Mohon tunggu...
Zenwen Pador
Zenwen Pador Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis

Menulis buat Sesama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menimbang Asas Manfaat Rekomendasi Komnas HAM

19 Oktober 2022   13:12 Diperbarui: 19 Oktober 2022   13:17 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Temuan Komnas HAM tentang adanya kekerasan seksual terkait kasus kematian Brigadir Josua agak mengejutkan publik. Pasalnya sejak awal publik memahami bahwa pelaporan dugaan pelecehana seksual yang dilakukan korban terhadap isteri Irjen Ferdi Sambo (FS), Putri Candrawati (PC) adalah upaya untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya atas peristiwa penembakan yang terjadi di rumah dinas tersebut. Apalagi Kepolisian juga menyatakan telah menghentikan pengusutan kasus tersebut yang awalnya dilaporkan PC ke Polres Jakarta Selatan.

Isu pelecehan seksual sekalipun sekarang menurut Komnas HAM locus delicti nya terjadi di Magelang, terlanjur dipahami sebagai bagian dari upaya untuk menghalang-halangi pengungkapana kasus yang sebenarnya (obstruction of justice) yang juga menjadi salah satu temuan dan rekomendasi Komnas HAM selain adanya extra judicial killing.

Penghentian kasus pelecehan seksual oleh Timsus Polri tersebut memang tidak sejalan dengan temuan Komnas Perempuan. Menurut Komnas Perempuan memang telah terjadi dugaan kekerasan seksual terhadap PC. Bahkan Komnas Perempuan menyebut dugaan pelecehan seksual terhadap PC bentuknya perkosaan.

Sikap Komnas Perempuan ini sepertinya gayung bersambut dengan rekomendasi Komnas HAM di atas. Hanya saja sejak awal beberapa kalangan meyakini bahwa Laporan adanya kekerasan seksual adalah bagian dari upaya untuk memperkuat pengaburan atas terjadinya penembakan yang berujung pada terbunuhnya Brigadir Josua. Untuk memperkuat konstruksi bahwa telah terjadi tembak menembak antara Brigadir Josua dengan Bharada Eliezer pasca diketahuinya "tertangkap tangannya" Brigadir Josua melakukan pelecehan seksual terhadap PC.

Konstruksi itu sepertinya buyar setelah Timsus Mabes Polri menemukan fakta yang terjadi adalah penembakan berkali-kali atas Brigadir J alias pembunuhan. Apalagi kemudian Kepolisian telah menetapkan FS bersama 3 (tiga) orang lainnya dan isterinya PC sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua.

Obstruction of Justice Jilid II

Konstruksi pelaporan Pelecehan Seksual sebagai Obstruction of Justice diyakini juga oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK). Untuk itu LBH APIK meminta Kepolian mengkajinya lebih serius. Demikian rilis lembaga tersebut sebagaimana diberitakan banyak media.

Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Nursyahbani Katjasungkana menganggap apa pun pengakuan PC, hal itu tidak bisa dilepaskan dari konteks obstruction of justice yang menyelimuti kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua.Walaupun, dalam konstruksi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pengakuan korban cukup untuk mendasari dugaan awal terjadinya kekerasan seksual.

Ia menggarisbawahi ditemukannya ragam fakta oleh Polri maupun investigasi Komnas HAM di mana Putri pun terlibat dalam obstruction of justice ini, seperti mengubah keterangan tempat kejadian kekerasan seksual, walau yang bersangkutan mengaku terpaksa karena diperintah suaminya.

Lebih lanjut Nursyahbani menyebutkan dengan preseden sebelumnya, tidak menutup kemungkinan pengakuannya terakhir sebagai korban perkosaan di TKP Magelang, menjadi obstruction of justice jilid kedua, setelah yang pertama gagal, untuk menutup-nutupi motif sebenarnya di balik terbunuhnya Brigadir J. Oleh karenanya perlu analisis yang lebih mendalam agar tidak menjadi bagian dari upaya untuk mengalihkan motif yang sebenarnya serta untuk meringankan hukuman bagi FS di persidangan.

Abaikan Rekomendasi

Saya sependapat dengan pemahaman di atas. Namun saya lebih setuju lagi kalau rekomendasi adanya dugaan pelecehan seksual yang berpindah lokasi tersebut diabaikan saja oleh Kepolisian. Tidak perlu ditindaklanjuti. Akan lebih baik Kepolisian konsentrasi pada isu extra judicial killing dan obstruction of justice.

Dari sisi asas manfaat dalam penegakan hukum, pengusutan kembali dugaan pelecahan seksual hanya akan menghabis energi dan sia-sia belaka. Tidak ada gunanya. Karena toh kalaupun misalnya nanti Kepolisian menyimpulkan benar telah terjadi tindakan tersebut diduga dilakukan oleh Brigadir Josua terhadap PC pada akhirnya kasus harus ditutup juga karena tidak bisa dilanjutkan proses hukumnya karena Tersangkanya sudah meninggal dunia.

Secara kemanusiaan pun sangat tidak manusiawi menyematkan isu negatif bagi Brigadir Josua yang saat ini besar kemungkinan telah mengalami tindak pembunuhan secara kejam, extra judicial killing oleh atasan dan koleganya sendiri. Bagi keluarga isu ini pastinya sangat menyakitkan dan memberatkan. Apalagi sejak awal Kepolisian telah bersikap terhadap dugaan kasus pelecehan seksual ini dan secara jelas juga menyebutkan pelaporan pelecehan seksual adalah bagian dari upaya untuk mengaburkan fakta dan kejadian yang sebenarnya.

Benar bahwa pelecehan seksual adalah masuk dalam lingkup isu Hak Asasi Manusia. UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga memungkinkan pengusutan dugaan kekerasan seksual berdasarkan keterangan korban belaka. Namun penegakan hukum seharusnya juga mempertimbangkan kepentingan penegakan hukum secara lebih luas termasuk kepentingan keluarga Brigadir Josua yang faktanya telah terbunuh akibat perbuatan extra judicial killing yang diduga kuat berupa tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan atasannya sendiri yang kemudian dengan segala kewenangan dan instrumen yang dimiliki juga melakukan obstruction of justice.  

Sesungguhnya publik sangat menantikan pengusutan kasus utama ini sesegera mungkin agar dapat terungkap fakta yang sebenarnya nanti di Pengadilan. Kalaupun ada motif  pelecehan seksual dalam rangkaian peristiwa yang terjadi, hal tersebut tetap tidak bisa membenarkan dilakukannya extra judicial killing.

Pada sisi lain publik pun sangat berharap kasus ini menjadi momentum bagi perbaikan profesionalitas Kepolisian dalam penegakan hukum. Sekaligus pembersihan institusi dari oknum-oknum yang selalu memperburuk citra Kepolisian dan Penegakan Hukum. Semoga.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun