"Selamat siang.. " suara seseorang datang dari belakang punggung.
"siang.. " jawab saya.Â
"Beli koran, Bapak." katanya lagi.Â
Tampaknya suara itu datang dari pedagang koran keliling ke perumahan. Sepedanya yang sudah tak bercat, disandarkan begitu saja ke pohon cherry yang ada di belakang ku. Menghargai keinginan kuatnya menebarkan informasi, dan mencari sejumput sisa rizki, saya membeli.Â
Melihat lelaki setengah baya itu, terbayang kembali masa saya kuliah semester satu dan dua. Masa itu, saya berusaha membeayai kuliah dari hasil usaha sendiri. Tidak mudah bagi keluarga saya untuk bisa kuliah. Apalagi, tak semua orang di kampung saya bisa atau mau kuliah.Â
Untuk memperjuangkan cita-cita, saya pernah menjual koran yang saya kirim ke beberapa rumah dosen Universitas Negeri, di kota dimana saya juga kuliah. Setiap pagi buta, saya menggayuh sepeda ontel hasil pinjam tetangga kos. Saya mengambil koran di dekat alun-alun kota itu, kemudian saya kirim ke rumah beberapa dosen yang sudah berlangganan.Â
Satu hari, saya mengantarkan koran seperti biasanya. Gerimis pagi itu membuat saya beristirahat sebentar. Berharap gerimis yang agak lebat itu akan mereda. Tapi, sampai jam di dinding rumah depan saya istirahat sudah menunjukkan pukul 06.15, gerimis tampaknya kian deras. Jam 07.00 saya harus kuliah. Dosennya "killer" kata teman-teman.Â
"Saya harus berangkat apa pun yang terjadi." Begitu pikir ku saat itu.Â
Saya siapkan plastik untuk membungkus koran agar tidak basah. Lalu, saya selipkan di selangkangan sepeda. Saya cek keamanannya. Di luar, gerimis kian deras. Saya ambil satu koran untuk saya pakek sebagai penutup kepala. Lalu, saya bungkus dengan plastik.
"Sekalipun saya akan rugi secara materiil, karena harus berkorban satu koran, saya harus tetap berangkat." Begitu pikir ku saat itu.Â