Mohon tunggu...
Aditya Veterna
Aditya Veterna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang wiraswasta dan freelancer yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana yang saat ini sedang mencoba hal-hal baru dalam dunia penulisan yang terkait dengan tema-tema kemanusiaan dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia Silver : Potret Kurangnya Lapangan Pekerjaan atau Sekedar Kemalasan Demi Penghasilan Instan

14 September 2024   15:16 Diperbarui: 14 September 2024   15:33 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

             Kehadiran manusia silver belakangan ini marak bermunculan di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kehadiran mereka menjadi salah satu ciri khas penanda tersendiri bagi kota-kota tersebut. Manusia silver juga menjadi simbol bagaimana masyarakat merespons krisis ekonomi dengan cara yang paling dasar dengan berjuang untuk bertahan hidup. Eksistensi mereka juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam menyediakan kesejahteraan sosial yang memadai. Hal ini juga terkait kebijakan pemerintah yang ada, seperti kurangnya lapangan pekerjaan yang layak, kemudian bantuan langsung tunai dan program kesejahteraan sosial yang seringkali tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkan.

             Manusia Silver adalah sebutan bagi seseorang yang mewarnai tubuhnya dengan cat berwarna silver yang mengkilat. Mereka rela tubuhnya di semprot cat untuk menarik perhatian orang lain di pinggir jalan.  Awalnya, para manusia silver ini tergabung dalam 'Komunitas Silver Peduli'. Komunitas terebut pada saat itu berkedok gerakan donasi untuk anak yatim. Namun belakangan manusia-manusia silver ini memang meminta uang kepada para pengguna jalan atau mengamen untuk dirinya sendiri. Keberadaan manusia silver ini awalnya cukup menarik mata dan perhatian, bahkan ada anak kecil yang ikut dibawa orang tuanya sehingga tidak jarang aksi mereka membuat masyarakat yang melihatnya iba sehingga menyumbangkan sebagian rezekinya.

https://news.detik.com/berita/d-5742122/sejarah-manusia-silver-bermula-dari-kedok-sumbangan-untuk-anak-yatim

             Motif “manusia silver” pada dasarnya adalah faktor kesulitan ekonomi pada beberapa lapisan masyarakat. Mereka beranggapan bahwa pekerjaan ini bisa mendapatkan uang secara istan. Himpitan ekonomi membuat mereka memilih turun ke jalan dengan cara menutupi identitas asli mereka dibalik balutan cat silver untuk mendapatkan kesan penampilan baru yang unik dan menarik di masyarakat. Hal ini mereka lakukan karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia, dan terkadang rumitnya persyaratan dari perusahaan-perusahaan tersebut juga menjadi kendala, padahal gaji yang ditawarkan pun tidak seberapa. Hal ini menyebabkan hilangnya minat kerja formal pada lapisan masyarakat tersebut, sehingga mereka menjadi malas bekerja secara formal di perusahaan-perusahaan yang ada, dan lebih memilih mengamen dan mengemis dengan berdandan sebagai manusia silver, karena bisa mendapatkan pundi-pundi uang secara instan. Namun di samping itu, ada bahaya lain yang tidak mereka sadari bahwa cat yang mereka gunakan dalam jangka panjang akan menimbulkan masalah kesehatan yang tidak bisa diremehkan.

sumber foto : www.instagram.com/makassar_iinfo
sumber foto : www.instagram.com/makassar_iinfo

              Cat yang digunakan oleh “manusia silver” merupakan cat enamel yang berwarna silver terang. Cat dengan warna terang umumnya mengandung kadar Timbal (Pb) yang tinggi. Timbal merupakan bahan toksik yang mudah terakumulasi dalam organ manusia dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan berupa anemia, gangguan fungsi ginjal, gangguan sistem syaraf, otak dan kulit, gangguan sistem reproduksi, gangguan darah, dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Sejak tahun 2009, lebih dari 100 penelitian menunjukkan bahwa cat bertimbal masih banyak dijual di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ditemukan kandungan Timbal dalam cat melebihi batas legal 90 ppm (part per million) bahkan banyak dari cat yang diuji mengandung kadar Timbal yang sangat tinggi diatas 10.000 ppm. Sedangkan di Indonesia, kadar Timbal dalam cat adalah 2254 ppm.

               Senyawa-senyawa Timbal yang terlarut dalam darah akan dibawa oleh darah ke seluruh sistem tubuh. Pada peredarannya, darah akan terus masuk ke glomerulus yang merupakan bagian ginjal. Dalam glomerulus tersebut terjadi proses pemisahan akhir dari semua bahan yang dibawa oleh darah, apakah masih berguna bagi tubuh atau harus dibuang karena tidak diperlukan lagi. Dengan ikut sertanya senyawa Timbal yang terlarut dalam darah ke sistem urinaria akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada saluran ginjal. Keracunan timbal yang parah menyebabkan ketidaksuburan, keguguran, bayi meninggal dalam kandungan, dan kematian bayi baru lahir. Sedangkan pada pria akan menyebabkan penurunan kemampuan reproduksi sperma. Organ lain yang dapat diserang karena keracunan bahan kimia ini adalah jantung. (Ahmad Irfandi, Erna Veronika, and Veza Azteria, 2021 : 8)

              Penelitian lain tentang bahayanya cat manusia silver ini juga dilakukan oleh FMIPA UGM. Berdasarkan dari data analisis menggunakan instrumentasi XRF (X-Ray Fluorescence) yang dilakukan oleh FMIPA UGM, ditemukan bahwa penyusun utama bahan kimia dari cairan silver tersebut adalah unsur Al, Cl dan K," ungkap Ketua Pelaksana Program Pengabdian FMIPA UGM, Prof Endang Tri Wahyuni, dalam laman UGM dikutip Rabu (6/12/2023). Disebutkan bahwa dalam skala ppm (part per million), ditemukan unsur logam berat berbahaya yaitu Hg (merkuri) dan Cr (kromium) dalam bahan silver tersebut. Sementara kandungan unsur perak (Fe) sendiri dalam cairan silver tidak terlalu besar. Dari sekian banyak kandungan bahan kimia tersebut justru kandungan perak di cairan silver hanya di kisaran 0,18%.

             Bahan kimia penyusun warna silver tersebut tidak hanya berbahaya bagi pemakainya. Namun, bahaya juga dapat dirasakan masyarakat. Saat pembilasan, bahan kimia cairan silver berpotensi masuk ke badan air dan sumber air konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, tim pengabdian FMIPA UGM mencoba melakukan sosialisasi dan pendekatan ke pelaku manusia silver di beberapa wilayah Yogyakarta. Upaya tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko pemakaian larutan silver ke manusia dan lingkungan sekitar.

             Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh akademisi di negeri ini, maka pemerintah daerah di beberapa kota-kota besar seperti di Bandung dan Jogja telah melarang kegiatan mengamen atau mengemis dengan konsep manusia silver ini. Pelarangan ini karena keberadaan Komunitas 'Manusia Silver' ini melanggar Perda K3, Undang-Undang Lalu Lintas dan UU Nomor 9 Tahun 1061 tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Larangan tersebut diberlakukan tentutnya karena penggunaan cat silver ini berbahaya. Sebab, cat silver yang melumuri tubuh para manusia silver ini bisa memicu alergi penyakit kulit hingga kanker kulit. Selain berbahaya bagi penggunanya, cat silver ini juga bisa berbahaya bagi orang lain di sekitarnya yang bisa saja terpapar uap dari bahan kimia ini melalui udara.

            Setelah diberlakukannya larangan kegiatan manusia silver ini atau yang biasa disebut kegiatan “nyilver” di beberapa kota besar, maka para pelaku nyilver ini sering kali menjadi sasaran razia dan tindakan represif dari aparat penegak hukum, yang melihat mereka sebagai gangguan ketertiban umum. Hal ini merupakan dilema yang bisa menjadi tantangan Etis dan moral cukup rumit bagi pemerintah. Apakah kita seharusnya mengabaikan mereka dan membiarkan mereka melanjutkan tindakan mereka karena itu merupakan cara mereka mencari penghasilan, atau apakah kita seharusnya mengambil tindakan tegas untuk memberantas fenomena ini? Terkadang sebagian dari mereka juga membawa anak-anaknya yang masih dibawah umur yang juga dibaluri cat silver untuk ikut melakukan melakukan kegiatan “nyilver” dan hal ini merupakan tindakan yang sangat tidak pantas dilakukan.

             Seiring dengan maraknya fenomena manusia silver ini, tidak sedikit pelaku kegiatan tersebut membawa anak-anaknya yang masih di bawah umur. Anak-anak di bawah umur berisiko lebih tinggi menderita dampak cat bertimbal. Pada anak, jalur paparan utama terkait dengan perilaku umum anak kecil yang kerap memasukan tangan ke mulut, sehingga debu atau tanah yang tercemar timbal masuk ke pencernaan. Anak lebih mudah menyerap timbal yang tercerna daripada orang dewasa, dan sistem saraf yang masih berkembang pada anak-anak juga amat rawan terpengaruh dampak paparan timbal. Paparan Pb dapat menyebabkan keterbelakangan mental dan termasuk salah satu dari sepuluh penyakit teratas dengan beban kesehatan yang cukup berbahaya pada anak-anak. Hal ini bisa termasuk dalam kategori kegiatan yang mengeksploitasi anak di bawah umur.

             Pendekatan yang terlalu keras yang dilakukan pemerintah seperti razia dan pengusiran, mungkin tampak memberikan solusi jangka pendek, tetapi hal ini hanya memindahkan masalah tanpa benar-benar menyelesaikannya. Di sisi lain, membiarkan manusia silver beroperasi tanpa intervensi juga tidak etis, apalagi dengan mengikutsertakan anak-anaknya dalam melakukan kegiatan ini. Selain bisa masuk ke dalam kategori eksploitasi anak, hal ini sama saja dengan membiarkan mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan. Pendekatan yang lebih manusiawi dan komprehensif diperlukan, yang melibatkan pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan rehabilitasi sosial untuk mereka yang terjerumus dalam situasi ini.

              Fenomena manusia silver bukanlah masalah yang bisa diabaikan atau diselesaikan dengan solusi sederhana. Hal ini adalah cerminan dari masalah yang lebih besar dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus bertahan di tengah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Fenomena ini pengingat bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata, di mana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak. Pemerintah perlu memperkuat program-program sosial yang ada, memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai ke tangan mereka yang paling membutuhkan. Program penyediaan lapangan kerja yang inklusif dan layak bagi semua lapisan masyarakat pun, harus benar-benar dilakukan secara intensif oleh pemerintah, serta memberikan edukasi kepada pelaku “nyilver” untuk menumbuhkan minat mereka bekerja secara formal dan perlahan-lahan meninggalkan kegiatan “nyilver” tersebut.

KESIMPULAN :

Kegiatan mengemis dengan berdandan sebagai manusia siver merupakan hal yang kurang layak dilakukan, karena hal ini dilakukan semata-mata agar bisa mendapat uang dengan cepat, namun dengan mengorbankan tubuhnya yang dibalur dengan bahan kimia. Beberapa dari mereka melakukan kegiatan ini karena kadang malas bekerja secara formal pada lapangan pekerjaan yang tersedia dimana lapangan pekerjaan tersebut hanya sedikit, dan mengharuskan memenuhi persyaratan yang berbelit-belit dan terikat dengan tanggung jawab pekerjaan setiap harinya. Lain halnya dengan kegitan “nyilver” ini yang bisa dilakukan sesuka hati dan bisa mendapatkan pundi-pundi uang secara instan. Namun kegiatan ini tentunya melanggar beberapa nilai-nilai budi luhur seperti eksploitasi anak di bawah umur dan pengorbanan kesehatan tubuh, baik pelakunya maupun orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatasi fenomena ini tentunya sangat penting, yaitu dengan menyediakan banyak lapangan pekerjaan yang layak dan juga mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kegiatan ini.

REFERENSI :

Ahmad Irfandi, Erna Veronika, and Veza Azteria. (2021) ‘Karakteristik dan keluhan kesehatan manusia silver di jabodetabek tahun 2021’, Student Journal of Universitas Esa Unggul, 2(1), pp. 116. Available at: https://digilib.esaunggul.ac.id/karakteristik-dan-keluhan-kesehatan-manusia-silver-di-jabodetabek-tahun-2021-25845.html

Yimthiang, S., Waeyang, D. and Kuraeiad, S. (2019) ‘Risk Factors among Thai Children Residing’, Toxics. doi: https://doi.org/10.3390/toxics7040054.

Wani, A. L., Ara, A. and Usmani, J. A. (2015) ‘Lead toxicity: A review’, Interdisciplinary Toxicology, 8(2), pp. 55–64. doi: 10.1515/intox-2015-0009.

https://news.detik.com/berita/d-5742122/sejarah-manusia-silver-bermula-dari-kedok-sumbangan-untuk-anak-yatim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun