Sesampai di kamar mandi, saya melihat ada kaca di dinding sebelah kanan. Saya menoleh sebentar...Â
"Duh... Â Kok hitam semua wajah ku." batin ku kaget melihat wajah ku sendiri.Â
Mungkin karena ndak tega menyampaikan hal ini, dosen itu hanya menyuruh saya ke kamar mandi. Saya baru paham apa yang dia mau setelah melihat wajah hitam ku di cermin kamar mandi itu.Â
Betapa bodohnya saya, orang desa yang tak mengerti bahwa koran akan luntur tulisannya ketika terkena air. Pasti saja, karena saya jadikan topi, semua tinta mengalir ke wajah ku. Warna kulit ku yang hitam, menjadi lebih hitam ndak karuan terkena tinta koran itu... Â Hehehe
Saya tersenyum sendiri sambil menggerutu atas kebodohan ku sendiri. Pengalaman tentang koran yang luar biasa sepanjang sejarah hidup ku.... Setelah sekian puluh tahun pengalaman itu tersimpan, kini menyeruak kembali berkat anak muda penjual koran tadi..Â
Itu cerita tentang koran tiga puluh tahun yang lalu. Kini koran sudah tidak seperti dulu lagi. Bahkan, koran mungkin hanya akan menjadi cerita dalam kehidupan manusia ke depan. Kini, Â koran sudah mulai tak banyak dijadikan sebagai alternatif untuk dibaca. Bisa jadi, Â kelak term koran ini hanya akan menjadi bagian dari sejarah kamus Bahasa Indonesia semata.Â
Tidak sedikit perusahaan yang sempat besar karena koran, sudah mulai beralih menyesuaikan dengan abad 4.0 dan mempersiapkan diri menuju 5.0. Sekalipun koran dulu pernah menjadi alternatif utama untuk pemilihan informasi yang paling banyak digandrungi, koran kini sudah tak sebesar gaungnya di masa saya masih kuliah.Â
Setelah panjang lebar bercerita tentang pengalamannya bersama koran, lelaki setengah baya itu berdiri dan tertawa seperti mentertawakan masa lalu dirinya sendiri. Dan.. Aku terpesona....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H