"Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya Pak Bahana.
      "Saya langsung saja Pak."  Jawab Pak Ramon. Ia  kemudian membetulkan posisinya dan menatap pak Bahana dengan garang. "Anak saya kan mau masuk RSBI  di SMP Negeri 1. Ia tidak bisa daftar, karena persyaratannya rata-rata rapor kelas IV-VI minimal 7,5. Nah, rata-rata rapor anak saya di kelas 4 semester  1  mencapai 7,1. Ini gara-gara nilai matematika yang hanya diberi nilai 6,5. Tolong bantulah anak saya agar bisa daftar ke RSBI."
"Maksud Bapak bagaimana?"
"Ya. ubah nilainya dong Pak. Berapa yang harus saya bayar. Uang tak masalah."
"Mohon maaf. Tidak bisa Pak. Nilai rapor tidak bisa diubah. Nilai tersebut merupakan kesimpulan akhir dari hasil perkembangan belajar putra bapak selama satu semester. Lagi pula dalam memberikan penilaian, Â guru telah mempertimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Sehingga penilaian lebih menyeluruh." Pak Bahana mencoba memberikan penjelasan.
"Bapak, kan Kepala Sekolahnya. Masa tidak bisa mengubah nilai rapor. Tolong dong Pak, ini demi kepentingan anak. Masa belum apa-apa sudah tersingkir karena persyaratan."
"Pak, meskipun saya Kepala Sekolah, saya tidak bisa mengubahnya. Karena selain yang telah dijelaskan tadi, nilai rapor merupakan hak otonomi guru yang mengajarnya" Tak sabar mendengarkan penjelasan pak Bahana, ia langsung memotong pembicaraan.
"Kalau begitu saya harus segera menemui gurunya. "Siapa yang mengajar di kelas 4 sebelumnya Pak?" Tanya Pak Ramon.
"Mata pelajaran matematika di SD dipegang oleh wali kelasnya. Pak Ramon tinggal lihat saja di rapor, siapa namanya. Namun saya sampaikan bahwa jawaban mereka akan sama dengan saya. Jadi sebaiknya bapak tidak perlu menemuinya."
"Kalau boleh tahu, apa alasan Pak Ramon sehingga bersikeras agar putra bapak masuk ke RSBI ?"
"Pak, saya kan sudah tua. Wendy anak kami yang paling besar. Sudah semestinya ia mendapatkan pendidikan yang terbaik. Setahu saya RSBI/SBI merupakan sekolah unggulan berstandar internasional yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah di setiap kota. Pasti lebih baik dengan sekolah lainnya. Lagi pula di sana pembelajaran disampaikan dengan bilingual dan memiliki laboratorium  komputer yang lengkap" Dengan penuh semangat Pak Ramon menjelaskan. Ia berharap sekali Pak Bahana bisa memenuhi keinginannya.
"Pak, memang tahun ini pemerintah gencar sekali mensosialisasikan tentang RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dengan maksud meningkatkan kualitas pendidikan dan mengejarkan ketertinggalan dengan negara-negara lain. Namun saya sendiri kurang setuju dengan program pemerintah tersebut, karena dengan program ini, pemerintah seakan-akan  membuat kasta-kasta diantara sekolah.
Dana milyaran digelontorkan ke RSBI/SBI untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan kompetensi guru. Sedangkan sekolah lain kurang mendapat perhatian bahkan seolah-olah termarginalkan, kalaupun dapat suntikan dana jumlahnya tak sebesar sekolah-sekolah RSBI/SBI.
 Akibatnya masyarakat berbondong-bondong ingin menyekolahkan putra-putrinya ke sana.  Padahal banyak sekolah yang dekat dengan rumahnya. Bahkan mereka rela membayar tambahan untuk menutupi kekurangan biaya operasional sekolah. Â
Kalau Bapak ingin putranya seperti siswa RSBI/SBI yang memiliki kemampuan berbahasa inggris dan komputer. Â Cukup ikut sertakan putra Bapak dalam kursus bahasa inggris dan komputer. Â Insya Allah kemampuannya tidak akan jauh dengan mereka.
Saran saya, lebih baik Bapak sekolahkan Wendy di sekolah yang sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Jika Bapak bersikukuh ingin memasukkan putra Bapak ke sana. Apakah Bapak tidak kasihan kepadanya? Ia akan tertatih-tatih mengikuti proses pembelajaran yang diluar kemampuannya.
Lagi pula dengan mengubah nilai rapor, Bapak telah bertindak curang dan memberikan contoh buruk kepada putra Bapak. Hal ini akan membekas baginya sampai kelak dewasa. Jika ia menemukan permasalahan, bukan hal yang tidak mungkin akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan ayahnya sekarang." ujar Pak Bahana menjelaskan dengan tutur kata dengan lemah lembut dan penuh kehati-hatian.
"OK, Pak. Terima kasih atas masukannya. Saya akan diskusikan hal ini dengan istri saya di rumah. Selamat siang,"
Dengan tergesa-gesa Pak Ramon meninggalkan ruang tamu. Ia merasa sia-sia saja berlama-lama di kantor. Karena tak mungkin mengubah pendirian Pak Bahana. Â Lebih baik segera pulang dan mendiskusikan hal ini dengan istrinya.
Selama perjalanan pulang, segala macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Terngiang-ngiang juga perkataan Kepala Sekolah SD Berdikari itu. Bertidak curang ....contoh buruk ..... apa yang akan terjadi dengan anaknya kelak. Sesampainya di rumah, istrinya langsung menyambut dia dengan berbagai pertanyaan.
"Jadi bagaimana hasilnya, Pa?" tanya Isterinya
"Gagal total, Ma,"jawab Pak Ramon
"Masa pensiunan tentara kalah oleh guru?"
"Masalahnya Pak Bahana orangnya keras kepala, Ma. Ia bukan tipikal kebanyakan orang yang sering Papa temui." Pak Ramon menceritakan apa yang terjadi tadi siang di sekolah dengan detail tanpa ada yang terlewat.
Sejenak istrinya termenung dan memikirkan  apa yang diceritakan suaminya itu.
"Pak, kalau dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan Kepala Sekolah itu. Apa tidak sebaiknya kita ikuti sarannya ?"
"Lho, kenapa Mama sekarang berubah pikiran. Kemarin yang ngotot ingin si Wendy sekolah ke SBI kan Mama?"
"Iya PaK. Namun setelah dipikirkan, Mama tidak mau Wendy nantinya seperti yang disampaikan oleh Kepala Sekolah itu"
"Ya sudah kalau maunya Mama begitu, besok kita sama-sama cari sekolah lain yang cocok dengan anak kita."
****
Tujuh tahun kemudian...
Sore ini acara reuni sekolah sangat meriah, banyak sekali alumni siswa SD Berdikari yang hadir. Pak Bahana nampak dikelilingi oleh sekelompok pemuda yang dulu pernah menjadi siswanya.
Ketika acara sudah selesai. Seorang pemuda berperawakan tinggi dan atletis menghampirinya. "Pak, masih ingat saya?" Pemuda itu meraih  tangan Pak Bahana dan meletakkan perlahan pada keningnya.
"Siapa ya?" Pak Bahana memandangnya. Ia mencoba mengingat-ngingat nama anak tersebut.
"Saya Wendy," jawabnya sambil tersenyum.
"Oh, Wendy. Kamu tinggi sekali Nak, dimana kamu sekolah sekarang?"
"Unversitas Udayana Pak, ambil jurusan Industri Perjalanan Wisata"
"Alhamdulillah, Â bagaimana kabar Ayahmu, sehat?"
"Alhamdulillah, Papa sehat. Sejam yang lalu Papa menelepon saya, katanya mau jemput dan sekalian ingin bertemu sekali dengan Bapak"
Tak lama kemudian, ayah dan ibu Wendy datang menghampiri Pak Bahana. Terlihat wajah Pak Ramon dan istrinya berseri-seri. Setelah bersalaman, Pak Ramon berkata dengan penuh keramahan. "Pak, kami berdua mengucapkan terima kasih atas bimbingan Bapak kepada anak kami dan maafkan kelancangan sikap saya waktu itu.
Berkat nasehat dari Bapak, Wendy menjadi anak yang rajin, jujur dan berprestasi di sekolahnya. Sekarang ia mendapat beasiswa di Universitas Udayana."
"Alhamdulillah, saya turut bangga dan berbahagia Pak. Â Ini semua adalah kehendak Allah SWT dan berkat bimbingan serta doa yang tak henti-hentinya dari Ayah Bundanya. Juga peran guru-guru yang langsung berinteraksi dengan anak-anak, Â saya hanya bagian kecil dari proses ini."
"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih pak."
"Sama-sama pak."
Pak Ramon merangkul erat Pak Bahana. Terlihat matanya berkaca-kaca. Sementara istrinya tak kuasa menahan tangis. Ia tahu betul bagaimana temperamen suaminya itu dan hanya sebuah ketulusan yang mampu meruntuhkan kesombongannya.
Setelah berpamitan. Mereka meninggalkan sekolah menuju mobil yang parkir di halaman sekolah. Pak Bahana menatap mereka, dengan lirih ia berkata, "Semoga mereka selamanya berbahagia dan kelak kita dipertemukan lagi di surga. Aamiin".
Ket :
0Sok atuh calik heula= silakan duduk dulu
1Sawios = tidak usah
2Hayu atuh urang ka ditu = ayo kita ke sana
3Boro-boro nanyakeun ngaranna, nu aya mah sieun we = jangankan bertanya namanya, yang ada rasa takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H