Majelis Ulama Indonesia telah merampungkan kepemimpinan baru untuk periode 2020-2025 dalam Munas X yang berlangsung 25 hingga 27 November 2020 lalu. Nama-nama baru telah naik ke beberapa posisi penting di MUI. Secara sepintas, banyak yang mungkin tidak terlalu peduli mengenai siapa sajakah sosok yang menduduki kursi kepemimpinan MUI, tetapi sebagian lagi merasa perlu untuk melihat ke mana arah angin akan membawa lembaga ini di tangan struktur yang baru. Pada akhirnya, terpilihlah ulama kharismatik Kyai Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI menggantikan Kyai Ma'ruf Amin yang kini menjabat sebagai dewan pertimbangan MUI.
     Â
Meluruskan Arah Bangsa dengan Wasathiyatul IslamÂ
Miftachul Akhyar mengabdikan diri sebagai seorang nahdliyin sejak usia muda. Penampilannya sederhana dan bersahaja. Di masa mudanya, ia pernah berjualan batik sebelum akhirnya aktif sebagai pengurus PBNU. Ia selalu ingin mengubah citra islam sebagai agama yang ramah, sehingga menjadi cikal bakal didirikannya pesantren Miftachul Sunnah di kawasan kampung Kedung Tarukan. Kawasan ini dikenal tidak terlalu dekat dengan kalangan ulama, maka dari itu Kyai 67 tahun tersebut membangun sebuah pesantren untuk memperkenalkan islam yang toleran.
Selama berkegiatan di PBNU, Miftachul sempat menjadi saksi ahli dalam kasus penistaan agama yang melibatkan Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.Â
Kala itu Miftachul berpendapat Basuki ceroboh mengutip ayat Al-Quran. Seandainya Basuki tidak seceroboh itu, tidak akan ada perpecahan yang sekarang menjadi momok bagi umat islam.
Karena kecintaannya terhadap konsep persatuan, Miftachul juga pernah mendesak pemerintah membuka peta persebaran COVID 19 hingga tingkat daerah paling rendah. Ia juga tak bosan-bosannya mengajak warga NU untuk berjalan maju, evaluasi, berinovasi, dan beradaptasi mengikuti perkembangan zaman.
Setali tiga uang dengan tema besar Munas X MUI November lalu, "meluruskan arah bangsa dengan Wasathiyatul Islam". dalam pidatonya Miftachul menekankan persatuan sebagai satu hal penting yang harus dijaga umat di seluruh Indonesia. Persatuan di sini adalah dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Secara tidak langsung, para ulama membenarkan bahwa arah bangsa kini sedang berbelok mata angin dan penuh dengan risiko timbulnya perpecahan. Bahkan, perpecahan terkadang datang dari kalangan ulama itu sendiri. Tujuan MUI, apalagi kalau bukan kembali menyatukan suara ulama membimbing umat kepada islam wasathiyah yang tetap mencintai NKRI.
Sejak awal Munas digelar, gembar-gembor akan diduetkannya pemimpin dari kalangan NU dan Muhammadiyah memang sudah bergema. Beberapa artikel bahkan sempat memprediksi Ketua Umum baru akan diambil dari kalangan ulama Muhammadiyah. Hingga akhirnya, di kursi Sekretaris Jenderal MUI, nama Amirsyah Tambunan muncul dan mulai menarik perhatian khalayak.
Amirsyah adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang juga merupakan seorang dosen. Terlepas dari status ulama, ia adalah seorang intelektual yang berfokus pada pemikiran islam moderat. Diharapkan duet NU dan Muhammadiyah di puncak struktural MUI dapat melanggengkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Mengembalikan Jati Diri Ulama yang Sesungguhnya
Sebagai wadah menyatukan suara ulama, MUI juga mengemban tugas yang cukup berat di masa sekarang. Lembaga yang dibentuk tahun 1975 ini berkewajiban untuk mengembalikan jati diri ulama yang sesungguhnya, di tengah kondisi politik negara yang tak menentu dan sarat akan perpecahan. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sedang menurun drastis, lantas di manakah harusnya posisi ulama saat ini?
Dalam penggalan pidatonya di depan para alim, Miftachul mengingatkan kembali apa-apa saja tugas utama seorang ulama, tiga di antaranya merupakan untaian kalimat yang menarik: mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, dan membela bukan mencela.
Meneladani perkataan Imam Syafi'i, ulama sejatinya adalah mereka yang mampu menjelaskan sesuatu secara damai dan menyejukan, bukan asal memvonis atau menuduh tanpa tabayyun. Ulama memikul tugas yang berat. Di masa kini, umat membutuhkan tujuan yang jelas, tidak terombang-ambing oleh ketidakpastian informasi.
Sejak dulu hingga sekarang, umat selalu bercermin kepada perilaku para ulama. Apa yang mereka perbuat, apa yang mereka katakan, apa yang mereka analisis, terkadang terlampau diyakini sebagai sebuah hal yang benar oleh umat.
Karena itu tugas berat yang sekarang menanti MUI adalah mengembalikan ulama kepada koridor yang benar, menyatukan suara yang terpecah, sehingga tidak ada lagi sayap pemisah antar para pemuka agama. Ulama juga diharapkan mampu memberikan teladan yang santun dan rendah hati, sebab tidak ada satupun manusia di dunia ini yang sempurna derajat keislamanannya di mata Allah SWT.
Mengembalikan MUI sebagai Lembaga Konservatif-Moderat
Mengutip dari utas milik Ulil Absar Abdalla, perlahan tetapi pasti, MUI telah kembali kepada wajah konservatif moderat yang pernah hilang sekian lama. Dengan semangat yang sama seperti pidato pertama Miftachul sebagai seorang ketua umum, ulama harus kembali kepada tugas mereka menebar kesejukan, bukan menciptakan keresahan. MUI pun harus kembali mengikuti arus perkembangan islam moderat yang terbuka untuk berbagai kalangan, baik NU maupun Muhammadiyah.
Tentunya langkah MUI tidak akan mulus tanpa bantuan dan dukungan umat. Bersama, bahu-membahu, tetap pada rel yang telah dipasang agar kereta tetap melaju dan sampai di tujuan yang telah ditentukan. (z)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H