru merasa bodoh dan sangat bersalah hingga sekarang. Namun tidak ada hujan tidak ada badai, akhirnya kami kembali akur kembali seperti biasa. Sampai saat ini aku masih heran kenapa kami bisa akur secara tiba – tiba.

Setelah kejadian tersebut, aku mengerti bagaimana cara menghargai dan menjaga kepercayaan dari seseorang apalagi dari orang tuaku sendiri. Aku sudah bertekad bahwa aku akan membayar kepercayaan dari seseorang dengan menjaga amanat yang diberikan. Menurut sebagian besar remaja solidaritas persahabatan merupakan prioritas utama. Namun saat itu aku baru saja belajar bahwa apa yang berbakti kepada orang tua merupakan yang utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun