Mohon tunggu...
M. Fauzan Zenrif
M. Fauzan Zenrif Mohon Tunggu... Dosen - Zenrif

Hidup Itu Belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

De Bapak

6 November 2019   16:27 Diperbarui: 6 November 2019   17:02 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buyah Bukan Bapak😀

"Bapak tadi tidak diberi laba sama sekali ya,  Bapak." tanya ku dengan nada sedikit tertahan, heran. 

"Tidak.. Dia juga tidak memberi kelebihan dari harga yang saya bayar tadi." Begitu katanya. 

"Mengapa diperbolehkan, Bapak? "tanya ku ingin tahu lebih dalam lagi. 

"Lha begitu Allah memberikan rizki pada orang itu. Saya hanya menjadi perantara saja. Mungkin Allah menginginkan itu menjadi rizki dia." katanya dengan nada tetap datar-datar saja. 

Dia kemudian menjelaskan bahwa hidup dan mati ini milik Allah. Rizki orang sudah ditentukan sejak sebelum masa itu ada. Pemahaman bahwa manusia bisa mengatur kehidupannya sendiri, telah membuat sebagian orang salah menafsiri rizki. 

Tak jarang orang yang menjadi sombong karena rizkinya banyak, seperti juga banyak orang yang merasa sengsara karena memperoleh rizki sedikit. Kesalahpahaman itu yang juga membuat orang bekerja keras sampai bisa melupakan Tuhannya. Tak jarang yang menjadi stress atau bahkan bertengkar karena berebut rizki itu. 

Bisa dilihat dengan baik, bagaimana salah paham terhadap konsep rizki itu telah membuat banyak orang menipu orang lain. Bahkan sejatinya, saat dia menipu, dia telah menipu dirinya sendiri. Betapa tidak indah kehidupan ini karena kesalahpahaman terhadap tafsir kehidupan. 

Untuk menduduki sebuah posisi tertentu, tak jarang orang harus menjadikan teman, bahkan saudaranya, terinjak lebih dulu. Berpidato kemiskinan, tapi dia menjadikan orang miskin sebagai objek untuk menjadikan dirinya kaya. Dia menjual proyek kemiskinan untuk mengkayakan dirinya sendiri. 

Atas nama keadilan, tak sedikit orang harus memilih jalan ketidakadilan. Atas nama kebersamaan dan harmoni, tak sedikit yang kemudian harus mengkambinghitamkan dan mengadu domba yang lainnya. 

"Saya tidak ingin menjadi bagian dari mereka itu, Nak Mas bagus.. " katanya sambil menepu-nepuk punggungku dengan halus. 

Saya kaget mendengarkan ceramahnya itu. Bapak ini lebih profesor dari profesor yang hanya hidup dalam bayang-bayang akademiknya. Hidup berantai dalam tali temali kajian dan seminar sampai lupa bahwa pengetahuannya bahkan tak dilaksanakan dalam kehidupannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun