Mohon tunggu...
M. Fauzan Zenrif
M. Fauzan Zenrif Mohon Tunggu... Dosen - Zenrif

Hidup Itu Belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

De Koran

8 November 2019   13:23 Diperbarui: 8 November 2019   14:11 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat siang.. " suara seseorang datang dari belakang punggung.

"siang.. " jawab saya. 

"Beli koran, Bapak." katanya lagi. 

Tampaknya suara itu datang dari pedagang koran keliling ke perumahan. Sepedanya yang sudah tak bercat, disandarkan begitu saja ke pohon cherry yang ada di belakang ku. Menghargai keinginan kuatnya menebarkan informasi, dan mencari sejumput sisa rizki, saya membeli. 

Melihat lelaki setengah baya itu, terbayang kembali masa saya kuliah semester satu dan dua. Masa itu, saya berusaha membeayai kuliah dari hasil usaha sendiri. Tidak mudah bagi keluarga saya untuk bisa kuliah. Apalagi, tak semua orang di kampung saya bisa atau mau kuliah. 

Untuk memperjuangkan cita-cita, saya pernah menjual koran yang saya kirim ke beberapa rumah dosen Universitas Negeri, di kota dimana saya juga kuliah. Setiap pagi buta, saya menggayuh sepeda ontel hasil pinjam tetangga kos. Saya mengambil koran di dekat alun-alun kota itu, kemudian saya kirim ke rumah beberapa dosen yang sudah berlangganan. 

Satu hari, saya mengantarkan koran seperti biasanya. Gerimis pagi itu membuat saya beristirahat sebentar. Berharap gerimis yang agak lebat itu akan mereda. Tapi, sampai jam di dinding rumah depan saya istirahat sudah menunjukkan pukul 06.15, gerimis tampaknya kian deras. Jam 07.00 saya harus kuliah. Dosennya "killer" kata teman-teman. 

"Saya harus berangkat apa pun yang terjadi." Begitu pikir ku saat itu. 

Saya siapkan plastik untuk membungkus koran agar tidak basah. Lalu, saya selipkan di selangkangan sepeda. Saya cek keamanannya. Di luar, gerimis kian deras. Saya ambil satu koran untuk saya pakek sebagai penutup kepala. Lalu, saya bungkus dengan plastik.

"Sekalipun saya akan rugi secara materiil, karena harus berkorban satu koran, saya harus tetap berangkat." Begitu pikir ku saat itu. 

Satu koran yang sudah saya pisahkan, saya ambil, lalu saya jadikan sebagai topi, agar kepala tak terkena hujan. Berkat karet yang digunakan sebagai pengikat,  koran itu sudah dipastikan tak akan terjatuh sekalipun kena hujan atau angin. 

"Semua sudah siap, berangkat menuju pelanggan." batin ku bicara sendiri.

Sambil berdendang lagu.. yang... Hujan turun lagi... Saya gayuh sepeda menuju para pelanggan. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Tiba saatnya saya sampai pada dosen pelanggan yang sangat baik hati.

"Terlambat, Mas." katanya dengan bahasa yang sopan. Padahal, saya sudah menyiapkan jawaban, jika seandainya sang dosen marah karena terlambat. 

"Nggih, Pak. Mohon maaf, Pak." jawab ku dengan gaya sopan juga. 

"Kena hujan ya, Mas." katanya sambil menerima koran yang sudah ditunggu sejak tadi. 

Kebiasaan dosen ini sangat menarik perhatian saya. Rutin, setiap saya mengantarkan koran setiap pagi, dia sudah duduk di meja yang sama sambil minum teh dengan gelas yang sama pula. Kebiasaannya membaca informasi melalui koran, bisa dijadikan informasi tentang ekonomi Indonesia ter up date untuk disampaikan pada mahasiswa.

"Mas, mampir dulu. Ke kamar mandi saja dulu. Sampean basah kuyup nanti sakit." tiba-tiba dosen itu menyuruh saya masuk. Tak seperti biasanya, dia membiarkan saya langsung pergi setelah menyerahkan koran. Mungkin karena dia kasihan melihat saya basah kuyup.

"Makasih,  Pak. Saya harus segera menyelesaikan sisanya, karena ada kuliah." jawab ku berusaha menolak tawarannya. 

"Sudah... sana ke kamar mandi dulu. Biar dibuatkan teh sama ibu agar tak masuk angin." karanya lagi. 

Saya tak mau menyakiti hati orang baik itu. Sepeda saya sandarkan pada pagar besi bercat hijau itu,  lalu saya langsung menuju kamar mandi luar yang ditunjuk oleh sang dosen. 

Sesampai di kamar mandi, saya melihat ada kaca di dinding sebelah kanan. Saya menoleh sebentar... 

"Duh...  Kok hitam semua wajah ku." batin ku kaget melihat wajah ku sendiri. 

Mungkin karena ndak tega menyampaikan hal ini, dosen itu hanya menyuruh saya ke kamar mandi. Saya baru paham apa yang dia mau setelah melihat wajah hitam ku di cermin kamar mandi itu. 

Betapa bodohnya saya, orang desa yang tak mengerti bahwa koran akan luntur tulisannya ketika terkena air. Pasti saja, karena saya jadikan topi, semua tinta mengalir ke wajah ku. Warna kulit ku yang hitam, menjadi lebih hitam ndak karuan terkena tinta koran itu...  Hehehe

Saya tersenyum sendiri sambil menggerutu atas kebodohan ku sendiri. Pengalaman tentang koran yang luar biasa sepanjang sejarah hidup ku.... Setelah sekian puluh tahun pengalaman itu tersimpan, kini menyeruak kembali berkat anak muda penjual koran tadi.. 

Itu cerita tentang koran tiga puluh tahun yang lalu. Kini koran sudah tidak seperti dulu lagi. Bahkan, koran mungkin hanya akan menjadi cerita dalam kehidupan manusia ke depan. Kini,  koran sudah mulai tak banyak dijadikan sebagai alternatif untuk dibaca. Bisa jadi,  kelak term koran ini hanya akan menjadi bagian dari sejarah kamus Bahasa Indonesia semata. 

Tidak sedikit perusahaan yang sempat besar karena koran, sudah mulai beralih menyesuaikan dengan abad 4.0 dan mempersiapkan diri menuju 5.0. Sekalipun koran dulu pernah menjadi alternatif utama untuk pemilihan informasi yang paling banyak digandrungi, koran kini sudah tak sebesar gaungnya di masa saya masih kuliah. 

Setelah panjang lebar bercerita tentang pengalamannya bersama koran, lelaki setengah baya itu berdiri dan tertawa seperti mentertawakan masa lalu dirinya sendiri. Dan.. Aku terpesona....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun