Jika dilihat dari pandangan dan harapan ke depan antara SAHI dan IPHI sepertinya juga memiliki  kesamaan dan perbedaan.Â
Dilihat dari visi dan misi fokus utama IPHi berada pada prosesi perjalanan haji, dengan tetap melaksanakan usaha-usaha pembedayaan potensi haji.Â
Berbeda dengan IPHI, SAHI menfokuskan tidak pada proses haji, melainkan pada produk haji. Hal ini tampak dalam pandangan SAHI ke depan yang tercantum di dalam Visi SAHI, yang menyatakan Terwujudnya Komunitas Haji dan Umrah yang inklusif, toleran, produktif, dan peduli terhadap lingkungan dan masa depan bangsa.
Mengapa harus Komunitas?Â
Dengan istilah "komunitas" yang digunakan dalam Visi SAHI memberikan gambaran tentang pandangan masa depan mengenai sebuah tatanan sosial. Membaca ini saya teringat pada sebuah buku yang berjudul Community Change: Theories, Practice, and Evidence yang menyatakan:
"The last ten years have witnessed an unprecedented analysis of the prob-
lems of the cities. The maladies of urban areas have been trumpeted by
politicians, the media, and professional and academic journals. This de-
preciation is associated with the widespread and continuing loss of middle-
class households, the exodus of industry and consequent loss of jobs, the
decline of many public institutions, and the growing loss of confidence in
city neighborhoods as desirable places to live."
Paragraf di atas memberikan gambaran tentang perubahan tatanan sosial yang terjsmadi sepuluh tahun terakhir yang memunculkan berbagai permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Permasalahan tersebut sudah banyak dibahas dalam berbagai kesempatan oleh para politisi, media, dan jurnal profesional serta kalangan akademik.Â
Permasalahan dimaksud terkait dengan meluas dan hilangnya rumah tangga kelas menengah, beberapa industri yang jatuh bangkrut dan mengakibatkan hilangnya lahan pekerjaan.Â
Menurut hasil analisis terhadap fakta sosial yang demikian, telah mengakibatkan pula pada menurunnya kepercayaan publik pada banyak institusi, dan semakin hilangnya kepercayaan untuk tinggal di lingkungan kota.
SAHI membaca terhadap kemungkinan itu akan terjadi juga di Indonesia sehingga SAHI berkeinginan untuk mewujudkan  Komunitas Haji dan Umrah yang inklusif, toleran, produktif, dan peduli terhadap lingkungan dan masa depan bangsa.
Mengapa Komunitas Haji dan Umroh? Karena mereka merupakan kalangan keluarga kelas menengah yang digambarkan telah hilang dari peredaran di negara-negara modern. Di samping itu, kalangan mereka juga dianggap sebagai komunitas yang memiliki kekuatan spritualitas sehingga dianggap akan mampu menjadi penggerak pembangunan bangsa yang berlandaskan pada Pancasila, terutama Sila Pertama.Â
Mengapa harus inklusif dan toleran? Karena Indonesia terdiri dari lebih 300 kelompok etnik atau suku bangsa, atau tepatnya 1.340.Â
Di Jawa terdapat Suku Jawa (termasuk Banyumasan, Suku Bawean, Suku Tengger, Suku Sunda [termasuk Suku Baduy], Suku Banten, Suku Cirebon, Suku Betawi, Suku Arab, Suku Tionghoa, dan Suku India. Di Madura ada Suku Madura.
Di Sumatra terdapat Suku Melayu, Suku Batak (termasuk Toba, Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak, dan Simalungun), Suku Minangkabau, Suku Aceh, Suku Lampung, Suku Komering, dan Suku Kubu.
Di Kalimantan ada Suku Dayak yang terdiri 268 suku bangsa, Suku Banjar, Suku Kutai, suku Berau, Suku Bajau. Sedangkan di Sulawesi: Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Tolaki, Suku Minahasa yang terdiri 8 suku bangsa, Suku Gorontalo, Suku Toraja.
Di Kepulauan Sunda Kecil ada Suku Bali, Suku Sasak, Suku Flores, Suku Sumba, Suku Sumbawa, Suku Timor. Di Maluku ditemukan Suku Ambon, Suku Nuaulu, Suku Manusela, Suku Wemale, Suku Tanimbar. Dan di Papua merupakan pulau dengan Suku yang terdiri 466 suku bangsa di antaranya Suku Dani, Suku Bauzi, Suku Asmat.
(Sumber: wikipedia.org)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H